SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO – ”Ada semacam kelelahan di kalangan kawan-kawan ormas [organisasi kemasyarakatan] atau organisasi masyarakat sipil [OMS],” kata seorang lelaki langsing paruh baya.

Saya mengenal dia bertahun-tahun lalu. Dia bagian dari gerakan masyarakat sipil di Kota Solo. Kira-kira hingga 10 tahun lalu dan masa-masa sebelumnya dia aktif mengadvokasi kepentingan kelompok-kelompok marginal di Kota Solo.

Promosi Mendamba Ketenangan, Lansia di Indonesia Justru Paling Rentan Tak Bahagia

Sampai hari ini dia masih mengelola beberapa ormas yang bergerak di kalangan kelompok marginal di Kota Solo. Aktivitasnya memang tak ”seseru” 10 tahun lalu dan masa-masa sebelumnya.

Saya bertemu dia di forum yang diselenggarakan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Solo di sebuah hotel di Kota Solo pada pekan lalu. Saya diminta memandu forum tersebut yang dilaksanakan dua hari dengan peserta yang berbeda.

Forum itu menghadirkan para pengelola 181 ormas dan OMS di Kota Solo. Inti acara adalah bimbingan teknis penggunaan platform digital Sistem Informasi Pendaftaran dan Pelaporan Organisasi Kemasyarakatan atau SIPP-MAS yang dikelola Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Solo.

Dari sisi kepentingan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Solo, aplikasi SIPP-MAS menjadi platform untuk memantau eksistensi, aktivitas, dan pengurus aneka ormas dan OMS, termasuk organisasi-organisas profesi, yang berbasis di Kota Solo atau memiliki pengurus tingkat daerah di Kota Solo.

Saat memandu sesi diskusi di forum itu, saya tekankan kepada para pengelola atau pengurus ormas dan OMS yang hadir untuk mempertanyakan apa manfaat SIPP-MAS bagi eksistensi lembaga atau organisasi mereka.

Pertanyaan itu menjadi penting untuk menganalisis term ”kelelahan” yang dikemukakan salah seorang aktivis senior ormas di Kota Solo itu. Term ”kelelahan” itu bisa dimaknai sebagai surut, tak lagi aktif, makin sedikit, atau terhenti.

Saya menangkap ada kemunduran signifikan atas peran-peran ormas dan OMS dalam pemberdayaan masyarakat sipil di Kota Solo. Bisa jadi 181 ormas dan OMS yang diundang itu secara legal formal kelembagaan masih ada.

Ada yang memiliki surat tanda terdaftar dari Kementerian Dalam Negeri. Banyak yang memiliki surat pengesahan sebagai badan hukum dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Ada pula yang sekadar berstatus melaporkan kepengurusan lembaga kepada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Solo.

Artinya, lembaganya masih ada, pengurusnya juga masih ada, namun kegiatannya tidak berpengaruh signifikan terhadap pemberdayaan masyarakat sipil. Bisa jadi aktivitas mereka sangat sektoral, hanya di lingkup bidang garap sendiri.

Komunikasi dan kolaborasi tak terjalin baik di antara ormas atau OMS. Tak pernah bertemu dan membicarakan atau mendiskusikan problem-problem masyarakat. Yang penting bekerja sesuai bidang garap sendiri.

Bisa jadi pula sesungguhnya tinggal tersisa nama lembaga dan pengurus, tanpa aktivitas. Fenomena yang sama terjadi di banyak daerah lain. Di lingkup nasional ormas dan OMS juga terfragmentasi.

Sinergi, kolaborasi, dan komunikasi di antara OMS melemah. Jaringan di antara mereka tidak kuat. Sesungguhnya masyarakat sipil—teraktualisasikan lewat ormas dan OMS—berperan besar menjaga kesehatan dan kualitas demokrasi.

Sayangnya, sejak 10 tahun lalu atau 15 tahun lalu OMS—dan masyarakat sipil secara umum—menghadapi tantangan berat, tidak mudah diselesaikan. Tantangan itu adalah akses ke pendanaan, kolaborasi dalam mengawasi jalannya pemerintahan, dan ruang kebebasan sipil yang menyempit.

Kerja-kerja ormas dan OMS tidak terkonsolidasi dan cenderung fokus pada persoalan parsial sesuai spesifikasi masing-masing, beraktivitas secara sektoral.

Ini ditambah regulasi dan praktik kekuasaan represif, seperti Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan buzzers atau pendengung yang mendelegitimasi aktivitas dan gerakan masyarakat sipil.

Berbasis analisis itulah saya tekankan kepada para pengelola atau pengurus ormas dan OMS yang hadir dalam forum dua hari itu untuk berefleksi apa manfaat SIPP-MAS bagi eksistensi mereka dan lebih luas lagi bagi masyarakat sipil di Kota Solo.

Dalam telaah gejala makro, salah satu fator yang memicu kemunduran gerakan masyarakat sipil berasal dari negara. Eve Warburton (Australian National University) dan Thomas Power (University of Sydney) menyebut sebagai kemunduran dari atas atau regression from above. Faktor kemunduran dari atas itu, antara lain, undang-undang atau hukum yang represif.

Faktor lainnya berasal dari masyarakat sipil sendiri, kemunduran dari bawah. Contoh regresi dari bawah adalah penyusutan ruang publik. Ini terlihat dari dominasi buzzers atau pendengung dan ”pluralisme represif”.

Ada kekuatan yang mengorkestrasi buzzers untuk menggalang opini agar publik mendukung semua kebijakan pemerintah. Pada tingkat tertentu mengemuka fenomena pro-regime trolls yang jamak di negara-negara yang kurang demokratis.

”Pluralisme represif” tampak dari kebijakan pemerintah membubarkan ormas tanpa proses peradilan. Di kalangan OMS terjadi pembelahan akibat senior yang mengabdi pada jalur sistem, namun belum mampu menjadi penghubung dengan pemerintah.

Posisi tawar masyarakat sipil yang memerankan fungsi advokasi dan pengawas pembangunan kini melemah. Para pelopor itu—aktivis ormas dan OMS—berjarak makin jauh dari basis. Pada sisi lain ini berakibat oligarki menguat yang berujung korupsi dan manipulasi dalam tata kelola pemerintahan.



Inilah penyebab mengapa hari-hari ini ketika demokrasi kita makin mundur, politik makin meminggirkan etika, manipulasi hukum sering terjadi, korupsi merajalela, tetapi tak ada suara keras masyarakat sipil mengoreksi. Suara yang terdengar sporadis, tidak terorkestrasi dengan baik. Gampang dilemahkan, bahkan dibungkam.

Penguasa lebih suka mendengarkan influencer daripada suara para pelopor, para aktivis OMS, para tokoh masyarakat sipil. Koreksi atas semua ini adalah para pelopor itu harus kembali ke basis. Bersama basis lagi. Lalu bersinergi dan berkolaborasi di antara mereka.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 1 Februari 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya