SOLOPOS.COM - Arif Yudistira (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – W.L. Febre (1952) menulis bahwa Taman Siswa adalah lebih dari suatu lembaga pengajaran, juga lebih dari suatu lembaga pendidikan, yakni suatu gerakan kebudayaan dengan dasar religi.

Banyak orang mengira gerakan kebudayaan Taman Siswa hanya berfokus pada pendidikan. Taman Siswa juga merupakan gerakan kebudayaan yang tidak meninggalkan dasarnya, yakni religiositas.

Promosi Meniti Jalan Terakhir menuju Paris

Religiositas ini tidak hanya menjadi dasar atau asas pendidikan Taman Siswa, tetapi juga menghunjam dalam praktik pendidikan di Taman Siswa sebagaimana diajarkan Ki Hadjar Dewantara kepada putra-putri dan murid-muridnya.

Asas-asas religi ini terdapat dalam pancadarma, yaitu kemerdekaan, kodrat alam (kodrat Ilahi), kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan. Dalam kodrat alam (Ilahi), murid-murid Taman Siswa dididik untuk menyadari dan tumbuh sesuai dengan kodrat alam dan kodrat Ilahi.

Artinya para cantrik di Taman Siswa dididik menjadi manusia yang menjaga harmoni, menjaga hubungan dengan ilahi dan hubungan dengan sesama manusia dan alam.

Ki Hilmi Yusuf (1989) dalam buku Ki Hadjar dalam Pandangan Cantrik dan Mentriknya menulis kodrat alam berarti murid Taman Siswa dituntut beriman kepada kodrat alam, yang mengandung maksud percaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, dan menyelaraskan diri kepada alam semesta demi kebahagiaan.

Ki Hadjar Dewantara meletakkan visi modern dalam pendidikan Taman Siswa. Y.B.  Mangunwijaya (2020) dalam buku Sekolah Merdeka, Pendidikan Pemerdekaan menulis para perintis pendidikan bangsa, teristimewa Ki Hadjar Dewantara, merasa perlu menandaskan visi pendidikan mereka sungguh bermetode modern.

Dengan alasan yang dipakai Restorasi Meiji di Jepang saat menghadapi invasi kebudayan Barat, bahwa yang mampu menandingi hegemoni Barat hanyalah kaum terpelajar keluaran sekolah bermetode Barat juga, tetapi tetap berpedoman “kebudayaan Timur yang luhur”. Pembentukan karakter atau sikap dasar moral dan budi pekerti ditambah semangat perjuangan menjadi program utama.

Taman Siswa memandang menjadi guru adalah menjadi satriya pinandhita. Satriya dimaknai sebagai sosok yang cerdas, tangkas, pemberani, bijaksana, cepat, ringan tangan, mahir dalam silat lidah maupun senjata.

Pinandhita dimaknai sebagai sosok yang berada di atas gunung. Panggilan mayornya adalah membina kehidupan batin, rohani, religi, keagamaan, mental, moral, adab, menjaga kesucian dan keluhuran budi.

Satriya pinandhita juga merupakan sosok panutan yang dituruti rakyat yang sangat memerlukan. Guru juga identik atau lekat dengan “sepi ing pamrih rame ing gawe”. Ki Iman Sudiyat (1989) menulis pengabdian di dunia pendidikan merupakan panggilan hidup dan juga sukarela.

Artinya, pendekatan kepada anak atau siswa didasari rasa cinta kasih sayang karena naluri yang kita rasakan sebagai kewajiban manusiawi, yang dapat kita kembalikan sebagai usaha pelestarian kebudayaan, sebagai perwujudan ibadah kita kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan sifat dan sikap yang melekat dalam diri ”guru” itulah maka guru-guru di Taman Siswa dituntut menyerahkan diri menghamba kepada sang anak. Guru dituntut memperhatikan, mendidik, dan juga mengarahkan kepada “mardikakke jiwane anak”—memerdekakan jiwa anak.

Dengan sikap merdeka sekaligus pendidikan kemandirian atau tidak bergantung kepada orang lain itulah Taman Siswa berhasil menggembleng guru-guru menjadi guru kebudayaan sekaligus guru berwatak kebangsaan.

Di tengah tantangan serta kemajuan zaman, Taman Siswa memilih kembali ke akar. Kebudayaan nasional, dari Jawa maupun non-Jawa, layak digali sebagai inspirasi dan juga spirit untuk mengembangkan pendidikan yang berwatak merdeka.

Ki Hadjar mengutip Rabindranath Tagore, seorang filsuf Timur sekaligus seorang pendidik dari India, bahwa hidup kita adalah kutipan dari hidup orang Barat, suara kita gema dari suara Eropa, sebagai ganti intelektualitas kita tidak lain dari sebuah tas penuh dengan keterangan-keterangan, dalam jiwa kita ada kekosongan yang demikian besar sehingga kita tidak sanggup menangkap yang indah dan berharga dalam diri kita.

Ki Hadjar Dewantara selalu menekankan para cantriknya agar menghindari tiga sifat yang dibawa sekolah Barat, yakni individualismus, materialismus, dan intelektualismus. Tiga sifat itu dianggap merusak lahir dan batin jiwa sebagai insan Taman Siswa.

John Vaizey (1987) menulis dalam buku Pendidikan di Dunia Modern bahwa salah satu aspek pedagogi modern adalah mengenai proses belajar itu sendiri dalam hubungannya dengan si anak, dan si anak dalam hubungannya dengan sang guru, dengan anak-anak yang lain, dan dengan lingkungan sekolah seluruhnya.

Dari usaha untuk memahami secara fundamental keadaan sekelilingnya inilah kita memperolah pembahasan yang menuju pada perumusan yang tepat tentang sekolah. Lebih lanjut Vaizey menerangkan jadi terdapat dua sumber gagasan tentang teknik-teknik  baru dalam dunia pendidikan.

Yang satu mementingkan proses belajar dan si anak sendiri. Yang lainnya mementingkan struktur organisasi sekolah yang tepat. Taman Siswa telah mengembangkan tripusat pendidikan, yakni pendidikan keluarga, pendidikan masyarakat, dan juga pendidikan perguruan.

Dengan tiga pusat pendidikan itulah Taman Siswa mendidik cantrik dengan senantiasa mempertimbangkan kodrat alam dan Ilahiah. Apa yang hendak dicapai dari pendidikan Taman Siswa ini?

Mendidik para cantrik menjadi manusia berjiwa merdeka, selaras dengan kodrat alam sekaligus menjadi manusia yang berkebudayaan yang memiliki watak kemanusiaan dan kebangsaan. Inilah gagasan besar pedagogi Taman Siswa yang akan terus hidup.

(Penulis adalah peminat dunia  anak dan pendidikan, meneliti pendidikan ala Taman Siswa)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya