SOLOPOS.COM - Purnawan Andra (FOTO/Dok)

Purnawan Andra (FOTO/Dok)

Peneliti di Pusat Kajian
Budaya Andrasmara Solo

Promosi Santri Tewas Bukan Sepele, Negara Belum Hadir di Pesantren

Di dalam ruang bekas Gedung Volksraad, Jl Pejambon, Jakarta yang penuh asap rokok dan perdebatan 62 politisi yang tak kunjung usai, Radjiman sebagai ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) melontarkan pertanyaan kepada anggota sidang,”Jadi apa dasar negara kita kelak?” Waktu itu 1 Juni 1945.
Soekarno tampil di depan forum dan berkata,”Saudara-saudara, dasar-dasar negara telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolis. Simbolis angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Indra. Apa lagi yang lima bilangannya? Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah Panca Sila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.”
Berpuluh tahun melintasi labirin waktu dan menjadi saksi mata perjalanan bangsa ini. Sampai sekarang Pancasila masih menjadi sebuah utopia. Soekarno mungkin tak menyadari bahwa nilai itu terlalu indah untuk dibayangkan, sekaligus sulit dijalani.
Soekarno dan para penerusnya tidak pernah benar-benar menjalani ide itu dalam alam nyata. Membiarkan terus menjadi dogma-dogma. Pertanyaannya, apakah masih relevan dengan generasi Music Television atau MTV atau sekian puluh partai politik. Siapa yang akan mengusungnya ?

Kenyataan
Bagaimanapun hari lahir ideologi rakyat Indonesia itu perlu dilestarikan semua pihak, termasuk para generasi muda untuk menumbuhkan semangat nasionalisme yang sekarang ini sudah mulai luntur. Pada kenyataannya saat ini Pancasila—konsensus moral yang menjadi kerangka dasar dalam interaksi sosial-politik bangsa—cenderung diabaikan karena dianggap tidak sesuai lagi dengan kehidupan masa kini.
Nilai-nilai kapitalisme global tidak hanya memperlemah sistem politik nasional dan fungsi negara tapi juga telah memengaruhi perilaku aktor politik dalam interaksi sosial. Ada kecenderungan interaksi sosial para elit politik tidak lagi didasarkan pada nilai-nilai sosial (moral) tapi lebih menonjolkan nilai materi dan  mengesampingkan nilai-nilai moral.
Pembusukan moral—seperti korupsi, teror, intimidasi, prasangka dan sebagainya—merebak dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk sosial dan politik. Munculnya berbagai kelompok kepentingan akibat fanatisme yang berlebihan saat ini telah melunturkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Hak asasi manusia diabaikan. Persatuan dan kesatuan terancam dengan munculnya gerakan-gerakan anarkis-separatisme. Banyaknya korupsi, manipulasi anggaran dan penyimpangan-penyimpangan lain yang dilakukan oleh pejabat dan aparat negara merupakan bukti bahwa mereka yang seharusnya menjadi teladan dalam berpancasila ternyata gagal menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup mereka.
Korupsi sendiri terjadi ketika ada pertemuan niat dan kesempatan. Tetapi, karena nilai-nilai kearifan lokal semakin ditinggalkan–yang ada nilai-nilai kapitalis–terdoronglah orang bertindak korupsi. Padahal Pancasila sesungguhnya merupakan sumber nilai antikorupsi.

Masyarakat Sehat
Pancasila digali dari tradisi kehidupan di Indonesia jauh sampai ke dasarnya. Pancasila diharapkan dapat menjadi falsafah hidup manusia Indonesia dalam mengembangkan eksistensi untuk mencapai kebutuhan-kebutuhannya. Manusia Indonesia juga tidak terpisah dari ikatan-ikatan tradisionalnya karena Pancasila itu sendiri berasal dari tradisi manusia Indonesia.
Dalam Pancasila tercakup pula pengertian dan tujuan manusia Indonesia untuk mencapai suatu kepribadian yang mentally health sebagaimana mental health yang dikemukakan Erich Fromm. Pancasila dapat dijadikan landasan selanjutnya bagi terbentuknya suatu sane society, suatu ”masyarakat yang sehat” di Indonesia.
Soekarno mengakui dia bukan pencipta Panca Sila. Disadari atau tidak, nilai-nilai yang terkandung sudah ada dalam diri bangsa Indonesia sejak lama. Ia mengatakan hanya menjadi ”penggali” kandungan nilai-nilai yang mengandung ajaran universal yang melompat jauh itu.
Ia bisa membebaskan primordialisme dan belenggu etnis dan agama. Pancasila sebagai saripati budaya Nusantara dapat mempersatukan segala bentuk perbedaan. Di tengah berbagai kondisi memprihatinkan itu mengingat dan menyegarkan kembali makna Pancasila sangatlah signifikan.
Hal itu akan memberikan pijakan dan panduan bagi para pemimpin dan segenap anak bangsa  untuk mengadakan gerakan yang bertujuan memunculkan kesadaran kolektif yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila, yang meletakkan manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan aturan-aturan moral yang mengikat.
Atas dasar itu, perlu dikembangkan norma-norma yang mengandung nilai-nilai moral (ketuhanan) yang dapat dijadikan pijakan perilaku bertindak dalam tata pergaulan politik sehari-hari, seperti  menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (perikemanusiaan) dengan tidak saling menyakiti (dengan melakukan tindak kekerasan) terhadap sesama; mengutamakan dialog/komunikasi dan musyawarah dengan menghindari perilaku mau menang sendiri; menjaga persatuan atas prinsip kemajemukan/pluralisme/bhinneka atas kesediaan bekerja sama (gotong royong) dan saling menghargai; serta berlaku adil kepada sesama dengan menghindari kesewenang-wenangan.
Kini sangat perlu untuk menyebarluaskan kembali Pancasila ajaran Bung Karno ke segenap lapisan masyarakat dan terutama generasi muda Indonesia agar kita semua bisa memahaminya secara utuh, meyakini akan kebenarannya dan siap untuk memperjuangkan dan melaksanakannya.
Kita perlu berpikir kritis apakah Pancasila sungguh ideologi atau sekadar kumpulan dari keyakinan yang masih perlu diyakinkan lagi agar bisa menjadi pandangan hidup yang sesungguhnya. Persis dalam konteks ini, kita semua perlu bermenung diri, apakah kita masih merasa bersaudara sebagai satu Indonesia, apakah betul ada ”citra kolektif” yang mengikat kita untuk tetap ”ada bersama” sebagai satu negara-bangsa.
Kalau ”ikatan psikologis” (istilah Duverger, 1973) itu rapuh dan kita sulit menemukan ”citra kolektif” pada masa lalu yang memampukan kita untuk merasa bersaudara, barangkali Pancasila masih harus dihargai sebagai payung sekaligus pijakan bersama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya