SOLOPOS.COM - Guru Besar Ilmu Pendidikan Sosial, Wakil Dekan 2 FTIK UIN Salatiga, Prof.Dr. Rasimin, S.Pd, M,Pd. (Istimewa)

Pernahkah kita merenung tentang peristiwa bunuh diri dan implikasinya terhadap kesehatan mental? Beberapa hari yang lalu, tatkala merayakan hari kesehatan mental dunia, kita dihadapkan pada kisah tragis yakni peristiwa mahasiswa bunuh diri disalah satu kota besar Jawa Tengah. Dugaan sementara mengindikasikan masalah pribadi sebagai pemicu keputusan menyedihkan ini.

Memahami peristiwa bunuh diri memang tidaklah mudah, karena melibatkan begitu banyak anasir yang kompleks. Fenomena bunuh diri dapat dianalisis dari perspektif patologi sosial. Dari lensa ilmu tersebut bunuh diri dilatarbelakangi oleh beberapa anasir antara lain tekanan sosial, isolasi, stigmatisasi, dan kurangnya dukungan sosial.

Promosi Skuad Sinyo Aliandoe Terbaik, Nyaris Berjumpa Maradona di Piala Dunia 1986

Patologi sosial membantu memahami bagaimana ketidakseimbangan sosial dapat memengaruhi kesejahteraan mental individu dan masyarakat secara keseluruhan. Kombinasi dari semua anasir tersebut dapat membuat seseorang merasa tidak mampu mengatasi kesulitan hidup mereka, lantas membawa mereka pada keputusan untuk mengakhiri hidup.

Emile Durkheim, seorang sosiolog terkenal berparadigma fakta sosial, memberikan sudut pandang menarik dengan menggambarkan bunuh diri sebagai hasil dari ketidak stabilan kondisi sosial.

Teori Durkheim mencakup empat jenis bunuh diri yang berbeda, seperti egoistik (akibat isolasi sosial), altruistik (keterikatan berlebihan pada kelompok), anomi (ketidakstabilan sosial), dan fatalistik (terlalu banyak pengendalian dalam kehidupan). Teori Durkheim memang klasik, kendati demikian menurut saya masih cocok dipakai sebagai pisau bedah memahami fenomena sosial, termasuk tragedi bunuh diri yang viral pada pekan kemarin.

Bagian Kurikulum

Guna mencegah tragedi bunuh diri di masa mendatang, perlu langkah-langkah preventif terpadu dari berbagai sektor. Pertama, pentingnya menjaga kesehatan jiwa seharusnya menjadi bagian dari kurikulum sekolah disemua jenjang.

Dengan cara ini, generasi mendatang akan memiliki pemahaman yang lebih tajam tentang pentingnya kesehatan mental. Kedua, bangunlah komunikasi yang sehat dalam keluarga dan masyarakat baik di level mikro maupun makro.

Dialog terbuka dan dukungan emosional di lingkungan-lingkungan itu dapat memberikan perlindungan signifikan terhadap tekanan serta kesulitan hidup.

Ketiga, perbanyak memproduksi konten bermuatan positif di media sosial juga menjadi langkah penting. Dengan mempromosikan pesan-pesan optimis dan inspiratif, kita dapat menciptakan lingkungan virtual yang mendukung kesejahteraan mental. Hal ini tentu bisa mengurangi dampak konten yang mungkin memicu risiko bunuh diri. Keempat, peran pemerintah menjadi sangat krusial.

Selain memenuhi kebutuhan dasar masyarakat sesuai dengan hierarki kebutuhan Maslow, pemerintah juga perlu mengimplementasikan kebijakan kesehatan mental yang lebih terintegrasi. Ini mencakup peningkatan akses terhadap layanan kesehatan mental dan meluncurkan program-program yang relevan.

Merenung atas tragedi bunuh diri mahasiswa yang populer akhir-akhir ini, memantik kesadaran saya akan pentingnya kesehatan mental dan menghargai setiap kehidupan. Seperti seorang bijak mengatakan, “Di mana ada cinta, di situ ada kehidupan.” Melalui langkah-langkah preventif yang kokoh serta dukungan dari semua pihak, percayalah kita dapat bersama-sama melangkah menuju masyarakat yang lebih berempati terhadap kesejahteraan mental sehingga kedepan tragedi bunuh diri dapat direduksi.

Artikel ini ditulis oleh Guru Besar Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Wakil Dekan 2 FTIKUniversitas Islam Negeri (UIN) Salatiga, Prof. Dr. Rasimin, S.Pd, M,Pd

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya