SOLOPOS.COM - Rohmah Ermawati (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Media sosial beberapa waktu lalu riuh membahas dan mendiskusikan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terjadi pada pasangan artis Lesti Kejora dan Rizky Billar.

KDRT itu mengakibatkan Lesti mengalami luka-luka. Keberanian sang biduanita melaporkan KDRT yang dilakukan suaminya ke polisi mendapat dukungan dan simpati dari banyak pihak, terutama para penggemarnya.

Promosi Pemimpin Negarawan yang Bikin Rakyat Tertawan

Banyak warganet atau netizen menumpahkan kekesalan serta sumpah serapah mereka kepada si pelaku KDRT. Kepolisian memproses laporan itu dan menahan Rizky Billar. Kisah yang memantik perhatian masyarakat, bahkan ramai menjadi perbincangan emak-emak hingga bapak-bapak di dunia nyata, itu berakhir antiklimaks.

Lesti mencabut laporan di kepolisian dan memaafkan sang suami. Bagaikan kena prank, publik menanggapi keputusan itu dengan berbagai komentar. Banyak yang menghujat Lesti, tapi tentu saja ada pihak yang menghargai privasi sang artis untuk memutuskan hal-hal penting dalam kehidupan pribadinya.

KDRT seperti yang dialami Lesti Kejora bagaikan fenomena gunung es di Indonesia. Menurut catatan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan, KDRT terjadi di ranah personal.

Pelaku adalah orang yang memiliki hubungan darah, kekerabatan, perkawinan, maupun relasi intim (berpacaran) dengan korban. Kekerasan di ranah personal paling banyak terjadi dibandingkan kekerasan di ranah publik atau negara.

Catatan tahunan Komnas Perempuan yang dirilis pada awal 2022 menunjukkan kekerasan terhadap istri meningkat pada 2021, jauh lebih banyak dibandingkan pada 2020. Angkanya memang cenderung turun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Kendati jumlah kasusnya menurun, kekerasan terhadap istri masih menjadi yang tertinggi setiap tahun. Menurut Komnas Perempuan, kekerasan terhadap istri adalah mayoritas dari banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan didata, jumlahnya 3.404 kasus.

Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2021 yang dipublikasikan di laman setkab.g.id, kekerasan fisik dan/atau kekerasan seksual terhadap perempuan usia 15 tahun hingga 64 tahun oleh pasangan dan selain pasangan prevalensinya menurun 7,3% dalam kurun waktu lima tahun.

Pada kondisi demikian, masih terjadi peningkatan prevalensi kekerasan seksual dalam setahun terakhir dari 4,7% pada tahun 2016 menjadi 5,2% pada tahun 2021. KDRT adalah persoalan serius. Ada banyak faktor yang menjadi alasan korban KDRT tidak mengungkapkan hal yang dia alami.

Bisa jadi pelaku KDRT menipu orang lain dengan sikap yang “baik” dan penampilan luar yang rapi serta menawan. Hal itu mengakibatkan orang-orang tak percaya ia melakukan tindak kekerasan kepada pasangannya dan justru menyalahkan korban yang dianggap tak mampu mengimbangi kondisinya.

Ada alasan korban masih bergantung secara ekonomi. Jika pasangan diproses secara hukum dan ditahan di penjara, ia khawatir dengan nasib keluarganya, terutama keberlangsungan hidup anak-anak. Orang-orang yang dalam posisi “ketergantungan” tersebut biasanya baru berani mencari bantuan atau melapor kepada polisi ketika sudah menerima tidak kekerasan yang sangat parah.

Alasan lainnya, pelaku KDRT masih berharap bisa berubah dan merasa masih cinta. Apabila rasa cinta sudah tidak ada lagi, korban KDRT cenderung enggan bercerai lantaran rasa malu atau karena adanya tekanan dari keluarga besar.

Ada pula korban KDRT yang tak berani melapor karena mendapat teror dari pelaku. Kondisi yang lebih parah adalah korban KDRT malu melapor kepada polisi karena tidak ingin orang lain tahu keburukan di dalam keluarganya.

Bisa disimpulkan pengungkapan kasus KDRT sangat bergantung pada keberanian korban. Memang tidak mudah membicarakan dan mengatasi masalah kekerasan domestik ini. Dibutuhkan niat, keberanian, dan waktu untuk berhasil melaluinya.

Pola Pikir Baru

Anda tetap dapat menolong teman, keluarga, atau kenalan Anda yang mengalami KDRT. Dukunglah sang korban tanpa menghakimi dan yakinkan dirinya untuk mencari bantuan dan tetap menjaga kesehatan.

Dalam konteks kasus KDRT yang dialami Lesti—walau kini KDRT disepakati sebagai urusan publik, bukan urusan personal—pilihan logis bagi para penggemar adalah menerima dengan legawa keputusan yang diambil sang artis.

Kehidupan privasi mereka adalah sepenuhnya urusan mereka. Semoga saja keputusan Lesti memaafkan suaminya tidak akan dia sesali pada kemudian hari. Tak perlu berlanjut keriuhan lagi hingga hujat menghujat yang tak memberi dampak positif bagi kehidupan.

Kita hanya perlu lebih peduli kepada lingkungan sekitar dan tak menutup mata bahwa kasus KDRT bisa terjadi di mana-mana dan kapan saja. Kasus KDRT bisa terjadi pada pasangan yang terlihat sangat harmonis dan mesra.

Gerakan memboikot Lesti dan suaminya—setelah dia mencabut laporan di kepolisian—yang mengemuka di media sosial juga harus dihormati sebagai wujud kepedulian publik terhadap kasus KDRT. Bahwa KDRT—yang bisa terjadi kapan saja dan di mana saja—membutuhkan keterlibatan banyak elemen masyarakat untuk mencegah dan menghapusnya.

Seruan memboikot Lesti dan suaminya adalah bentuk kepedulian publik terhadap kasus KDRT yang tak bisa lagi dianggap masalah privat karena tipe kasusnya yang mirip gunung es. Hanya kelihatan permukaan yang sedikit, sementara kasus sebenarnya demikian banyak.

Aparat penegak hukum harus responsif menanggapi laporan tentang KDRT. Jangan selalu berorientasi perdamaian karena menganggap itu urusan privat. Jangan malah menyalahkan korban.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) mengemukakan pola pikir baru karena membawa persoalan KDRT yang sekian lama dianggap masalah privat ke ranah publik.

Domestic violence bagi sebagian masyarakat kita memang masih dipandang sebagai “tabu” internal keluarga, dianggap tidak layak diungkap ke muka umum. Inilah yang menyebabkan UU PKDRT seperti tidak berdaya. Semangat undang-undang ini adalah menjadi alat menghentikan budaya kekerasan yang di masyarakat dari akar agen pengubah kebudayaan, yaitu keluarga.



Undang-undang ini mendorong perempuan sebagai pendidik pertama dan utama dalam keluarga mengembangkan nilai-nilai kasih sayang, kesetaraan dan kesederajatan, kepedulian satu sama lain, sehingga mampu menyingkirkan pola-pola tindakan agresif dari anak-anak dan remaja.

Kekerasan yang diwariskan dalam pola pengasuhan dalam keluarga akan berhadapan dengan hukum negara jika tetap dipelihara.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 18 Oktober 2022. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya