SOLOPOS.COM - Mariyana Ricky P.D. (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu bukanlah isu lima tahunan yang kerap muncul setiap masuk tahapan pemilihan umum (pemilu). Pelanggaran HAM tak hanya harus dibicarakan dan didiskusikan setiap momentum itu, tapi setiap hari seumur hidup.

Payung hitam di seberang Istana Negara dalam Aksi Kamisan yang berlangsung kali ke-799 pada Kamis (14/12/2023) menjadi bukti upaya mendorong pengusutan kasus pelanggaran HAM berat tak hanya momentum lima tahunan. Aksi damai yang dimulai sejak 18 Januari 2007 itu diikuti oleh para korban maupun keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia.

Promosi Berteman dengan Merapi yang Tak Pernah Berhenti Bergemuruh

Mereka adalah orang-orang yang terkait atau ahli waris yang terkait kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib, pembunuhan Marsinah, kerusuhan Mei 1998, penembakan di Universitas Trisakti Jakarta pada 1998, tragedi Semanggi I dan II pada 1998, tragedi Tanjung Priok pada 1984, tragedi 1965, peristiwa Talangsari pada 1989, penghilangan paksa aktivis pro demokrasi pada 1997-1998, serta sederet kasus pelanggaran HAM lainnya.

Sejarah Aksi Kamisan berawal saat Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), sebuah paguyuban korban/keluarga korban pelanggaran HAM, mengadakan sharing dan diskusi bersama Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK) serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).

Mereka berupaya mencari alternatif perjuangan menghadirkan keadilan pada akhir 2006. Pertemuan itu berlanjut pada awal 2007. Pada 9 Januari 2007, JSKK bersama Kontras dan JRK sepakat mengadakan kegiatan guna bertahan dalam perjuangan mengungkap fakta kebenaran, mencari keadilan, dan melawan lupa.

Setelah melalui diskusi panjang, lahirlah kesepakatan dan dipilihlah aksi diam sebagai sebuah laku perjuangan. Aksi tersebut disepakati digelar satu kali dalam sepekan serta disepakati juga tentang hari, waktu, tempat aksi, pakaian, warna, dan maskot yang menjadi simbol gerakan.

Aksi diam itu kemudian dilaksanakan pada Kamis karena saat itu Kamis menjadi satu-satunya hari ketika peserta rapat bisa meluangkan waktu bersama-sama turun ke jalan. Dalam debat calon presiden pada Selasa (12/12/2023), calon presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo mempertanyakan di mana kuburan 13 aktivis yang menjadi korban penghilangan paksa pada 1997-1998.

Pada sesi tanya jawab di segmen kelima, Ganjar menanyakan komitmen calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto dalam penuntasan kasus penghilangan aktivis pro demokrasi pada 1997-1998. Ganjar mempertanyakan komitmen Prabowo menjalankan rekomendasi Panitia Khusus DPR tahun 2009 kepada Presiden untuk membentuk pengadilan HAM.

Rekomendasi berikutnya adalah menemukan 13 orang korban penghilangan paksa pada 1997-1998, pemulihan dan kompensasi pada korban pelanggaran HAM berat, serta meratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa, termasuk berkaitan dengan pencarian 13 korban penghilangan paksa agar mereka ditemukan sehingga ibundha mereka yang selama ini menanti kejelasan nasib anak-anak mereka mendapatkan kejelasan.

“Kalau Bapak ada di situ apakah akan membuat pengadilan HAM dan membereskan rekomendasi DPR?” begitu pertanyaan Ganjar kepada Prabowo.

Dia juga bertanya kepada Prabowo apakah bisa membantu menemukan kuburan korban pelanggaran HAM berat pada masa lalu.

“Di luar sana menunggu banyak ibu. Apakah Bapak bisa membantu menemukan di mana kuburnya yang hilang agar mereka bisa berziarah?” kata Ganjar.

Para aktivis pro demokrasi yang dihilangkan itu adalah Yani Afri yang hilang di Jakarta pada 26 April 1997, Sonny yang hilang di Jakarta pada 26 April 1997, Ucok Mundandar Siahaan yang diculik ketika terjadi kerusuhan pada 14 Mei 1998 di Jakarta, Yadin Muhidin dan Abdun Nasser yang dinyatakan hilang pada 14 Mei 1998.

Kemudian, Hendra Kambali yang hilang di Jakarta pada 15 Mei 1998, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, serta Ismail yang hilang di Jakarta pada 29 Mei 1997. Selanjutnya Suyat yang hilang di Kota Solo pada 12 Februari 1998 serta Herman Hendrawan yang hilang di Jakarta pada 12 Maret 1998.

Kemudian, Petrus Bima Anugrah yang hilang di Jakarta pada 30 Maret 1998 dan Wiji Thukul yang terakhir terlihat di Jakarta pada April 1998. Mereka hanya bagian dari sekian banyak orang hilang yang tengah dicari dan masih akan terus dicari dalam Aksi Kamisan.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM mencatat selain 13 aktivis itu, terdapat 32.774 korban penghilangan paksa pada periode 1965-1966, 23 korban pada kasus Tanjung Priok (1984), 23 korban kasus penembakan misterius (1982-1985), dan lima korban di kasus Wasior (2001).

Kendati telah berganti pemerintahan melalui empat kali pemilu di Indonesia pasca-reformasi (1999, 2004, 2009, 2014, 2019), negara masih gagal menyibak praktik penghilangan paksa di Indonesia.

Korban pelanggaran HAM dan keluarganya berhak atas penegakan kebenaran, keadilan, dan pemulihan serta jaminan ketidakberulangan. Tahun depan adalah pemilu kelima pasca-reformasi. Sudah hampir 25 tahun perjalanan panjang mereka menanti yang belum pulang.

Hingga kini jalan terang belum terbentang. Selagi tak ada kejelasan, perjuangan melawan praktik pelanggaran HAM masa silam harus terus dilanjutkan. Demi para korban pelanggaran HAM yang masih hilang, atas nama yang masih belum pulang, pertanyaan siapa yang bertanggung jawab atas mereka layak untuk terus dikemukakan. Ini bukan isu lima tahunan, tapi isu sepanjang zaman hingga terjawab dengan gamblang.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 15 Desember 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya