SOLOPOS.COM - Albertus Rusputranto PA

Albertus Rusputranto PA, pengajar di ISI Solo, giat di Forum Pinilih (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Kota Solo beberapa terakhir ini menyedot banyak perhatian dari berbagai kalangan. Tidak sedikit pujian karena keelokan pencitraan pembangunan yang dilakukan kota ini. Sering, sebagai warga kota, saya merasa bangga saat melawat ke kota lain ada saja yang menyampaikan pujian terhadap Solo.

Promosi Vonis Bebas Haris-Fatia di Tengah Kebebasan Sipil dan Budaya Politik yang Buruk

Tidak dipungkiri, pasangan Walikota-Wakil Walikota Joko Widodo-FX Hadi Rudyatmo berhasil menampakkan pengelolaan kota yang cukup baik. Pada periode sebelumnya,pasangan walikota-wakil walikota yang lebih suka disapa dengan nama panggilan Jokowi-Rudy ini mengawali kiprahnya dengan sangat bersahaja: relokasi pedagang kaki lima di seputaran Monumen ’45 Banjarsari.

Tidak seperti kota-kota lain yang sering kali berujung konflik fisik, Pemerintah Kota Solo mampu menjalankan program relokasi tersebut dengan sangat baik, bahkan menggembirakan. Hampir tidak ada ekspresi kekecewaan dari pihak pedagang yang direlokasi. Kedua belah pihak sama-sama diuntungkan.

Pada periode yang sama, Jokowi-Rudy mencoba mewujudkan banyak program pengelolaan, pengaturan dan penataan Kota Solo, baik dalam wujud pembangunan fisik, rasionalisasi pelayanan publik dan sebagainya. Upaya-upaya tersebut terus dijalankan ketika mereka mendapat kepercayaan warga kota untuk sekali lagi memimpin pemerintahan di Kota Solo. Dari dua periode pemerintahan Jokowi-Rudy telah banyak yang mereka lakukan untuk kota ini. Banyak yang berhasil, namun tentu ada juga yang belum berhasil, yang kurang maksimal hasilnya dan ada pula beberapa yang perlu dilihat secara kritis.

Kurang maksimalnya pembangunan tersebut terjadi belum tentu karena Pemkot Solo tidak sungguh-sungguh menjalankan programnya, tetapi bisa jadi karena proyeksi pembangunan kota yang parsial dan pendek. Hanya sejauh periode pemerintahan kepala daerah terpilih saja, 5 tahun-10 tahun–kalau terpilih selama dua periode.

Kota Solo adalah salah satu kota tua di Jawa yang punya sejarah pembangunan kota modern yang cukup awal di Nusantara ini. Pada paruh akhir abad ke-19, kota ini mulai menata diri menjadi kota modern, bersamaan dengan pembangunan kota-kota modern di kota-kota besar lainnya di dunia. Konsekuensi logis dari penguasaan kota oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda membuat Kota Solo yang disebut juga sebagai vorstenlanden cukup terbuka oleh upaya-upaya penataan kota baik fisik maupun nonfisik, pemodernan dan pemenuhan fasilitas publik dan sebagainya, yang tujuannya adalah menjadikan kota ini menjadi kota yang nyaman bagi warga yang hidup, berkehidupan dan berpenghidupan di dalamnya.

Pemodernan awal kota ini terlaksana sekitar waktu pemerintahan Paku Buwono X (Karaton Kasunanan Surakarta) dan Mangkunagoro VII (Kadipaten Mangkunegaran) ketika kedua negara tradisional tersebut diposisikan sebagai mitra eksistensialis oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda di wilayah Karesidenan Surakarta.

Awal pemodernan
Sekadar menyebut contoh beberapa pembangunan fasilitas publik pada masa pemodernan awal adalah pembangunan kanal dan tanggul untuk mencegah banjir (1900), pengadaan trem sebagai angkutan publik (1900), renovasi Pasar Gede menjadi pasar modern (1927), perubahan Pasar Pon menjadi pasar pertokoan (1929), pengadaan lampu listrik tenaga diesel (1902), pengadaan air leding (1926), stasiun radio (1934), beberapa rumah sakit dan beberapa lembaga pendidikan.

Bangunan dasar Kota Solo sekarang adalah peninggalan penataan kota yang dilakukan sejak satu setengah abad yang lalu, ketika kota ini didesain dan dibangun bersama antara pemerintah kolonial Hindia Belanda, Keraton Kasunanan Surakarta, Kadipaten Mangkunegaran dengan melibatkan pengusaha-pengusaha swasta (juga pengusaha-pengusaha swasta asing) dan warga kota.

Satu setengah abad sudah kota ini melewati berbagai zaman dan peristiwa yang menggerus dan membusukkan. Ada banyak yang berubah, namun secara umum bangunan dasar tata Kota Solo masih tetap dalam desain tata kota zaman kolonial-feodal.
Keterbengkelaian yang terjadi sejak perang kemerdekaan, yang kemudian semakin membusuk oleh derasnya arus kapitalisme dan cara pandang yang pragmatis–seakan-akan persoalan ekonomi adalah segala-galanya– membuat penataan kembali Solo menjadi kota yang lebih manusiawi bagi warganya agak sulit cepat terealisasi. Namun, bukan tidak mungkin upaya-upaya tersebut bisa berhasil, asalkan para pemimpin dan stakeholders kota mau menanggalkan cara berpikir yang pragmatis, berjangka pendek dan economic minded, diganti dengan proyeksi pembangunan yang berjangka panjang, luas dan menyeluruh.

Pemkot Solo sebenarnya lebih dibutuhkan di wilayah-wilayah yang lebih fungsional, berhubungan dengan kesejahteraan warga dan kenyamanan dalam hidup, berkehidupan dan berpenghidupan, daripada sibuk mengupayakan agar para wisatawan tertarik dengan kota ini. Kita harus belajar dari kesalahan Indonesia pada zaman Orde Baru yang dicitrakan sebagai negara yang kokoh secara ekonomi, politik, sosial, budaya dan pertahanan keamanannya.

Pencitraan tersebut ternyata tidak mempunyai fondasi riil sekokoh yang dicitrakan. Kerapuhan tersebut, ironisnya, baru ketahuan setelah diluluhlantakkan oleh krisis ekonomi yang berujung pada krisis multidimensi. Negara-negara lain di satu kawasan, yang juga mengalami krisis yang relatif sama lebih cepat bangkit kembali dan semakin kokoh, sementara Indonesia belum juga benar-benar pulih, hingga sekarang.

Artinya, lebih baik Pemkot Solo lebih menitikberatkan perhatian pada wilayah-wilayah riil dan fungsional. Pencitraan kota bisa dilakukan oleh kalangan swasta—otomatis–karena mereka merasa nyaman dan aman bertempat tinggal di Solo. Bukan berarti pencitraan itu tidak penting, tetapi tidak untuk dijadikan porsi utama kerja-kerja pemerintah kota.
Kita, sebagai warga kota, seharusnya sejak sekarang memproyeksikan bagaimana Solo di masa yang akan datang berhadapan dengan konsekuensi pembangunan di wilayah perkotaan, semakin menipisnya kawasan persawahan, melonjaknya angkatan kerja, semakin tidak ramahnya lingkungan yang disebabkan oleh pengelolaan lingkungan hidup yang tidak maksimal dan sebagainya.

Tak populer
Seperti para pengelola kota di zaman kolonial, sebagaimana kota ini didesain oleh pemerintah kolonial, Keraton Kasunanan Surakarta, Kadipaten Mangkunegaran dan pelibatan kalangan swasta, tentu Pemkot Solo sekarang bersama seluruh warga perlu semakin memantapkan pembangunan kota dengan proyeksi kota seratus tahun ke depan dan atau bahkan lebih.

Di antaranya, misalnya, bagaimana memantapkan lagi saluran-saluran pembuangan air yang akan semakin kompleks persoalannya ketika warga kota semakin berjubel, lalu lintas jalan raya yang juga akan semakin padat, resapan air yang akan semakin langka sebab kalah dengan bangunan-bangunan beton sebagai konsekuensi kepadatan penduduk, kebutuhan air bersih yang tidak bisa ditunda, pengelolaan warga kurang mampu, kebutuhan kesehatan yang adil dan merata, perbaikan kualitas pendidikan dan banyak lagi.

Pemkot hendaknya tidak turut terjebak dalam pragmatisme pembangunan, tren gaya hidup, isu-isu populer yang hanya berhenti di tataran permukaan (seperti halnya pencitraan) dan harus lebih berpihak pada kebutuhan publik akan rasa nyaman dan aman dalam hidup, berkehidupan dan berpenghidupan, ”selama-lamanya”. Walikota dan Wakil Walikota Solo, Jokowi dan Rudy, pada periode terakhir kepemimpinannya seharusnya berani mengambil langkah yang tidak populer.
Langkah itu adalah meletakkan rancangan pembangunan Kota Solo dalam proyeksi seratus tahun ke depan. Tidak sebagai slogan tetapi sebagai sebuah kerja nyata. Secara komprehensif melakukan pengelolaan, penataan dan pembangunan kota yang manusiawi dan sadar lingkungan untuk kebutuhan ”keabadian”.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya