SOLOPOS.COM - Ginanjar Saputra (Solopos/Istimewa)

Dalam era di mana teknologi informasi menguasai hampir setiap aspek kehidupan manusia modern, media sosial telah menjadi platform utama untuk komunikasi, interaksi, mencari informasi dan hiburan, serta pertukaran ide. re

Fenomena ini bukan hanya mencerminkan degradasi etika komunikasi, namun juga berpotensi merusak nilai-nilai sosial, moral, dan budaya. Mengapa fenomena ngomong saru semakin masif di media sosial dan seperti sudah tidak lagi tabu seperti dulu? Apa dampak negatifnya dan langkah apa yang dapat diambil untuk mengatasi masalah ini?

Promosi Era Emas SEA Games 1991 dan Cerita Fachri Kabur dari Timnas

Pertama-tama, kita perlu memahami faktor-faktor yang memicu penggunaan bahasa kasar di media sosial dan ruang publik. Salah satunya adalah anonimitas yang diberikan oleh platform-platform digital. Dalam suasana anonim, banyak pengguna merasa bebas untuk berbicara tanpa takut akan konsekuensi sosial atau hukum atas kata-kata kasar yang mereka gunakan. Selain itu, ketidakmampuan untuk mengenali ekspresi wajah atau intonasi suara dalam komunikasi daring dapat membuat sebagian orang merasa lebih berani untuk menggunakan bahasa kasar karena tidak merasakan dampak emosional langsung dari lawan bicara mereka.

Anonimitas mungkin berlaku untuk konten teks, namun tidak untuk konten seperti video. Sebagian orang yang menamakan diri sebagai konten kreator tak jarang secara vulgar ngomong saru di platform mereka. Ini kemungkinan besar dimanfaatkan hanya untuk menarik perhatian sebanyak mungkin dari penonton mereka. Dalam upaya untuk menciptakan konten yang kontroversial atau provokatif, beberapa dari mereka mungkin menggunakan bahasa kasar sebagai cara untuk menarik perhatian atau memancing reaksi dari penonton.

Beberapa konten kreator mungkin tidak mempertimbangkan dampak dari bahasa kasar atau ngomong saru dalam konten mereka. Mereka mungkin menganggapnya sebagai bagian dari gaya atau identitas tanpa memikirkan bagaimana itu dapat memengaruhi audiens, terutama mereka yang lebih muda atau mudah terpengaruh.

Ketika konten kreator melihat bahwa ngomong saru dalam konten mereka mendapatkan respons yang positif dari penonton, mereka mungkin cenderung untuk melanjutkan penggunaannya. Ini berarti ketertarikan audiens terhadap konten bermuatan ngomong saru juga berperan besar terhadap semakin masifnya fenomena tersebut. Konten kreator yang semakin populer merasa popularitas dan pengaruh di media sosial dapat membuat mereka merasa bahwa mereka memiliki kebebasan untuk menggunakan bahasa semacam itu tanpa memikirkan konsekuensinya.

Beberapa konten kreator mungkin salah menganggap bahwa ngomong saru adalah cara yang efektif untuk mengekspresikan emosi atau menambahkan orisinalitas pada konten mereka. Mereka juga mungkin percaya ngomong saru dapat membuat lebih dekat dengan penonton mereka.

Kombinasi dari faktor-faktor ini dapat mendorong konten kreator di media sosial untuk menggunakan bahasa kasar dalam konten video mereka. Namun, penting untuk diingat bahwa penggunaan bahasa semacam itu tidak hanya memiliki dampak pada audiens dan budaya komunikasi secara keseluruhan, tetapi juga mencerminkan tanggung jawab moral dan etika dari konten kreator itu sendiri.

Penggunaan bahasa kasar tidak hanya merugikan secara individual, tetapi juga secara kolektif merusak kualitas dialog sosial. Pertama, bahasa kasar dapat menciptakan lingkungan yang tidak aman dan tidak nyaman bagi individu yang menjadi sasaran. Ini dapat menghambat partisipasi mereka dalam diskusi publik atau bahkan menyebabkan penarikan diri dari ruang publik digital secara keseluruhan. Selain itu, bahasa kasar juga berkontribusi pada polarisasi yang lebih lanjut dalam masyarakat, dengan memperkuat pembagian antara kelompok-kelompok yang berbeda.

Dampak negatif juga terasa dalam hal pencitraan negatif dari masyarakat umum terhadap media sosial. Ketika media sosial diidentifikasi dengan bahasa kasar dan perilaku tidak etis, hal itu dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap platform-platform tersebut, bahkan mendorong beberapa individu untuk membatasi penggunaannya atau bahkan meninggalkannya sama sekali.

Tak ada solusi konkret untuk mengatasi masifnya fenomena ngomong saru di media sosial. Fenomena seperti ini hanya bisa dihentikan oleh tren. Jika tren ngomong saru masih disukai audiens, maka konten bermuatan seperti itu masih akan lestari. Sebaliknya, audiens yang memiliki besar terhadap tren adalah pihak yang bisa menghentikan tren tersebut.

Fenomena ngomong saru di media sosial dan ruang publik merupakan tantangan serius yang memengaruhi kualitas dialog sosial dan nilai-nilai budaya kita. Namun, dengan kesadaran yang ditingkatkan dari konten kreator serta tindakan proaktif dari audiens situasi ini dapat diperbaiki. Penting untuk diingat bahwa komunikasi yang sopan dan hormat adalah kunci untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan bermartabat di dunia digital saat ini.

(Artikel ini telah terbit di Koran Solopos. Penulis adalah Jurnalis Solopos Media Group).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya