SOLOPOS.COM - Thontowi Jauhari (JIBI/SOLOPOS/dok)

Thontowi Jauhari (JIBI/SOLOPOS/dok)

SOLOPOS edisi Selasa (12/7/2011) menyajikan laporan yang menarik untuk didiskusikan. Mayoritas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota di negeri ini habis untuk belanja pegawai. Dalam APBD Kabupaten Klaten 2011, belanja pegawai menghabiskan 70% dari total APBD-nya, di Solo 60%, di Boyolali 69%, di Sukoharjo 62,98%, di Sragen 64,4% dan di Karanganyar 75%.

Promosi Mimpi Prestasi Piala Asia, Lebih dari Gol Salto Widodo C Putra

Mengutip temuan Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra), di Indonesia terdapat 124 Pemda yang 60% lebih APBD-nya untuk belanja pegawai. Jika kondisi keuangan ini dibiarkan berlarut-larut, kebangkrutan Pemda diperkiraan mengancam daerah dalam 2–3 tahun mendatang. Idealnya, belanja pegawai kurang dari 50% dari total APBD. Jika melebihi, atau setiap tahun belanja pegawai mengalami kenaikan hingga menghilangkan rasionalitas struktur APBD, yang dirugikan adalah rakyat. Dipastikan banyak sektor publik dan pelayanan yang tidak akan memeroleh anggaran secara cukup. Kecenderungan belanja pegawai yang selalu naik tiap tahun tersebut dapat di baca dalam APBD Kabupaten Boyolali. Pada 2007, belanja pegawai 54,20%, 2008 naik menjadi 60,81%, 2009 naik menjadi 64,88% dan 2010 naik menjadi 69,13%. Mengapa belanja pegawai berkecenderungan naik?

Sejak 2007, pemerintah pusat selalu menaikkan gaji pegawai sekitar 5%–15 %, dan daerah merekrut CPNS secara tidak terkontrol, dan pada saat yang sama pemerintah tidak mengalokasikan kebutuhan anggaran yang meningkat tersebut dalam Dana Alokasi Umum (DAU). Pada 2009, karena sebagai “tahun politik”, pemerintah pusat menaikkan gaji PNS 15%, ditambah pengangkatan CPNS dari kalangan para pegawai tidak tetap, dan mem-PNS-kan para sekretaris desa. Saat itu, Pemda Boyolali membutuhkan anggaran sekitar Rp 80 miliar, akan tetapi DAU hanya ditambah Rp 14 miliar. Pada 2010, pemerintah pusat menaikkan gaji PNS sebesar 5%, itu membutuhkan anggaran sekitar Rp 24 miliar, namun DAU 2010 hanya ditambah Rp 1,4 milyar.

Padahal, menurut UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, pemerintah pusat berkewajiban menyediakan DAU untuk penyelenggaraan Pemda. Menurut UU tersebut, DAU untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kemampuan fiskal daerah. Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah [Pasal 27 ayat (2), (3) dan (4)]. Itu artinya DAU mestinya mencakup dua unsur, yakni untuk mencukupi gaji pegawai dan untuk menutup celah fiskal. Kebutuhan celah fiskal merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum (Pasal 28). Faktanya, pemerintah pusat tidak konsisten melaksanakan UU No 33/ 2004 tersebut. Jangankan untuk menutup celah fiskal, DAU akhir-akhir ini tidak mencukupi untuk gaji pegawai. Sehingga, Pemda harus tombok dan mengorbankan anggaran untuk rakyat

Pemangsa
Mengapa anggaran untuk belanja pegawai berkecenderungan naik dan anggaran untuk pelayanan serta pembangunan jauh lebih kecil? Para pejabat pengambil kebijakan lebih banyak memerankan diri sebagai predator (pemangsa) anggaran publik daripada melaksanakan fungsi alokasi dan distribusi anggaran untuk kesejahteraan rakyat. Mereka lebih banyak menuruti syahwat kekuasaan untuk memenuhi berbagai keiinginan mereka daripada melaksanakan tugas dan tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak dan kebutuhan rakyat.

Lihat saja ketika Badan Anggaran DPR/DPRD merembuk APBN/APBD bersama tim dari eksekutif. Atau ketika mereka sedang membicarakan anggaran internal masing-masing. Perilaku kleptokrasi amat menonjol. Karena itu, tidak terlalu aneh jika anggaran kunjungan ke luar negeri eksekutif dan legislatif di pemerintah pusat bernilai amat besar, Rp 19,5 triliun. Anggaran kepresidenan boros, dan mayoritas APBN/APBD dialokasikan untuk belanja pegawai.

Itu adalah cermin pejabat publik sebagai predator yang greedy, sebagaimana rakusnya binatang predator yang siap memangsa binatang lainnya. Pejabat predator juga rakus memangsa anggaran hak-hak rakyat. Berbagai kebutuhan rakyat harus dieliminasi untuk memenuhi keinginan pejabat predator. Tidak jarang, tampak seolah-olah suatu anggaran dibungkus untuk memenuhi kebutuhan rakyat, padahal ujungnya hanya untuk memenuhi syahwat keuangan para pejabat. Sementara itu, politik anggaran yang benar-benar untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak rakyat masih menjadi “barang mewah.”

Bisakah mengharap pendapatan asli daerah (PAD) guna mendongkrak kemampuan fiskal daerah? Tampaknya tidak mungkin. Rata-rata secara nasional sumbangan PAD bagi pendapatan kabupaten/kota hanya sekitar 8% dari pendapatan daerah. Sisanya, daerah masih sangat tergantung dengan pemerintahan provinsi dan pusat, melalui dana perimbangan dan lain-lain pendapatan yang sah.
Bahkan, menurut UU No 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, pajak daerah tersebut bersifat closed-list. Artinya, tidak boleh ditarik pajak kecuali yang telah ditentukan, yakni pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak mineral bukan logam/batuan, pajak parkir, pajak air tanah, pajak sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan pedesaan/perkotaan serta bea perolehan atas hak tanah dan bangunan.

Sementara itu, penarikan retribusi lebih bersifat pelayanan, seperti retribusi pelayanan kesehatan, retribusi izin usaha, retribusi parkir, retribusi pasar dan sebagainya. Menaikkan retribusi hanya akan membebani rakyat kecil dan kontradiktif dengan hakikat pemerintahan yang berfungsi melayani berbagai hak dan kebutuhan rakyat. Untuk bisa membantu kemampuan fiskal daerah, tidak cukup hanya dengan mendongkrak pontensi PAD. Seberapa pun akan dinaikkan, tidak akan mampu memperbaiki kemampuan fiskal keuangan daerah, khususnya di kabupaten, karena potensinya kecil.

Solusi
Karena itu, solusi untuk mendongkrak dana pembangunan di daerah, mestinya dengan mendaerahkan pajak yang potensinya besar ke kabupaten/kota dan pemerintah pusat berani mendesentralisasikan keuangan secara signifikan.

Pertama, perlu perangkat hukum yang dapat memaksa mendesentralisasikan 40%– 50% dana APBN untuk ditransfer ke daerah kabupaten/kota. Otonomi daerah selama ini tidak dilaksanakan secara konsisten. Desentralisasi politik, berupa kewenangan sudah diberikan, namun tidak diikuti desentralisasi fiskal yang cukup. Jakarta masih sangat erat menggenggam duit APBN. Dari sekitar Rp 1.200 triliun APBN 2011, hanya sekitar 30% yang didesentralisasi dalam bentuk dana perimbangan dan dana otonomi khusus. Perlu reformasi UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Kedua, pembagian pajak kendaraan bermotor dan biaya balik nama kendaraan bermotor yang lebih adil antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Karena itu, UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah perlu diubah. Jika selama ini pembagian pajak tersebut 70% untuk pemerintah provinsi dan 30% untuk kabupaten/kota, perlu dibalik menjadi 30% untuk pemerintah provinsi dan 70% untuk pemerintah kabupaten/kota. Wallahu a’lamu bishowab.

Thontowi Jauhar, Wakil Ketua DPRD Boyolali, Alumnus Program Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya