SOLOPOS.COM - M. Fauzi Sukri (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Sejak Pemilu 1999, tak ada partai penguasa (rulling party) secara nasional, meski ada partai pemenang pemilu. Situasi ini membawa konsekuensi pengabaian kepentingan mayoritas rakyat sekaligus menjadi peluang besar terjadi korupsi.

Inilah fenomena partai yes, rakyat no! Hampir semua partai politik yang masuk parlemen dipaksa menjadi partai koalisi alias partai yang berbagi-bagi kekuasaan, tapi tak pernah cukup kuat menjadi partai penguasa parlemen sesungguhnya.

Promosi Pembunuhan Satu Keluarga, Kisah Dante dan Indikasi Psikopat

Oposisi hanya perilaku sambil lalu, tak pernah signifikan dalam politik Indonesia. Di tingkat lokal (daerah) kita mulai menyaksikan partai-partai penguasa (bahkan sangat berkuasa!), tentu dengan dukungan partai yang lebih kecil yang tak harus menginduk pada peta koalisi parlemen nasional.

Sejak liberalisasi demokrasi pada 1999, pemilu di Indonesia menggunakan sistem proporsional yang cenderung menghasilkan dan bahkan mempertahankan sistem multipartai. Semula niat multipartai ini adalah mengoreksi arus besar tiga partai yang hanya dikuasi oleh satu partai (Golkar) selama Orde Baru (sejak pemilu 1971!).

Sistem presidensialisme dianut untuk mengimbangi kekuasaan legislatif sekaligus tetap memperkuat kekuasaan presiden agar tidak mudah jatuh atau dijatuhkan sebagaimana terjadi pada masa demokrasi liberal.

Peserta pemilu 1999 sebanyak 48 partai. Ada 21 partai politik yang masuk parlemen. Pemenang pemilu, PDIP, hanya memperoleh 33,8%, tertinggi pada era1999 sampai 2024. Partai Golkar, yang pada pemilu terakhir Orde Baru memperoleh 74%, hanya meraih 22,5%. Juara ketiga adalah PKB yang meraih suara 12,6%.

Parlemen ini tidak pernah damai, selalu ricuh, gaduh, bahkan kekanak-kanakan. Pada pemilu 2004, jumlah partai hanya 24. Berkurang separuh. Hanya 16 partai politik yang masuk parlemen.

Partai Golkar sebagai pemenang hanya mendapat 21,58% suara. PDIP turun drastis dan berada di peringkat kedua dengan 18,53%.Ddisusul PKB dengan 10,57% dan PPP dengan 8,15% suara.

Pada pemilu 2004 Partai Demokrat hanya memperoleh 7,45%, namun koalisi Partai Demokrat, PBB, dan PKPI (Partai Keadilan dan Persatuan), yang mendukung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersama Jusuf Kalla mengalahkan empat pasang kandidat lain dalam satu putaran.

Dengan posisi kelima di parlemen (56 kursi), Presiden SBY membutuhkan kekuatan yang jauh lebih besar. Bayangan penjatuhan Gus Dur jadi taruhan besar. Koalisi harga mati. Hanya PDIP yang jadi oposisi sampai 2014, tak cukup signifikan efek oposisinya—tentu hanya di tingkat nasional, bukan di daerah.

Pada pemilu 2009, peserta 38 partai plus enam partai  lokal di Aceh. Partai yang masuk parlemen hanya sembilan. Pememang pemilu adalah Partai Demokrat yang memperoleh 20,85% (148 kursi), naik 100% lebih.

Partai Demokrat digadang-gadang bakal menjadi partai besar menyaingi PDIP atau Partai Golkar, tapi akhirnya tereempas akibat skandal hiperkorupsi Wisma Atlet SEA Games pada 2011, yang menjerat sejumlah politkus Partai Demokrat.

Pada pemilu 2014, Partai Demokrat melorot ke peringkat ke-4 dengan 10,9% suara. PDIP menjadi juara dengan 18,95% suara, disusul Partai Golkar 14,75%, lalu Partai Gerindra 11,81%. Tidak ada satu pun partai yang memperoleh 20% lebih.

Pada 2014, Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang diusung PDIP menang dan memimpin Indonesia bersama Jusuf Kalla. Lima tahun berikutnya, PDIP menjadi jawara pemilu 2019. Perolehan suara naik sedikit, hanya 19,33%.

Partai Gerindra menjadi runner up dengan 12,57%, disusul Partai Golkar dengan 12,31% suara. Tak ada satu pun partai yang memperoleh 20%, apalagi sampai 50% lebih. Lima besar partai tertinggi perolehan suaranya bergabung dengan pemerintah di bawah presidensialisme Joko Widodo.

Kita bisa menyimpulkan tak ada partai penguasa (rulling party) secara nasional, meski ada partai pemenang pemilu. Hampir semua partai politik yang masuk parlemen dipaksa menjadi partai koalisi alias partai yang berbagi-bagi kekuasaan-keuntungan, tapi tak pernah cukup kuat menjadi partai penguasa parlemen sesungguhnya.

Ini artinya partai politik sebagai representasi suara mayoritas rakyat tidak terpenuhi. Hampir semua partai punya visi dan misi serta program yang tidak begitu berbeda, apalagi menggiurkan bagi rakyat.

Jika kita menggunakan bahasa kasar, kita bisa berkata sejauh ini partai politik justru lebih banyak memerah suara rakyat demi kepentingan elite politik daripada merepresentasikan suara mayoritas kepentingan rakyat. Partai yes, rakyat agak no!

Dari persentase perolehan suara partai tiap pemilu, kita tahu presidensialisme membutuhkan koalisi besar sekaligus memberi peluang bagi tiap presiden yang lihai untuk jauh lebih berkuasa di atas partai-partai.

Dari perjalanan kepemimpinan Jokowi, kita tahu puncak strategi koalisi era reformasi dipegang Presiden Jokowi, terutama pada periode kedua. Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto bisa ditarik ke gerbong Jokowi.

Tampaknya para analis politik sepakata bahwa Jokowi adalah tokoh paling lihai dalam menjalankan strategi politik koalisi. Di balik koalisi itu kita menyaksikan satu fenomena yang menyesakkan: korupsi para elite politik!

Kasus lima ketua umum partai yang dijebloskan ke penjara KPK sejak 2013 adalah noda hitam sistem politik di Indonsia! Ini konsekuensi logis dari sistem pemilu proporsional yang butuh biaya mahal.

Ini ditambah ideologi partai sebagai elan vital menjalankan partai di hadapan rakyat sangat lemah. Partai politik lebih berperilku sebagai lembaga semi-bisnis sekaligus pelemahan hukum khususnya KPK sebagai pemberantas korupsi.

Apakah para elite politik Indonesia takut pada kembalinya partai penguasa (rulling party) sebagaimana dijalani Golkar pada masa Orde Baru? Rakyat tidak akan takut! Rakyat hanya khawatir penegakan hukum di Indonesia terus berada di bawah bayang-bayang kuasa elite politikus-pengusaha!



(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 28 Juni 2024. Penulis adalah penggemar pedagogi yang sedang meneliti sejarah pendidikan Indonesia awal abad ke-20 hingga revolusi kemerdekaan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya