SOLOPOS.COM - Rinesti Witasari (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Kementerian  Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi meluncurkan program terbaru bagian dari Merdeka Belajar pada 28 Maret 2023, yaitu mengenai transisi pendidikan anak usia dini atau PAUD ke sekolah dasar atau SD yang menyenangkan.

Aturan ini sekaligus “meluruskan” kesalahpahaman antara PAUD dan SD kelas awal tentang kemampuan membaca, menulis, dan berhitung atau calistung di PAUD sebagai salah satu syarat masuk jenjang SD dan yang sederajat.

Promosi Enjoy the Game, Garuda! Australia Bisa Dilewati

Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengatakan telah terjadi  miskonsepsi tentang tes calistung, ada beberapa SD yang mewajibkan anak bisa calistung sebagai syarat masuk.

Miskonsepsi itu seolah-olah membuat anak yang hendak masuk SD harus bisa calistung yang kemudian dikhawatirkan menyebabkan anak tidak bisa mengakses pendidikan secara merata karena tidak lolos tes calistung.

Pendidikan bagi anak di lembaga PAUD seharusnya tidak hanya mengedepankan calistung, tetapi harus mengasah kemampuan peserta didik yang mencakup emosi, kemandirian, hingga kemampuan berinteraksi.

Persepsi mengenai anak harus bisa calistung adalah satu masalah penting dalam pembelajaran di PAUD yang dapat memberikan sejumlah konsekuensi pada anak. Konsekuensi paling menakutkan adalah anak merasa belajar sejak dini tidak menyenangkan.

Ketika anak merasakan belajar bukan proses yang menyenangkan sejak masa PAUD, akan sangat sulit untuk mengubah persepsi anak tentang dan memahamkan anak bahwa sekolah itu menyenangkan.

Banyak SD dan yang sederajat di Indonesia menerapakkan tes calistung sebagai salah satu syarat penerimaan peserta didik baru. Anggapan masuk SD harus bisa calistung tampak familier bagi orang tua. Orang tua berpikir kemampuan calistung sejak dini adalah prestasi membanggakan dan jadi tolok ukur keberhasilan anak: anak dianggap pintar.

Persepsi itu membuat banyak anak di bawah usia tujuh tahun dipaksa bisa calistung dengan menambah jam belajar dan memasukkan anak ke bimbingan belajar. Padahal, memaksakan kemampuan tersebut justru cukup berbahaya bagi mental anak.

Menurut pakar tumbuh kembang anak dari Universitas Airlangga, Ahmad Suryawan, pengajaran anak pada kemampuan calistung sebelum waktunya dapat merusak tatanan otak anak. Pemaksaan ini membuat anak tidak runtut dalam mengerjakan sesuatu.

Seharusnya anak yang berusia di bawah tujuh tahun bisa membentuk garis lurus, menggaris, membentuk gambar bangun sederhana, dan sebagainya. Alih-alih mengajarkan anak menggambar garis lurus dan lainnya, anak di masyarakat modern justru “dipaksa”  belajar calistung.

Memaksakan anak usia dini bisa calistung bukanlah pilihan terbaik. Anak usia dini atau prasekolah akan optimal jika diberi stimulus atau rangsangan motorik dan bahasa sesuai fase tumbuh kembang anak. Anak usia dini sedang berada pada fase senang bermain.

Pakar anak, Rose Mini, mengatakan anak usia PAUD seharusnya hanya bermain. Dengan bermain anak bisa merasa senang. Atas dasar itu, sangat disayangkan sekolah maupun orang tua masih melakukan praktik pemaksaan anak agar bisa calistung pada usia prasekolah.

Bukan Isu Baru

Larangan tes calistung sebenarnya bukan isu baru. Aturan ini ada sejak 2010 dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Dalam aturan ini penerimaan peserta didik kelas I SD/MI tidak didasarkan pada hasil tes kemampuan calistung atau bentuk tes lain.

Realitasnya peraturan ini diabaikan karena tidak ada sanksi tegas bagi sekolah yang melanggar. Inilah yang kemudian menjadi kontroversi. Tidak ada sanksi tegas terhadap sekolah yang tetap menerapkan kemampuan calistung sebagai persyaratan masuk SD.

Masyarakat bingung dengan aturan dan implementasi, alih-alih mengatasi kebingungan, wali siswa berbondong-bondong memasukkan anak ke bimbingan belajar supaya menguasai calistung. Menteri Nadiem Anwar Makarim memperingatkan dinas pendidikan segera menyosialisasikan aturan terbaru tersebut yang mulai berlaku pada tahun ajaran 2023/2024.

Nadiem menganggap tes calistung sebagai bagian dari proses penerimaan peserta didik di tingkat SD melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru.

Pengelola sekolah seharusnya mengevaluasi aturan tentang penerimaan peserta didik baru. Beberapa tahun berjalan pada kenyataannya banyak sekolah yang menolak anak masuk yang belum bisa membaca, menulis, dan berhitung.

Persyaratan ini harus dihapus sehingga tidak menimbulkan kontroversi bagi orang tua siswa.  Guru kelas awal SD, yaitu guru kelas I, harus memiliki kesadaran pentingnya menerapkan pembelajaran yang menyenangkan bagi anak usia dini.

Anak usia dini saat awal masuk SD adalah usia enam tahun hingga tujuh tahun. Ini masa transisi dari kemampuan tahap pengenalan sosialisasi menuju tahap mencari ilmu. Anak sedang berada pada fase senang bermain.

Guru memiliki tugas mengembangkan dan menstimulus perkembangan kognitif, psikomotor, dan kognitif anak dengan kegiatan menyenangkan, seperti bermain, bernyanyi, atau melakukan gerakan tubuh.

Pada tahap prasekolah, saat anak berada di PAUD, guru PAUD tidak perlu merasa ditutut untuk mengajarkan calistung karena aturannya sudah jelas. Bahwa PAUD adalah usia bermain. Bagi orang tua, bila ternyata anak pada usia enam tahun hingga tujuh tahun belum bisa calistung, tidak perlu menuntut dengan memaksa anak masuk bimbingan belajar.

Lebih baik orang tua memberikan stimulus dengan membacakan buku kepada anak atau mengajak anak bermain dengan diselipkan belajar mengenal huruf, menghitung benda di sekitar, dengan tidak memaksakan anak harus bisa calistung pada usia prasekolah.

Menurut profesor pendidikan literasi di University of Saskatchewan, Kanada, Bev Brenna, tidak ada usia spesifik kapan anak harus mulai belajar membaca. Otak manusia tidak secara alami terprogram otomatis untuk membaca. Berbeda dengan mendengar dan berbicara.



Direktur Pusat Membaca dan Bahasa dari University of Alberta, Kanada, Carol Leroy, menuturkan kesadaran literasi adalah proses yang gradual yang dimulai sejak bayi masih bermain dan dibacakan dongeng oleh orang tuanya.

Dokter dan pakar perkembangan anak, Susan R. Johnson, merekomendasikan membaca sebaiknya diajarkan kala anak sudah siap secara fisik dan neuorologis. Yaitu ketika perkembangan saraf otak sudah matang menerima materi belajar membaca.

Ini umumnya terjadi saat anak berusia matang, yaitu usia tujuh tahun, bukan saat lebih awal. Memaksakan anak bisa calistung pada usia dini tidak boleh terus berlanjut. Pengelola sekolah dan orang tua harus bersama-sama memiliki kesadaran tentang bahaya memaksakan anak calistung pada usia dini.

Orang tua dan guru hanya perlu memberikan stimulus untuk merangsang perkembangan otak dengan hal-hal yang sederhana dan menyenangkan, misalnya diperkenalkan huruf sambil bernyanyi dan bermain ketika dirasa anak terlihat mampu mengikuti. Sekali lagi, dengan catatan tidak memaksakan karena perkembangan setiap anak berbeda-beda.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 22 Mei 2023. Penulis adalah dosen Pendidikan Dasar Institut Agama Islam Sunan Giri, Ponorogo, Jawa Timur)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya