SOLOPOS.COM - Adib Muttaqin Asfar (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Macet  adalah pemandangan lumrah di Kota Solo dan sekitarnya menjelang hingga setelah Lebaran. Kemacetan itu jamak dipahami sebagai efek mobilitas tahunan yang layak dimaklumi. Tentu tak semua orang mau memahami karena keinginan untuk menang sendiri.

Empat hari menjelang Lebaran, saya beraktivitas seperti biasa, bekerja sambil mengantar dan menjemput anak pulang dari tempat les. Ruas Jl. Adisucipto, Colomadu, Karanganyar, sore itu penuh dengan kendaraan.

Promosi Sejarah KA: Dibangun Belanda, Dibongkar Jepang, Nyaman di Era Ignasius Jonan

Kebanyakan mobil berpelat nomor luar kota, khususnya berkode B. Saya (dan mungkin banyak pengguna jalan lainnya) mafhum inilah momentum mudik yang dinantikan bersama. Macet tak terhindarkan di persimpangan tak jauh dari kampus International Hotel Management School.

Itu simpul lalu lintas dari berbagai arah. Saat deretan sepeda motor dari arah timur hendak menyeberang masuk kampung ke arah utara, sebuah mobil datang dari barat seakan-akan tak rela mengurangi kecepatan. Suara klakson berbunyi berulang dari jarak 100-an meter.

Lampu sorot berkali-kali menyala, pertanda kendaraan-kendaraan lain harus menyingkir segera. “Minggir! Saya mau lewat,” begitu kira-kira pesan yang hendak dikirim sang pengemudi mobil sport utility vehicle (SUV) ladder frame itu melalui sorot lampu dan klakson jika diterjemahkan dalam kata-kata.

Selebgram Australia yang tinggal di Indonesia, Damian Hoo, pernah menyoroti keagresifan pengemudi mobil dan motor di Indonesia. Saking prihatinnya, dia sampai meminta pengemudi mobil di Indonesia belajar kepada pengemudi mobil di Australia.

Arogansi pengemudi mobil bukan hal baru. Mereka digunjingkan dalam banyak percakapan di media sosial, grup Whatsapp, bahkan berkali-kali diberitakan. Ada yang tak terima jalurnya dipotong kendaraan lain, ada yang kebut-kebutan di jalan tol, ada yang melanggar lajur, menodongkan pistol, dan perilaku arogan lainnya.

Mendadak saat itu saya teringat berbagai modus arogansi pengemudi SUV ladder frame yang terkenal itu. Saya paham dia menginginkan apa. Iseng saya berusaha melongok seperti apa sosok arogan di balik kemudi mobil mahal itu lantaran kebetulan kaca jendela depannya setengah terbuka.

Dia seorang lelaki kurus berusia paruh baya, sekitar 50 tahun, yang mengenakan polo shirt warna putih khas bapak-bapak kelahiran 1970-an. Yang saya bayangkan adalah sosok berbadan tegap, besar, dan bermuka sangar. Bagaimana seseorang yang sama sekali “tidak sangar” itu juga bisa bertingkah arogan di jalanan?

Ada beberapa kemungkinan mengapa seseorang bisa berubah arogan di belakang kemudi mobil besar. Penjelasan Director Training Safety Defensive Consultant, Sony Susmana, yang dikutip media otomotif Otodriver beberapa waktu lalu adalah salah satunya.

Dia menyebut jenis mobil berkaitan dengan karakter pengemudi. Pilihan mobil mewakili karakter pengemudi. Jenis-jenis mobil tertentu dimanfaatkan pengemudi untuk menunjukan tindakan agresif di jalan raya seperti karakter pribadinya.

Pandangan ini ada benarnya dalam konteks orang-orang yang memiliki privilese memilih mobil sesuka hati. Misalnya, orang yang memiliki sumber daya keuangan melimpah bisa memilih mobil dengan daya, torsi, dan akselerasi yang besar. Bagi kebanyakan orang, membeli mobil tentu harus sesuai dengan kemampuan anggaran.

Karakter Konsumen

Opini Sony menarik karena menunjukkan kaitan antara mobil tertentu dengan karakter seseorang. Mobil adalah produk dan pengemudinya adalah konsumen. Dalam banyak strategi pemasaran, produsen berupaya mencitrakan sebuah produk mewakili karakter kelompok atau kelas konsumen tertentu.

Nilai produk bukan lagi sekadar barang atau jasa yang bermanfaat secara fungsional, tetapi melampaui fungsi asalnya. Misalnya, satu unit mobil awalnya dibuat sebagai alat transportasi.

Kini, mobil-mobil tertentu sengaja dibuat dengan tampilan mewah, sangar, mesin bertenaga, torsi besar, dan ban berukuran besar untuk mewakili karakter pengemudinya. Fungsi mobil itu tak lagi sekadar alat transportasi, tetapi juga identitas sang pemilik.

Ini persis seperti yang dikatakan Steven Miles dalam buku berjudul Consumerism: As a Way of Life (1998). Profesor sosiologi di Manchester Metropolitan University, Inggris, itu menyebut barang dan jasa h bukan lagi hanya dibuat untuk memenuhi kebutuhan manusia, melainkan juga menentukan jati diri penggunanya.

”Barang konsumsi dan jasa memainkan peran penting untuk menentukan siapa kita dan bagaimana kita mengonstruksikan kehidupan sosial kita, dalam hal bagaimana kita menggunakan barang-barang dan jasa tersebut,” kata Miles dalam buku itu.

Ya, barang dan jasa yang kita konsumsi menentukan identitas kita sebagai pengguna. Barang dan jasa tertentu dibuat dengan brand atau jenama khusus, untuk kalangan tertentu, dengan tingkat kenyamanan tertentu, dan tentu dengan harga yang berbeda.

Dalam konteks mobil, pemilik SUV besar akan merasakan dirinya berbeda level dari pengguna low cost green car (LCGC) berharga Rp100-an juta. Miles memandang fenomena ini dalam konteks ekonomi.

Jika teori ekonomi klasik mengajarkan pasar dibentuk oleh penawaran dan permintaan (supply and demand), dia menyinggung Fordisme yang menjadi salah satu prinsip dalam produksi massal.

Menurut Miles, perkembangan krusial terkait munculnya masyarakat konsumen adalah pertumbuhan daya beli kelas pekerja. Beberapa tahun setelah Perang Dunia II, muncul pasar yang berbasis prinsip-prinsip Fordisme.

Fordisme adalah ide atau prinsip yang dicetuskan pengusaha besar legendaris Amerika Serikat (AS), Henry Ford, yang juga diakui sebagai pionir sistem produksi massal dalam industri mobil.

“Fordisme berbasis prinsip ukuran, keseragaman, dan kemampuan memprediksi, serta ide upah besar untuk menjaga permintaan tetap tinggi. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah Amerika Serikat saat itu yang berupaya memastikan pekerja penuh mendapatkan kemakmuran,” kata Miles.

Dalam Fordisme, seorang pekerja mendapatkan surplus yang penting untuk membeli barang konsumsi. Henry Ford juga melontarkan ide bahwa pekerja harus didorong menjadi konsumen barang yang mereka produksi sendiri. Intinya, bagaimana caranya supaya produk selalu diserap oleh pasar.



Ini bisa menjelaskan mengapa produsen mobil selalu meluncurkan model terbaru secara periodik, bahkan setiap tahun. Mereka tahu setiap model yang mereka keluarkan selalu punya pangsa pasar, termasuk SUV-SUV mahal itu. Semakin banyak orang yang memiliki karakter atau bakat agresif di jalanan, di situlah SUV-SUV tersebut menemukan pasarnya.

Karakter agresif hanya bisa dikendalikan melalui pendidikan yang baik sejak sekolah dasar. Di Jepang–salah satu produsen utama otomotif dunia–anak-anak dididik untuk antre, menghargai orang lain, dan tidak merugikan kepentingan orang lain.

Karena itulah, masyarakat di sana lebih menyukai kei car yang mungil dan bertenaga kecil. Sebaliknya, mobil-mobil kekar menjadi raja jalanan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 16 Mei 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya