SOLOPOS.COM - Krisnanda Theo Primaditya (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO –– Penganugerahan gelar pahlawan menjadi perbincangan publik setiap memperingati Hari Pahlawan pada 10 November. Pada November 2022 ini setidaknya lima tokoh yang mendapat gelar sebagai pahlawan tahun ini.

Mereka adalah dr. R. Soeharto, Paku Alam VIII, dr. Raden Rubini Natawisastra, Salahuddin bin Talibuddin, dan Ahmad Sanusi. Kebanyakan masyarakat Indonesia masih asing terhadap tokoh-tokoh yang tahun ini diberi gelar pahlawan oleh negara itu.

Promosi Iwan Fals, Cuaca Panas dan Konsistensi Menanam Sejuta Pohon

Itu menandakan bahwa tanda kehormatan sebagai pahlawan masih jauh dari lingkup kehidupan masyarakat. Selain itu, masyarakat juga jarang mengetahui peran dan nilai moral yang diajarkan oleh para pahlawan.

Tentu saja masyarakat Indonesia mengenal Soekarno, Moh. Hatta, Moh. Yamin, Sudirman, Bung Tomo, dan Slamet Riyadi. Peran tokoh-tokoh ini  telah diketahui oleh masyarakat. Apakah masyarakat Indonesia juga mengetahui nilai moral yang diajarkan mereka?

Oleh karena itu, sejarah dan penulisannya (historiografi) menjadi penting dalam membuka cakrawala nilai kepahlawanan bagi khalayak luas. Sejarah sebagai kisah adalah media untuk menelusuri peristiwa masa lalu, peristiwa yang menampilkan tokoh dan peranannya.

Meski demikian, kebanyakan historiografi tentang tokoh hanya mengasumsikan nilai-nilai positif dalam setiap peristiwa. Subjektivitas menjadi satu sifat yang kental dalam historiografi penokohan.

Terdapat argumen yang cenderung mengagung-agungkan seorang tokoh pahlawan untuk menyalurkan kepentingan tertentu. Kepentingan politis untuk meningkatkan nilai nasio-nalisme adalah salah satunya.

Sebagai contoh adalah kisah Sultan Agung (1593-1645). Raja terbesar dinasti Mataram Islam itu telah menyandang gelar pahlawan nasional sejak 1975.  Penulisan sejarah tentang Sang Sultan pun dikaitkan dengan perjuangan bangsa Indonesia karena sama-sama menghadapi bangsa asing.

Kendati demikian, generalisasi tersebut tampak sangat prematur. Konsep “Indonesia” sebagai entitas politik belum muncul pada abad ke-17. Benedict Anderson dalam buku Imagine Communities (2002) menyebut bahwa pengukuhan seorang tokoh sejarah mampu melegitimasi suatu bangsa.

Dengan kata lain, historiografi telah memasuki ranah mitologis. Mitologisasi atas kisah Sultan Agung dalam pandangan Bambang Purwanto di buku Gagalnya Historiografi Indonesiasentris!? (2006) merupakan kekacauan dalam sejarah.

Walaupun memerangi bangsa asing, pahlawan itu memiliki semangat dan upaya untuk kelanggengan hegemoni Kerajaan Mataram (bukan Indonesia). Dapat disimpulkan bahwa ekspansi Kerajaan Mataram pada daerah-daerah di Jawa sama halnya ekspansi kompeni dan pemerintah kolonial Hindia Belanda atas Nusantara pada masa yang berbeda.

Penulisan sejarah pahlawan Indonesia adalah produk zaman tertentu. Pascaperistiwa revolusi, bangsa Indonesia dihadapkan pada suatu tatanan baru pemerintahan Republik. Salah satu aspek fundamental yang diperbarui adalah historiografi.

Penulisan sejarah adalah bagian penting upaya menancapkan kedudukan Indonesia sebagai suatu bangsa yang merdeka (klaim kebenaran sejarah). Masa awal pembentukan negara Indonesia adalah periode yang krusial.

Hiruk pikup penulisan sejarah bersudut pandang Belanda (Nerlandosentris) masih membayangi kehidupan masyarakat Indonesia. Gagasan baru penulisan sejarah Indonesia pun muncul sebagai counter bagi tulisan terdahulu.

Konsep penulisan baru itu memancing kritik di kalangan sejarawan dan akademikus Indonesia. Kisah kepahlawanan yang menjadi ujung tombak penulisan sejarah periode itu dimanfaatkan sebagai alat legitimasi pemerintahan Republik Indonesia.

Dengan demikian, sejarah digunakan untuk mencari aspek protagonis dan antagonis serta menilai benar salah tindakan seorang tokoh atau kelompok dalam suatu peristiwa pada masa lalu. Dalam kenyataannya, Indonesia memiliki banyak tokoh pahlawan.

Transformasi

Setiap memperingati Hari Pahlawan, siswa-siswa sekolah melaksanakan upacara, masyarakat menggelar prosesi tabur bunga, serta pemerintah daerah menyelenggarakan karnaval, festival, dan parade di jalanan.

Hal itu adalah wujud penghormatan dan penghargaan atas dedikasi para pahlawan terdahulu. Apakah mereka memahami nilai-nilai kepahlawanan para tokoh itu? Tulisan ini bukanlah kritik terhadap pahlawan dan jasa mereka bagi nusa dan bangsa, melainkan untuk berpikir jauh lebih kritis menanggapi historiografi seorang tokoh yang diberi gelar pahlawan.

Sejarah mengenai pahlawan memang telah banyak ditulis dan dipublikasikan, bahkan historiografi modern yang berkembang akhir-akhir ini jarang memperlihatkan peran seorang tokoh atau pahlawan. Perkembangan ini adalah suatu hal yang wajar karena nilai yang hendak disampaikan kepada pembaca berbeda dengan pada masa awal kemerdekaan.

Meski telah mengalami transformasi, objektivitas dalam historiografi harus tetap menjadi landasan bagi penulis sejarah untuk menghindari anakronisme. Sebagaimana ungkapan Bambang Purwanto, sejarah seharusnya tidak hanya menampilkan kebaikan seorang tokoh/kelompok, namun juga harus mengungkapkan keburukannya.

Bukankah kita dituntut belajar dari sejarah? Penulis sejarah seyogianya mampu merekonstruksi sejarah dengan lebih arif dan bijaksana. Mereka harus mampu keluar dari belenggu kepentingan tertentu.

Melalui rekonstuksi yang objektif itulah masyarakat akan belajar mengenai nilai kebaikan dan keburukan seorang tokoh atau pahlawan. Rekonstruksi sejarah akan jauh lebih humanis dengan mengelaborasikan aspek kemanusiaan itu.

Sesungguhnya manusia adalah makhluk yang tidak akan luput dari kesalahan. Tokoh atau pahlawan pun memiliki kisah kelam masing-masing. Alangkah lebih baik jika sejarah mengenai kisah kepahlawanan diilhami sebagai cara mencapai taraf hidup yang lebih bijaksana.

Gelar pahlawan bukanlah tanda jasa sembarangan. Gelar ini diberikan kepada orang yang berjasa demi kedaulatan Indonesia dalam segala aspek. Mereka adalah tokoh yang gugur demi bangsa dan negara, demi terciptanya Indonesia yang merdeka.



(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 11 November 2022. Penulis adalah alumnus Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya