SOLOPOS.COM - Kalis Mardi Asih, Kadiv Publikasi Ilmiah UKM Studi Ilmiah Mahasiswa Universitas Sebelas Maret. Alumnus Lembaga Pelatihan Jurnalistik SOLOPOS (LPJS). (FOTO/Istimewa)

Kalis Mardi Asih, Kadiv Publikasi Ilmiah UKM Studi Ilmiah Mahasiswa Universitas Sebelas Maret. Alumnus Lembaga Pelatihan Jurnalistik SOLOPOS (LPJS). (FOTO/Istimewa)

Siang yang terik pada 14 Februari 2012 lalu, di gerbang belakang kampus megah Universitas Sebelas Maret Solo tampak seorang laki-laki renta bersama anaknya yang dari jauh tampak begitu memprihatinkan. Saya menghampirinya. Ternyata kondisi mereka justru lebih memprihatinkan dari yang saya duga sebelumnya.
Si bapak yang duduk telanjang dada terkulai lemas karena sesak napas, sedangkan Umini, anak perempuannya, mengidap batuk kronis dengan tubuh yang tinggal tulang berbalut kulit, bahkan volume kakinya hampir tak kuat menopang berat badannya.
Dia sedang menunggu ibunya yang mengemis di area belakang kampus. Sang ibu diprediksi akan pulang ketika terik mentari mulai menyengat dengan dua kemungkinan: mendapat uang atau tidak. Uang tersebut harus cukup untuk membiayai angkot dan becak mereka menuju rumah di daerah Sangkrah, Kampung Sewu, Solo yang hampir digusur karena proyek pembangunan pintu air.
Di tempat lainnya, di emperan- emperan gedung yang siang hari berfungsi sebagai gedung pertemuan, malam harinya ternyata terdapat pemandangan yang begitu mencengangkan. Banyak gelandangan yang tidur di sana. Mereka tidur lebih awal karena menahan lapar. Kebanyakan dari mereka, saya jamin, pasti banyak yang tidak lagi memiliki kartu tanda penduduk (KTP).
Hal itu saya ketahui ketika melihat langsung saat mereka mengantre pengambilan daging pada Hari Raya Kurban atau Idul Adha beberapa waktu sebelumnya. Mereka mengeluarkan KTP yang telah habis masa berlakunya sejak 10 tahun yang lalu sebagai syarat pengambilan. Hal ini menggambarkan betapa mereka sudah tidak peduli lagi dengan urusan administrasi kependudukan di negara ini.
Mereka hanya tahu bahwa mereka harus hidup esok hari, walau dengan mengais sisa lauk dari warung-warung di pinggir jalan. Mereka inilah ”komunitas warga bangsa yang terlupa”, rakyat Indonesia yang (tak) sengaja dibuang oleh Indonesia sendiri. Bagi mereka, Tanah Air ini bukan lagi ibu pertiwi.
Sementara itu, lingkungan kampus tempat Umini dan keluarganya menyambung nyawa dengan menjadi peminta-minta, tempat mahasiswa yang sering menggembar-gemborkan isu pergerakan sebagai oposisi konstruktif pemerintah, tetapi justru di gerbang depan dan belakangnya terdapat papan bertuliskan ”Pengemis dan Pemulung dilarang Berada di Sekitar Area Kampus”.
Begitu pula gedung-gedung perkantoran megah lain tempat dana-dana pemerintah bersarang. Mereka—para gelandangan itu–bahkan tidak lagi percaya diri untuk singgah di masjid-masjid kampung atau stasiun pengisinan bakar bakar umum (SPBU) untuk mendapatkan tempat singgah yang lebih hangat karena sadar akan status sosial mereka yang sangat negatif di mata masyarakat. Mereka sangat menyadari bahwa mereka adalah makhluk yang terbuang, komunitas warga bangsa yang terlupa.
Di sisi lain, media cetak maupun elektronik yang katanya merupakan media informasi yang bertugas sebagai penyambung lidah masyarakat pun lebih suka memberitakan konflik dana suap para wakil rakyat yang tak kunjung usai dengan dibumbui kontroversi- kontroversi tambahan yang sebenarnya tidak penting agar lebih menjual. Sayangnya, masyarakat kita hari ini sangat menikmati pertunjukan-pertunjukan pembohongan publik yang dilakukan oleh para elite politik tersebut.
Mereka geram, namun sangat penasaran dengan kebohongan lain yang dimunculkan oleh berita televisi yang sangat terbuka dan beragam sudut pandang setelah tumbangnya rezim Orde Baru. Komunitas warga bangsa yang terlupa semakin tak memiliki ruang dalam ingatan masyarakat kita kecuali ketika bertemu mereka di jalan dengan memberi sisa uang recehan saja. Setelah itu, mereka tidak akan lagi diperbincangkan atau dibawa ke forum-forum diskusi ilmiah untuk dianalisis dan dicari pemecahan masalahnya karena mereka bukanlah elite yang patut diangkat sebagai mata pembicaraan forum- forum tersebut.

Promosi Santri Tewas Bukan Sepele, Negara Belum Hadir di Pesantren

Tanggung Jawab
Lalu, tanggung jawab siapakah mereka ini sebenarnya? Tujuan kemerdekaan Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Hal tersebut dielaborasi ke dalam beberapa pasal dalam batang tubuh UUD 1945  yang kemudian diamandemen. Uraian tujuan kemerdekaan itu tercantum dalam Pasal 26, 27, 28, 29, 30, 31, 33 dan 34 yang seluruhnya merupakan jaminan dan janji untuk warga negara yang dijelaskan dalam Pasal 26 sebagai orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
Berdasar data Badan Pusat Statistik per Maret 2011 yang sempat menjadi kontroversi jumlah orang miskin di negeri ini 30,02 juta orang (12,49 persen). Dibandingkan jumlah penduduk miskin per Maret 2010 yang berjumlah 31,02 juta orang (13,33 persen) menunjukkan ada pengurangan. Kontroversi terjadi disebabkan standar kemiskinan internasional adalah masyarakat yang memiliki penghasilan kurang dari USD2 per hari atau setara dengan Rp540.000/kapita/bulan, sedangkan data kemiskinan makro Indonesia hanya menggunakan batasan Rp233.740/kapita/bulan.
Vietnam yang memiliki pendapatan per kapita lebih rendah  menggunakan patokan USD1,5 atau setara dengan Rp450.000, nyaris dua kali lipat dari standar yang kita gunakan. Selain itu, kontroversi juga disebabkan sampel yang dipakai hanya 68.000 orang. Apakah representatif dengan kondisi warga dengan garis kemiskinan yang sebenarnya, bahkan untuk memedulikan ”komunitas warga bangsa yang terlupa” yang saya sebut di atas?
Menbahas soal kemiskinan hari ini memang tidak akan selesai jika kita  menunggu pemerintah turun tangan menyelesaikannya. Persoalan ini memang erat berakar pada kebijakan politik. Seperti yang diungkapkan Erie Sudewo, menggusur satu rumah itu tercela, tapi menggusur 1.000 rumah hasilnya real estate. Yang dibutuhkan hari ini adalah pembenahan mental pemangku kebijakan tempat rakyat bergantung.
Mengatasi orang lapar jelas lebih mudah karena obat lapar adalah makan. Setelah kenyang, jiwa akan lebih mudah untuk dibentuk. Sedangkan kemiskinan yang terberat adalah kemiskinan mental. Di tangan orang yang rusak mentalnya, ilmu akan makin berbahaya. Di hati orang yang tamak, ilmu akan dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri. Seorang kuli bangunan yang lapar tak akan sanggup menjual rumah dan isinya (karena memang tak punya), namun seorang pejabat yang rusak mentalnya terbukti sanggup menjual negaranya.
Partisipasi aktif warga negara dalam mencerna program-program pemberdayaan masyarakat merupakan aspek paling penting. Investasi produktif bukanlah selalu memberi ikan mereka yang meminta, melainkan memberi alat memancing untuk mereka agar bisa bertahan hidup lebih lama. Memberi kehidupan pada ”komunitas warga bangsa yang terlupa” memang pekerjaan yang tidak akan selesai dengan sekali uluran tangan, melainkan pekerjaan yang harus terpadu dan berkelanjutan.
Mereka, termasuk anak-anak jalanan yang miskin, harus mendapatkan hak pendidikan yang layak dan tepat sasaran untuk dapat mengembangkan keterampilan mereka. Rumah singgah yang telah banyak diprogramkan dapat menjadi solusi jika kurikulum yang disajikan berbasis pembinaan mental dan pendekatan pemenuhan kebutuhan masa depan.
Selanjutnya, Para pemilik modal tak seharusnya mengaku sebagai social entrepreneur jika program-program sosial yang mereka laksanakan hanya demi mencari untung semata. Program pemberdayaan ekonomi kerakyatan harus terus dihidupkan dengan pendampingan partisipatif dari birokrasi, akademisi dan praktisi. Social entrepreneur harus bisa menuntaskan permasalahan- permasalahan sosial hingga tuntas. Jiwa-jiwa ini harus terus dipupuk untuk menyelamatkan banyak nyawa. Komunitas warga bangsa yang terlupa tidak butuh untuk diingat. Mereka hanya butuh untuk mengembalikan ingatan komunitas lainnya bahwa mereka masih berpijak di Tanah Air Indonesia tercinta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya