SOLOPOS.COM - Moh. Rifqi Rahman (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Sebentar lagi Kurikulum Merdeka sah menjadi kurikulum nasional. Kabarnya Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi sedang menyiapkan payung hukum dan menargetkan pengesahan pada Maret 2024 ini.

Anita Lie (2022) menyebut tiga keunggulan Kurikulum Mereka. Pertama, ada pendalaman materi serta pengembangan kompetensi sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna dan menyenangkan.

Promosi Era Emas SEA Games 1991 dan Cerita Fachri Kabur dari Timnas

Kedua, kebebasan guru menetapkan tahap capaian siswa sekaligus kebebasan sekolah mengembangkan kurikulum. Ketiga, ada pengembangan karakter melalui pengejawantahan profil pelajar Pancasila secara aktual-kontekstual.

Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi menyatakan Kurikulum Merdeka memberikan keleluasaan kepada guru untuk fokus hanya pada pembelajaran siswa.

Alih-alih berkejaran dengan target penyelesaian materi yang terlalu banyak dan penyelesaian administrasi Kurikum Merdeka memfasilitasi guru untuk melakukan eksplorasi strategi dan metode pembelajaran yang menyenangkan serta memperhatikan kualitas belajar siswa.

Dengan kata lain, Kurikulum Mereka secara tidak langsung menggiring guru untuk beranjak dari tuntutan pembelajaran kuantitatif ke pembelajaran kualitatif dengan fokus hanya pada pembelajaran siswa.

Berdasarkan hal itu, demi menyukseskan transformasi pembelajaran kuantitatif ke pembelajaran kualitatif tersebut, tuntutannya adalah guru harus memiliki pedagogi yang matang.

Tidak mungkin pendalaman materi, penetapan tahap pembelajaran sesuai capaian siswa, serta internalisasi profil pelajar Pancasila secara aktual-kontekstual dapat dilakukan apabila guru minim pengetahuan prinsip-prinsip strategi atau metode mengajar.

Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi melalui Kurikulum Merdeka sebenarnya sudah mencanangkan beberapa kebijakan. Salah satu kebijakan tentang usaha peningkatan pedagogi adalah peningkatan kapasitas dan kinerja guru serta kepala sekolah.

Kebijakan ini meliputi reformasi program profesi guru (PPG), sekolah penggerak, pendidikan guru penggerak, serta pelatihan dan pengembangan karier guru di Platform Merdeka Mengajar (PMM).

Di antara program-program pada kebijakan peningkatan kapasitas dan kinerja guru serta kepala sekolah itu, program guru penggerak merupakan yang paling ngetren. Program ini menawarkan beberapa hal, salah satunya adalah kemampuan pedagogik yang berpusat pada siswa dengan melibatkan orang tua.

Peran seorang guru penggerak diharapkan dapat menjadi katalis perubahan di daerahnya sendiri. Meski demikian, program ini tentu tidak lepas dari asumsi korektif.

Doni Koesoema (2023) menyatakan program guru penggerak sebenarnya tidak menambahkan hal-hal baru kecuali hanya memberikan legitimasi status guru yang sebelumnya sudah mengikuti standardisasi kriteria guru penggerak.

Selain itu, program ini justru dapat menciptakan fragmentasi, elitisme, dan ketidakadilan dibandingkan dengan tujuan untuk melakukan transformasi pendidikan. Guru-guru justru terklasifikasi menjadi guru-guru penggerak dan guru-guru nonpenggerak.

Guru-guru penggerak kemudian diberi berbagai keistimewaan seperti proyeksi menjadi pemimpin pendidikan (kepala sekolah). Sampai pada akhirnya program ini hanya mengarah pada ketimpangan dan ketidakadilan karena perhatian dan prioritasnya tertuju pada sedikit  guru.

Lebih dari itu, menurut Nurhemida (2023), guru penggerak hanyalah sekumpulan guru pemburu centang hijau. Guru penggerak lebih sibuk menyelesaikan modul dan merekapitulasi jumlah sertifikat. Setiap pengerjaan modul dihargai dengan centang hijau.

Dengan kata lain, dalam prosesnya guru penggerak terjebak dalam paradigma pendidikan centang. Hal ini cukup mengherankan sebab roh Kurikulum Merdeka adalah kebebasan guru dalam menentukan kompetensi apa yang perlu digali untuk menutup lubang kekurangan dalam proses pembelajaran.

Terlepas dari asumsi-asumsi di atas, apresiasi secara fair perlu disampaikan. Hal-hal seperti fragmentasi, elitisme, dan ketidakadilan merupakan efek samping dari usaha Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi mengupayakan pemerataan kompetensi guru secara bertahap.

Para guru penggerak pada akhirnya diharapkan menjadi kepanjangan tangan untuk ikut serta mengonstruksi kompetensi rekan guru lainnya sehingga perlahan-lahan guru-guru di Indonesia memiliki kompetensi yang, paling tidak, setara.

Memang memerlukan cukup waktu, tapi pemangkasan kesenjangan kompetensi antarguru melalui program guru penggerak ini cukup masuk akal. Tantangan sebenarnya bagi para guru penggerak justru ketika Kurukulum Merdeka benar-benar sah sebagai kurikulum nasional.

Kabarnya, sekolah yang belum menerapkan Kurikulum Merdeka memiliki waktu dua tahun untuk mempelajari. Prediksi saya adalah akan ada kepanikan (panic-gogy) di antara para guru tentang bagaimana praktik (metode dan strategi) pembelajaran ideal dalam Kurikulum Merdeka selama dua tahun tersebut.

Di sinilah ujian pembuktian para guru penggerak itu. Ketika panic-gogy terjadi, guru penggerak diharapkan benar-benar mampu memainkan peran untuk menjadi sosok inspiratif yang dapat menyelesaikan masalah.

Panic-gogy merujuk pada pendekatan pendidikan yang berfokus pada pembelajaran dalam situasi darurat (Kamenetz, 2020). Istilah ini muncul ketika pandemi Covid-19 terjadi. Guru-guru merasa panik akibat keterbatasan mereka untuk melakukan pembelajaran.

Jika merujuk pada latar belakang ini, penggunaan istilah panic-gogy memang cenderung kurang pas untuk disandingkan dengan isu Kurikulum Merdeka sebab implementasi Kurikulum Merdeka sedang tidak berhadapan dengan kondisi kritis.



Alasan utama mengapa istilah panic-gogy tetap digunakan dalam konteks ini adalah tentang implikasinya. Panic-gogy cenderung melahirkan kepraktisan (Baker, 2020). Demikian juga dengan Kurikulum Mereka.

Ketika waktu dua tahun tidak kunjung dimaksimalkan maka implementasinya juga bisa mengarah pada kepraktisan. Guru-guru yang tidak benar-benar memahami bagaimana pedagogi ideal Kurikulum Merdeka hanya akan melaksanakan proses pembelajaran seadanya, sekadarnya, dan apa adanya.

Oleh sebab itu, peran guru penggerak perlu dioptimalkan untuk benar-benar membantu pemerataan kualitas guru dan memangkas kesenjangan supaya sematan namanya benar-benar aktual, sebagai penggerak.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 4 Maret 2024. Penulis adalah dosen di Institut Al Azhar Menganti, Gresik, Jawa Timur dan alumnus S3 UIN Sunan Ampel Surabaya)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya