SOLOPOS.COM - Pratika Rizki Dewi (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Festival Payung Indonesia 2022 diselenggarakan dengan sukses dan meriah pada 2-4 September 2022 lalu di Pura Mangkunegaran. Festival yang merupakan agenda tahunan tersebut kali ini mengambil tema The Kingdom and Umbrella.

Puluhan kelompok seni dan komunitas dari berbagai daerah di Indonesia memeriahkan festival yang diselenggarakan sejak 2014 ini, bahkan seniman dari Thailand, India, dan Spanyol juga ambil bagian.

Promosi Enjoy the Game, Garuda! Australia Bisa Dilewati

Payung bukan sekadar pelindung dari teriknya sinar matahari atau derasnya air hujan. Dalam berbagai kebudayaan di Indonesia, payung menjadi sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dengan kehidupan manusia.

Dalam unggahan di akun pribadi Instagram, G.R.Aj. Ancillasura Marina Sudjiwo, kakak K.G.P.A.A. Mangkunagoro X sekaligus penyampai sambutan pembukaan Festival Payung Indonesia 2022, menuliskan pengantar  singkat berbunyi ”payung menemani manusia, dari saat ia membuka mata [lahir] sampai menutup mata [meninggal].”

Payung atau yang dalam bahasa Jawa disebut songsong merupakan simbol jabatan dan derajat (kemuliaan hidup) dari orang yang memiliki. Semakin tinggi dan/atau lebar payung, semakin terhormat pula pemiliknya. Begitu pula warnanya juga tidak bisa sembarangan.

Payung yang berwarna emas hanya boleh dimiliki oleh keluarga kerajaan dan dianggap sebagai pemegang kedudukan kasta tertinggi di antara payung warna lainnya. Di luar Jawa, payung juga memiliki pemaknaan dan posisi yang kurang lebih serupa dengan songsong Jawa.

Di Sulawesi Selatan, misalnya, payung dapat mencerminkan kedudukan, kehormatan, dan kekayaan tuan rumah. Semakin banyak jumlah payung yang dipajang ketika sedang menggelar acara, semakin tinggi kedudukan si tuan rumah.

Seiring perkembangan zaman, payung juga merasuk dalam kehidupan masyarakat biasa. Contoh paling sederhana yang masih bisa ditemui hingga sekarang ialah penggunaan payung bagi orang meninggal yang kemudian ditancapkan di samping makam.

Berkaca dari begitu mendalamnya makna payung bagi Indonesia, khususnya Kota Solo sebagai pionir festival payung, barangkali payung bisa menjadi lebih dari sekadar festival. Benda yang kaya manfaat ini bisa dijadikan sebagai inspirasi pembuatan landmark atau tetenger alias penanda.

Hielanman’s Umbrella

Di Glasgow, Skotlandia, ada sebuah landmark yang menggunakan nama ”payung” atau dalam bahasa Inggris umbrella. Landmark tersbeut adalah Hielanman’s Umbrella yang berada di Argyle Street.

Salah satu landmark ikonik di Kota Glasgow ini sebenarnya adalah stasiun kereta yang dibangun Sir William Arol (arsitek terkenal Scotlandia) dan dibuka oleh Caledonian Railway pada 1879.

Hielanman’s Umbrella tidak berbentuk payung secara harfiah,  justru berbentuk bangunan kotak dengan beberapa kaca besar yang bergaya klasik. Bangunan ini terhubung dari satu sisi jalan ke sisi yang lain sehingga menjadi seperti jembatan kaca.

Ada sejarah menarik di balik penamaan umbrella untuk bangunan itu. Pada abad ke-19 tuan tanah di dataran tinggi Glasgow mengusir para penduduk desa ke kota dengan alasan untuk membuka lahan baru demi meningkatkan pendapatan dari peternakan domba.

Puluhan ribu penduduk desa yang terusir itu tiba di Kota Glasgow dan berlindung di bawah atap stasiun kereta. Di antara mereka ada pula orang-orang Gaelic, sebutan untuk para penutur bahasa Skotlandia lama yang berakar dari Irlandia.

Dr. Alasdair Whyte dari University of Glasgow dalam kanal Youtube BBC Scotland menjelaskan para pendatang tersebut kemudian bekerja di Kota Glasgow dan berkumpul tiap akhir pekan di bawah atap stasiun kereta yang menjadi titik awal kedatangan mereka.

Mereka berkumpul untuk berbagi cerita, mulai dari mengenang masa lalu di desa, gosip kondisi terkini desa, hingga kejadian sehari-hari saat bekerja. Dari sinilah muncul nama Highlandman’s Umbrella atau ”payung” tempat berkumpul orang-orang dataran tinggi yang kemudian menjadi Hielanman’s Umbrella.

Mac Phaidein (1890), seorang Gaelic yang hidup pada masa tersebut, dalam buku An T-Eileanach menyebutkan orang-orang biasanya berkumpul di Hielanman’s Umbrella setiap Minggu sore. Sayangnya, agenda berkumpul tersebut tidak ada lagi sejak meletusnya Perang Dunia II.

Biarpun percakapan orang-orang Gaelic di bawah Hielanman’s Umbrella sudah tidak bisa ditemui pada zaman sekarang, kenangan terhadap kebiasaan itu masih terus dijaga oleh masyarakat dan keturunan Gaelic yang berada di Glasgow.

Bangunan tersebut juga terus direnovasi agar tetap menjadi umbrella bagi banyak orang. Pada 2015, Hielanman’s Umbrella berhasil memenangi penghargaan dari Scottish Design Award untuk kategori refurbishment of a listed building atau revitalisasi bangunan bersejarah.

Apabila dianalis dari sejarah singkat di atas, kata umbrella di sini bukan merujuk pada payung secara harfiah, melainkan payung secara fungsional, yakni melindungi atau menaungi orang-orang.

Dengan demikian, apabila payung secara imajiner dapat terwujud menjadi landmark di Glasgow, bukan tidak mungkin di Kota Solo bisa dibuat landmark payung. Kota Solo sebenarnya sudah memiliki cukup banyak landmark.

Salah satu yang terbaru adalah Jembatan Tugu Keris yang berada di dekat Terminal Bus Tirtonadi. Jembatan ini seolah-olah melengkapi keberadaan Museum Keris di Sriwedari. Pembuatan landmark payung barangkali juga bisa dipertimbangkan untuk melengkapi festival payung.

Ide ini bukan berarti Kota Solo hendak mengklaim payung menjadi miliknya sendiri, mengingat payung merupakan benda bernuansa budaya yang ada di seluruh Indonesia. Kalau menggunakan kasus pembangunan landmark Jembatan Keris, untuk membuat landmark payung di Kota Solo tidak memerlukan lahan baru.



Bisa memanfaatkan lahan yang sudah ada atau proyek yang sedang berjalan. Pemilihan lokasi dapat dilakukan dengan menjalin kerja sama antara pemerintah, sejarawan, budayawan, arsitek, dan juga masyarakat. Pada akhirnya ada atau tidaknya sebuah landmark khusus, Kota Solo akan tetap selalu dikenal dengan payung yang menaungi Indonesia.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 30 September 2022. Penulis adalah mahasiswa Program Pascasarjana Sejarah Gender di University of Glasgow, Skotlandia)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya