SOLOPOS.COM - Muhammad Fatikh Anwari (Solopos/Istimewa)

Kita mulai berpikir tentang stunting atau tengkes. Penyakit gangguan pertumbuhan akibat gizi buruk. Gizi buruk berkaitan dengan ketahanan pangan. Perhatian masyarakat dan pemerintah tertuju pada bagaimana swasembada dan impor beras nasional, pengadaan program food estate. Pemerintah acap kali kalap menghadapi protes akibat keniakan harga bahan pokok utamanya beras setiap Ramadan. Ditambah iklim yang kuang menentu, daerah daerah penghasil lumbung padi banyak mengalami gagal panen.

Edukasi masyarakat luput dari perhatian. Ketergantungan masyarakat terhadap beras mengorbankan banyak sumber pangan lain. Kritik keras dilontarkan Hira Jamtani dalam pengantar buku pangan gubahan Susan George berjudul Food for beginers (1982) kemudian di terjemahkan penerbit Insist (2007) dengan judul Pangan: dari Penindasan sampai Ketahanan. Asumsi pemerintah terhadap penanggulangan darurat gizi dengan mengirimkan raskin, dinilai  Hira sebagai sebuah upaya membuat masyarakat bergantung pada beras. Sumber makanan lain semacam umbi umbian tersingkirkan.

Promosi Pemilu 1955 Dianggap Paling Demokratis, Tentara dan Polisi Punya Partai Politik

Mari sejenak kita mengingat Mustika Rasa,  buku resep masakan Nusantara susunan era Sukarno-kemudian dicetak ulang Komunitas Bambu. Kita sekilas melihatnya sebagai kookboek. Namun, dalam memo, Menteri Pertanian dr. Aziz Shaleh berujar, “Supaja kookboek ini merupakan penundjuk djalan bagi rakjat Indonesia di daeah manapun bagaimana bahan-bahan makanan di daerahnja dapat diolah mendjadi makanan lezat jang berfaedah.”

Penerbitan buku ini bukan saja untuk menambah koleksi resep masakan saja, tapi juga sebagai edukasi ketahanan pangan masyarakat. Pemerintah pada masa itu mengajarkan kepada masyarakat bagaimana bahan bahan di sekitarnya dapat diolah menjadi makanan bergizi. Ketahanan pangan diajarkan. Diedukasikan kepada masyarakat melalui penerbitan buku masakan. Orientasi pemerintah dari usaha swasembada beras diubah menjadi swasembada bahan makanan. Begitu pengantar dari menteri.

Pada masa itu pemerintah secara radikal revolusioner mencoba mengganti menu makanan rakyat dari  beras melulu ke bahan makanan lainya seperti jagung, umbi-umbian, dan kacang-kacangan. Eksekusi program ini disusul dengan terbitnya majalah, dan diktat pengajaran pertanian. Untuk memberikan pengetahuan ilmu pertanian dan pangan kepada masyarakat. Sehingga masyarakat tidak hanya bergantung pada beras sebagai bahan makanan.

Di masa selanjutnya pascatumbangnya Sukarno, Suharto juga melalui prosiding gizi tahun 1993 menerbitkan buku A.C.M.I akronim Aku Cinta Makanan Indonesia. Maksud penerbitan buku pun untuk pemenuhan gizi masyarakat. Kegagalan pemenuhan gizi dengan program swasembada beras membuat pemerintah pada saat itu sadar-meskipun tak cukup mengubah orientasi dari swasembada beras ke swasembada pangan–akan makanan pokok penduduk Indonesia tak hanya beras. Pemerintah mengajak masyarakat bersama secara mandiri memenuhi kebutuhan gizi.

Selanjutnya kita menginal istilah kebon. Rumah penduduk memiliki sepetak lahan pekarangan untuk bercocok tanam. Mereka menanam apa saja untuk memenuhi kebutuhan harian. Istilah dewasa ini urban farming. Pada 1952, Moh. Abdulrachman menulis buku Wanita dan Pekarangan. Ia mengisahkan dalam pengantarnya. “Mengingat di waktu pendudukan Djepang, di mana kita sering kali kekurangan bahan makanan, terutama jang mengenai sajur-majur dan buah buahan, maka saja dengan ini mengandjurkan kembali penanaman pekarangan-pekarangan rumah”. .Pemanfaatan pekarangan semacam ini membantu mereka mencukupi kebutuhan gizi keluarga.”

Kita mesti belajar semacam ini pada orang desa, di mana sepengalaman saya sewaktu kecil mengamati bagaimana ibu saya dan tetangga saling meminta bahan dapur seperti bawang, garam, atau mungkin pinjam meminjam beras. Begitu penduduk desa saling berbagi menurut Susan Goerge dalam bukunya pangan Dari Penindasan sampai Ketahanan. Orang primitif menganggap bahan makanan seperti ibu, maka setiap orang berhak untuk mendapatkan bahan makanan. Inilah prototip awal model ketahanan pangan.

Kita tentu ingat semasa Covid-19. Melalui program Jaga Tangga secara kolektif menyediakan bahan makanan untuk tetangga terdampak. Pada masa itu semua prihatin terhadap kondisi penduduk sekitar. Masyarakat saling sadar pangan menjadi sumber utama untuk bertahan bersama di tengah pandemi. Inilah maksud Susan bagaimana bahan makanan ibarat seorang ibu.

Sudah seyogianya kemudian cakupan terkecil seperti keluarga harus menjadi perhatian utama pemerintah dalam menghadapi krisis pangan dan permasalahan kekurangan gizi. Begitulah kiranya ketahanan pangan bisa diwujudkan. Tidak melulu melalui program untuk memanjakan masyarakat. Edukasi pangan lebih utama daripada sekadar memanjakan penduduk dengan bantuan raskin 15 kg . Ada ujar-ujar “dengan memberi seekor ikan cukup untuk hidup satu hari, tapi dengan kail dan pelajaran menangkap ikan seseorang dapat bertahan hidup lebih lama”.

Artikel ini telah dimuat di Koran Solopos edisi 26 Maret 2024. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris UIN RM Said Surakarta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya