SOLOPOS.COM - Heri Priyatmoko, Kolumnis Solo tempo doeloe Mahasiswa Pascasarjana Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

Heri Priyatmoko, Kolumnis Solo tempo doeloe Mahasiswa Pascasarjana Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

Warga Soloraya bisa pulang ke rumah sejarah yang telah lama (di)hilang(kan) sekaligus mengobati kerinduan yang belasan tahun mengiris hati. Rumah sejarah itu adalah tradisi Maleman Sriwedari. SOLOPOS (31/7) memberitakan selama sebulan penuh, 2 Agustus-1 September, Taman Sriwedari menjadi ruang yang penuh kegiatan budaya.

Promosi Gonta Ganti Pelatih Timnas Bukan Solusi, PSSI!

Setidaknya 75 jenis pertunjukan siap memeriahkan Maleman Sriwedari. Selain agenda seni, akan disemarakkan dengan pasar murah dan aneka kuliner. Jika saya diizinkan memakai neraca sejarah untuk menimbangnya, acara kultural warisan Paku Buwono (PB) X tersebut cukup lama dibiarkan tidur mendengkur.

Acara ini tergelincir dari daftar agenda Pemkot Solo dan membeku dalam memori kolektif masyarakat sepuh. Di tengah sikap Walikota Solo Joko Widodo bersama jajarannya yang panjang akal (baca: kreatif) mengerek nama Solo kian menjulang dengan ragam acara gayeng nan mewah seperti Solo International Performing Arts (SIPA), Solo Batik Carnival (SBC), Solo Intrenational Ethnic Music (SIEM) dan mendandani ruang publik dengan siraman dana ratusan juta rupiah, warga sepuh sah-sah saja menggerutu, mengelus dada gara-gara kehilangan hiburan yang tempo doeloe manjur jadi simbol pengikat nilai-nilai kebersamaan penghuni Kota Solo dan warga sekitarnya.

Maleman Sriwedari juga berfungsi sebagai ladang memelihara hubungan sosial warga di kota yang belasan kali pecah konflik ini. Maleman Sriwedari tercipta bukan tanpa sebab. Setumpuk alasan mendasari kenapa hajatan akbar tersebut dihadirkan oleh penguasa tradisional kala itu.

Alkisah, sesaat setelah Sinuhun Paku Buwono X  naik tahta dan diminta pemerintah Belanda meneken perjanjian Verklaring 25 Maret 1893 dan Acte van Verband 30 Maret 1893, kekuatan politik raja melorot. Kemapanan kekuasaan raja yang baru saja diganjar gelar pahlawan nasional ini kian terusik akibat bergulir gagasan reorganisasi agraria di permulaan abad XX oleh pejabat kolonial.

Praktik ini berimbas tanah milik keraton sebagai alat pengukur luasnya kekuasaan petinggi kerajaan menyusut karena tanah dikelola oleh rakyat pedesaan (kelurahan). Intervensi toewan kulit putih makin menjadi-jadi. Sinuhun beserta kerabatnya bagai menelan empedu. Ruang negosiasi politik menyempit. Walhasil, tiada pilihan lain bagi raja kecuali unjuk kekuatan di ranah simbol dengan mempertimbangkan dunia Jawa berjalin kelindan dengan bermacam simbol.

Guna memancarkan kembali pengaruh hegemoni istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan memuluskan konsep manunggaling kawula-gusti, lantas Sunan Paku Buwono X yang doyan berdansa polonaise dan dijuluki Kaisar Jawa ini mengizinkan penyelenggaraan Maleman Sriwedari di Kebon Raja.

Tetapi, sebelumnya, di ruang publik yang kini kondisinya merana itu sudah semarak oleh kegiatan Malem Selikuran yang bersifat sakral, riuh oleh aktivitas kebudayaan di Radya Pustaka dan seru dengan hiburan satwa yang dipiara di kebun binatang.

Sampai sekarang fakta sosial-kultural ini masih kuat membekas di sudut hati masyarakat dan kuat tertanam di dalam ingatan kolektif. Detik itu, selain menambah komplet suguhan di kompleks Taman Sriwedari, Maleman Sriwedari ditetapkan jadi acara tahunan dan primadona era itu.

Keramaian dan panorama Sriwedari dapat kita temukan dalam petilan fakta yang terekam di novel sejarah Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo. Pada suatu sore di Kota Solo, awan gemawan bersinar terang sehingga membuat masyarakat kota itu menjadi amat bahagia. Lebih-lebih pada malam-malam harinya di Sriwedari akan ada keramaian yang diselenggarakan Kerajaan Kasunanan (tanggal 25 Puasa). Sudah barang tentu, pada saat itu, di jalan-jalan banyak orang yang berpakaian bagus akan datang ke Sriwedari.

Kala itu, pelancong dari luar kota merasa kurang lengkap ketika berkunjung ke ”surganya Hindia Belanda” ini bila belum bermain ke ruang publik Taman Sriwedari. Maleman Sriwedari mendorong ruang Taman Sriwedari menjadi pusat budaya dengan pancaran sinar lampu sokle yang seakan lambaian tangan mengajak kawula dolan rame-rame ning Kebon Rojo.

 

Lintas Etnis

Bahkan, komunitas Arab dan Tionghoa turut berkerumun menikmati tampilan wayang orang, bioskop, reog dan aneka hiburan lainnya. Terjadilah interaksi sosial lintas etnis dan lintas kelas. Para pengunjung makin terpuaskan dengan dijualnya suvenir dan makanan khas tradisional Jawa.

Ternyata strategi politik simbolis Paku Buwono X ampuh dan tak rapuh. Berjalan tanpa harus menimbulkan konflik kelas dan tak menerbitkan kecurigaan bule Belanda. Kebesaran raja tetap awet di mata rakyat hingga akhir hayat, walau realitasnya tergencet oleh politik kolonial.

Maleman Sriwedari benar-benar laksana ”surga” bagi masyarakat di level akar rumput. Pada masa itu wong cilik menjadi saksi ketegangan kota yang kemudian terpinggirkan oleh perubahan kota dengan berbagai fasilitas perkotaan seperti trem, listrik, schouwburg perbajan dan societiet harmony.

Mereka yang bukan dari strata sosial tinggi itu tak sanggup menggapainya. Budaya kota ala Eropa telah memarginalkan penduduk pribumi berkantong tipis. Mau tak mau hiburan tradisional Maleman Sriwedari dan Malem Selikuran akhirnya jadi pengobat rasa lelah, selain perayaan Sekaten dan perayaan malam 1  Sura tentunya. Mereka menemukan sejumput kelegaan di sini.

Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, terjadi alih kekuasaan meski harus dibayar dengan aksi penculikan dan kekerasan. Kerajaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat ambruk.  Namun, Sriwedari tetap merupakan tempat rekreasi yang merakyat, dan Maleman Sriwedari tetap dilestarikan.

Pemerintah kala itu tidak berani ngowah-owah sebab sadar betul bahwa kegiatan budaya ini sudah menjadi fakta mental dan fakta sosial. Penguasa modern juga mafhum bahwa hiburan tersebut adalah medium penghambat suburnya benih konflik yang bersemayam di balik kelembutan masyarakat Kota Bengawan.

Pemerintah menggarapnya lebih mantap. Salah satunya dengan menerbitkan buku panduan acara malemam yang berlangsung hampir tiga pekan itu. Dari serangkaian acara, terjadwal kegiatan pameran yang diikuti beberapa kedutaan negara sahabat. Sriwedari memesona Indonesia. Ihwal kuliner, lidah siapa yang tidak bergoyang dengan kelezatan Soto Pak Amat yang tersohor itu.

Demikianlah sepotong kisah Maleman Sriwedari. Menilik riwayat dan makna sosialnya, mestinya Pemkot Solo tergerak menghidupkan tontonan meriah yang menyejarah itu. Memang seharusnya bukan sekadar ajang nostalgia masyarakat, melainkan juga demi mengangkat kembali pamor Taman Sriwedari dan membuat suasana kota lebih kondusif, ayem tentrem…

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya