SOLOPOS.COM - Joko Riyanto, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Joko Riyanto, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Korps hakim di negeri ini kembali tercoreng. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap dua hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di daerah. Dua hakim tersebut adalah Kartini Juliana Mandalena Marpaung (hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Semarang) dan Heru Kisbandono (hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Pontianak). KPK juga menangkap seorang pengusaha bernama Sri Dartutik yang diduga sebagai pihak berperkara yang menyuap hakim Pengadilan Tipikor (Koran Sindo, 18/8).

Promosi Gonta Ganti Pelatih Timnas Bukan Solusi, PSSI!

Penangkapan hakim dalam kasus suap ini bukan kali pertama tapi sudah berulang kali. Publik tentu masih ingat beberapa kasus serupa, seperti Ibrahim, hakim tinggi Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta; Roy M Maruli Napitupulu, hakim PN Balige, Sumatra Utara; Muhtadi Asnun, Ketua PN Tangerang; Sudiarto, hakim PN Banjarmasin; Syarifuddin Umar, hakim kepailitan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Imas Dianasari, hakim ad hoc Pengadilan Negeri Bandung.

Kasus penangkapan hakim oleh KPK mempertegas bahwa remunerasi hakim ternyata tak mengurangi penyelewengan dan tindakan suap. Persoalan utama terletak pada moralitas pribadi seorang hakim. Hakim yang seharusnya berlaku adil malah melakukan kejahatan terselubung karena kekuatan pengaruh pengusaha, penguasaan hukum dan akses yang dimilikinya.

Di dalam realitas tersebut yang muncul adalah kekacauan sistem. Hakim yang sudah bobrok moralnya akan menyebabkan sistem menjadi tumpul dan tak lagi berarti. Entah telah berapa banyak koruptor, pelanggar hukum dan sejenisnya yang bebas merdeka karena keputusan hakim atau hasil kerja sama jaksa dan hakim dengan balasan bayaran sejumlah uang.

Nurani mereka telah mati sehingga tak mengherankan apabila keputusan atau vonis mereka tidak lagi berpatokan pada bukti-bukti, saksi dan fakta yang terungkap di pengadilan. Tidak salah apabila ada yang beranggapan bahwa di negeri ini ada mafia peradilan dan peradilan sesat, menghukum yang benar dan membela yang membayar.

Hukum mudah menjerat mereka yang tak punya akses ke pusat-pusat kekuasaan dan yang tak bertopangan materi. Pada sisi lain, hukum seolah-olah lumer tak berdaya dikendalikan oleh kekuatan hitam, yang paling aktual ”ditunjukkan” oleh kedua hakim Pengadikan Tipikor yang ditangkap KPK tersebut. Reliable judiciary, penegakan hukum yang memberi jaminan keterukuran penyelesaian persoalan pada akhirnya hanya menjadi utopia: tidak lagi menjaga dan memberi harapan kepada rakyat.

I Putu Gelgel (2005) sudah lama menyatakan bahwa sepanjang hari panggung hukum Indonesia harus terus dikritik sebagai hukum terburuk di dunia, membingungkan, menjengkelkan, tidak dapat dipercaya dan seterusnya. Ini semua tak lepas dari kinerja aparatnya yang memberi ”ruang berkolaborasi” atau berkolusi dengan penjahat dan koruptor.

Michel Foucault dalam Power (1981) sebagaimana dikutip Yasraf Amir Piliang menyatakan dalam wacana hukum ada relasi timbal balik antara rezim kebenaran dan instrumen kekuasaan. Realitas diterima sebagai benar oleh masyarakat bila ada check and balances dalam permainan kekuasaan rezim kebenaran.

Namun, bila ada ”ekses kekuasaan” di mana sebuah komponen rezim kebenaran menggunakan kekuasaannya secara berlebihan dan mencolok dalam mendefinisikan kebenaran, yang dihasilkan adalah hantu-hantu kebenaran.

Sudjito, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogja, menyatakan ada empat tipe hakim. Pertama, hakim yang memutus perkara atas dasar pertimbangan untung rugi yang dihitung secara material. Inilah tipe hakim ”pedagang”. Hakim tipe ini secara terselubung sering terlibat suap-menyuap.

Kedua, hakim yang memutus perkara karena takut sehingga tak mandiri. Ada desakan dan campur tangan kekuasaan politik serta kekhawatiran bahwa kariernya dikebiri. Vonis berkiblat demi keamanan serta kenyamanan diri sendiri dan keluarga tanpa peduli apa pun nasib tersangka. Inilah tipe hakim ”budak” majikan.

Ketiga, hakim memutus perkara atas dasar pertimbangan sosial kemasyarakatan. Suara dan kritik serta budaya hukum yang dihadapi tersangka menjadi unsur penting untuk diperhitungkan. Inilah tipe hakim sosiologis kultural. Keempat, hakim memutus perkara didorong kekuatan spiritual dari dalam kalbu sehingga hati nurani memegang peran. Vonis tak lain merupakan pengejawantahan isi hati nurani. Tak ada bohong, dusta, dan kezaliman tebersit di dalamnya.

Pasal-pasal perundang-undangan hanyalah alat pelengkap dan bukan penentu kadar berat ringannya vonis. Sikap, perilaku dan vonis hakim diabdikan kepada Sang Pencipta. Ini tipe hakim spiritual-religius. John Grisham dalam bukunya, Pelican Brief (1992), memaparkan dengan jelas dan terang peristiwa pembunuhan seorang hakim Supreme Court Amerika karena pandangan hukum sang hakim diprediksi akan merugikan pihak tertentu dalam sebuah perkara uji konstitusionalitas sebuah undang-undang.

 

Sanksi Luar Biasa

Setelah sang hakim terbunuh, pihak-pihak yang berkepentingan akan berusaha mendukung terpilihnya hakim yang berpihak kepada mereka sebagai hakim pengganti. Dalam sistem peradilan di Indonesia, hakim memang memiliki independensi dalam memutuskan suatu perkara. Artinya, tidak ada pihak lain yang berwenang melakukan intervensi terhadap putusan hakim.

Tapi, dalam penegakan hukum hakim sering takluk dengan lembar-lembar uang sehingga ia mudah disuap dan dibeli. Kini, palu para hakim yang suci telah berlumur suap sehingga tidak mampu memutus perkara dengan penuh rasa keadilan hukum. Hakim telah melacurkan dirinya dengan uang suap.

Jubah hakim yang penuh wibawa kekuasaan dan kewenangan juga luntur oleh suap sehingga hukum mudah dibeli dan diselewengkan. Tatkala hakim bisa disuap koruptor dan penjahat, sia-sialah semua pekerjaan jaksa dan polisi. Koruptor yang dicari dan ditangkap dengan susah payah dibebaskan para hakim di pengadilan.

Hakim penerima atau peminta suap adalah pengkhianat nyata dunia peradilan, penghancur cita-cita hukum untuk menghadirkan ketertiban masyarakat dan keadilan. Kepada hakim suap sewajibnya diberikan sanksi tegas karena telah merendahkan hukum, menistakan kemanusiaan masyarakat Indonesia.

Hakim penerima suap adalah pengkhianat bangsa. Terhadap pengkhianat hukum dan bangsa demikian, hukum biasa tidaklah pantas. Harus diberikan sanksi luar biasa. Jika tidak, negeri ini akan terus dalam belenggu korupsi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya