SOLOPOS.COM - Warga menikmati suasana kawasan Simpang Lima Boyolali yang ramai dan banyak pedagang kaki lima, Jumat (29/9/2023). (Solopos/Ni'matul Faizah)

DPRD Kabupaten Boyolali kini sedang membahas rancangan peraturan daerah (raperda) terkait penataan dan pedagang kaki lima (PKL). Raperda ini adalah inisiatif dari Pemerintah Kabupaten Boyolali melalui Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Boyolali.

Penyusunan dan pembahasan raperda khusus tentang PKL ini menandai langkah penting Pemerintah Kabupaten Boyolali dalam menata dan memberdayakan PKL guna mewujudkan harmoni antara penataan kawasan dan keberlanjutan mata pencarian warga yang berjualan sebagai PKL.

Promosi Sejarah KA: Dibangun Belanda, Dibongkar Jepang, Nyaman di Era Ignasius Jonan

Menata PKL adalah keniscayaan dalam penataan kawasan. Pada saat yang sama PKL juga keniscayaan sebagai metode bertahan hidup, mencari penghidupan, sekaligus menciptakan lapangan kerja.

PKL menyediakan akses mudah dan terjangkau bagi masyarakat untuk memperoleh kebutuhan sehari-hari seperti makanan, minuman, dan barang kebutuhan lainnya. Eksistensi PKL juga meningkatkan perekonomian masyarakat karena banyak pedagang yang berasal dari lingkungan sekitar.

PKL juga acapkali membuka lapangan kerja bagi kerabat atau tetangga. PKL tumbuh dan berdaya menjadi sektor perekonomian informal berdaya lenting tinggi, tahan terhadap tekanan, dan mudah beradaptasi dengan perkembangan lingkungan.

Penataan PKL dan penataan kawasan membutuhkan strategi dan kebijakan saling menguntungkan. Kebutuhan atas strategi dan kebijakan terpadu yang memberikan keuntungan ganda, yaitu penataan kawasan yang berhasil dan kelangsungan usaha PKL yang terjamin.

Penataan PKL harus mampu meningkatkan kerja sama antara pedagang dengan pihak terkait seperti dinas terkait dan masyarakat setempat untuk menciptakan lingkungan yang harmonis dan saling mendukung.

Jembatan dua kepentingan itu–yang acapkali bertolak belakang—adalah pola partisipatif dalam perumusan strategi penataan dan perumusan regulasi yang menjadi landasan penataan PKL. Tentu saja pemberdayaan harus menjadi landasan berpikir dalam menata PKL. Bukan malah mematikan usaha  dan penghidupan para PKL.

Ketika landasan berpikir pemberdayaan yang dikedepankan, penataan PKL pasti akan berorientasi pada kebaikan bagi semua. Melibatkan PKL dalam pembahasan raperda menjadi cara terbaik dalam penataan PKL yang berorientasi pemberdayaan PKL.

Pelibatan mereka akan menjadi ruang sosialisasi penataan kawasan sekaligus menghimpun aspirasi PKL dalam perumusan kebijakan penataan mereka. Mekanisme ini akan menemukan kompromi yang terbaik.

Mekanisme partisipatif juga mampu mendorong kolaborasi antara pemerintah daerah dan para PKL dalam mencari solusi yang saling menguntungkan, seperti peningkatan akses pasar, fasilitas yang memadai, atau pelatihan untuk meningkatkan keterampilan pedagang.

Selain itu, pola partisipatif juga meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pembuatan kebijakan. Para PKL merasa terlibat dan memiliki tanggung jawab terhadap peraturan yang akan diberlakukan.

Dengan mengintegrasikan strategi penataan kawasan dan pemberdayaan PKL melalui pola partisipatif, diharapkan raperda yang dihasilkan mampu menciptakan kerangka kerja kebijakan yang seimbang dan berkelanjutan.

Melibatkan PKL bukan hanya sebagai penerima kebijakan, tetapi juga sebagai bagian integral dalam merumuskan langkah-langkah yang memadukan kepentingan berbagai pihak. Dengan demikian, akan tercapai penataan kawasan yang harmonis disertai pemberdayaan PKL yang berkelanjutan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya