SOLOPOS.COM - Danang Muchtar Syafi’i (FOTO/Ist)

Danang Muchtar Syafi’i (FOTO/Ist)

Mahasantri Pondok Shabran
Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah
Surakarta

Promosi 204,8 Juta Suara Diperebutkan, Jawa adalah Kunci

Ketika dunia pendidikan dikelola oleh pejabat parasit, jangan heran jika dunia pendidikan akan terus terpuruk. Itulah sepenggal gagasan Rumongso dalam Rubrik Gagasan SOLOPOS edisi Rabu (2/5) dengan judul Sterilkan Pendidikan dari Parasit.
Parasit dalam konteks dunia pendidikan kita adalah segara kebijakan dan pejabat pemegang otoritas pengelolaan pendidikan yang justru mengakibatkan dunia pendidikan kita kian terpuruk. Manifestasi parasit pendidikan ini bermacam-macam.
Belum lama ini, muncul parasit “spesies” baru di dunia pendidikan kita yang “menghancurkan” bidang pendidikan agama Islam (PAI). Spesies baru parasit ini beberapa waktu lalu muncul dalam bentuk ujian sekolah berstandar nasional pendidikan agama Islam (USBN PAI) di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK dan yang sederajat. Kebijakan menyelenggarakan USBN PAI ini saya sebut parasit karena imbasnya justru “menghancurkan” dunia pendidikan agama Islam.
Pelaksanaan USBN PAI tersebut sedikitnya berlatar belakang tiga hal. Pertama, UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khusunya Bab XVI Pasal 57 ayat (1) yang menyatakan evaluasi dilaksanakan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Kedua, Peraturan Menteri Agama No 16/2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama di Sekolah. Bab IX Pasal 26 ayat (1) menyatakan penilaian hasil belajar pendidikan agama meliputi penilaian hasil belajar oleh pendidik, satuan pendidikan dan pemerintah. Selanjutnya, ketiga, ayat (4) menjelaskan penilaian hasil belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk ujian yang dilaksanakan secara nasional.
Oleh karenanya untuk mengetahui mutu pendidikan agama Islam yang dilaksanakan di sekolah secara nasional, ”spesies” baru parasit diciptakan yang berupa kebijakan perlu melakukan evaluasi yang menyeluruh terhadap hasil pembelajaran siswa melalui USBN PAI.
Saya berpendapat, keputusan menyamakan dan memaksakan soal ujian agama Islam di berbagai sekolah di seluruh Indonesia itu membuktikan ada parasit dalam dunia pendidikan bangsa ini. Pantas saja bila Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin menilai USBN PAI tak perlu diadakan lagi oleh Kementerian Agama (Kemenag) karena pendidikan agama sebenarnya tidak perlu diujikan.
Sebagai mahasiswa yang punya cita-cita menjadi pembaru dan pengembang pendidikan Islam, saya memberikan apresiasi positif terhadap Din Syamsuddin yang berani dan tegas menolak keputusan pemerintah tersebut. Menurut saya, Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam  Kementerian Agama No DJ.I/1510/2011 tentang USBN PAI itu tidak memperhatikan atau memang dengan sengaja melupakan sejarah sekolah Islam dan warna-warni model lembaga pendidikan Islam di Indonesia.
Pendidikan Islam selama ini telah menjelma dalam pranata kehidupan dan menyatu dalam kiprah masyarakat. Model pendidikan Islam di Indonesia sangat beragam yang menggambarkan aliran komunitas basisnya. Awalnya, pendidikan Islam tumbuh dari bawah yang kemudian menginstitusi dalam bentuk lembaga mulai tingkat ibtidaiah hingga aliah dan bahkan ada yang dikemas dengan model pesantren.
Sekolah Islam, dari perspektif sejarah, merupakan perkembangan lebih lanjut dari sistem sekolah Belanda yang pertama kali diadopsi oleh Muhammadiyah sejak organisasi ini berdiri pada 1912. Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatkan (ormas) resmi, tidak sekadar mengambil alih sistem sekolah Belanda melainkan juga memasukkan pelajaran agama Islam yang sekarang dikenal dengan istilah Islam, Muhammadiyah dan Bahasa Arab (Ismuba). Sampai sekarang, Muhammadiyah menaungi lebih dari 5.632 sekolah dasar dan menengah. Bagi sekolah Muhammadiyah, soal ujian agama dari pemerintah tidak bisa disamakan dan dipaksakan.
Selanjutnya, adalah Buya Hamka yang mentransformasikan sekolah model Muhammadiyah menjadi sekolah Islam Al-Azhar di Kebayoran Baru, Jakarta. Kemudian muncul sekolah-sekolah Islam seperti Al-Izhar, Az-Zahrah, Madania, Dwiwarna, Athirah (Makassar), Mutahhari (Bandung), Sultan Agung (Semarang), Al-Khairat, Nurul Fikri, Al-Hikmah (Surabaya), Global Islamic Scool dan banyak lagi.
Dengan memperhatikan sejarah sekolah Islam dan keberagaman model lembaga pendidikan Islam tersebut, dengan sendirinya kita juga akan mengingat UU No 22/1999 dan UU No 32/2004. Kedua undang-undang itu menjelaskan tentang semangat otonomi daerah di Indonesia yang kemudian disusul dengan desentralisasi bidang pendidikan.

Pelayanan Utuh
Desentralisasi pendidikan ditandai dengan diberlakukannya UU No 20/2003 yang menggantikan UU No 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 4 ayat (6) UU tersebut dinyatakan pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
”Spesies” baru parasit sektor pendidikan ini seharusnya dicegah kemunculannya dengan mengaplikasikan teori hubungan desentralisasi ini dengan peningkatan pelayanan publik secara utuh. Pelayanan yang maksimal harus ditunjukkan kepada semua komponen masyarakat. Jika pelayanan hanya ditunjukkan kepada komunitas tertentu, berarti jelas kebijakan ini adalah kebijakan munafik yang bersifat parasit di dunia pendidikan kita.
USBN PAI yang dipaksakan dan disamakan berarti desentralisasi ideal tidak dipedulikan lagi. Tujuan desentralisasi sebagai pemenuhan kepuasan sosial, kultural dan religius serta mendorong proses demokratisasi telah diintervensi kepentingan politik dari perilaku parasitisme demi kepuasan individu dan kepentingan komunitasnya.
Bagaimana ”spesies” parasit bisa mengharapkan rakyat mengamalkan demokratisasi padahal mereka sendirilah yang tak menerapkan demokratisasi? Saya sepakat, seharusnya dunia pendidikan steril dari para parasit. Dunia pendidikan adalah dunia keteladanan. Jangan karena ”proyek” dan kepentingannya pemegang otoritas pengelolaan pendidikan seenaknya sendiri menetapkan kebijakan ngawur yang menjelma menjadi sebuah komunitas parasit. Demi membasmi parasit dunia pendidikan kita, USBN PAI harus dikaji ulang dengan fondasi pelayanan yang utuh, tidak ”memangsa” suatu lembaga pendidikan Islam tertentu yang disebabkan proyek parasitisme. Mungkin begitu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya