SOLOPOS.COM - Abu Nadzib (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Seiring  munculnya nama calon presiden yang diusung partai politik untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, suhu politik menghangat, media sosial makin riuh. Narasi mendukung calon presiden yang muncul sejak pertengahan 2022 makin kuat intensitasnya.

Seyogianya pertentangan cukup pada narasi saling adu ide, gagasan, wacana atas isu-isu besar kebangsaan yang memang butuh didiskusikan. Syukur-syukur dari diskusi itu muncul solusi.

Promosi Antara Tragedi Kanjuruhan dan Hillsborough: Indonesia Susah Belajar

Minimal didiskusikan sehingga siapa pun calon presiden yang terpilih mendapat tambahan data masalah yang harus diselesaikan. Bangsa kita masih jauh dari kata maju. Pembangunan masih butuh terus digalakkan untuk bisa setidaknya di posisi mapan sebagai negara berkembang.

Perdebatan di dunia maya tak perlu dengan saling menghujat masalah pribadi, rumah tangga, dan lain-lain yang tidak berkorelasi langsung dengan isu-isu besar kebangsaan. Mendukung calon presiden tak harus dengan menghujat calon presiden yang tak disukai.

Salah satu isu penting misalnya tentang subsidi kendaraan listrik. Isu subsidi kendaraan listrik penting karena berkaitan dengan anggaran negara. Bukan tentang siapa yang bicara, melainkan apa yang dibicarakan.

Pembicaraan seharusnya tetap pada koridor subsidi tersebut apakah tepat sasaran atau tidak, jangan melebar ke mana-mana yang keluar dari substansi permasalahan. Jika kebetulan isu itu bergulir dari Anies Baswedan, fokus pada isunya, jangan pada sosoknya.

Begitu pula ketika muncul isu lain, entah dari Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, atau dari tokoh lain. Mari fokus pada isunya. Jangan tentang hal-hal pribadi pencetus isu. Mari fokus pada pembahasan substansi.

Pemilihan umum adalah pesta demokrasi. Layaknya pesta, mari bersuka cita dalam kegembiraan berdemokrasi, bukan malah terus menyulut kebencian membabi buta.  Buang jauh-jauh pembahasan pribumi bukan pribumi.

Itu isu usang ratusan tahun lalu saat Nusantara masih dijajah Belanda, Inggris, dan Jepang. Sudahi pertentangan tentang calon presiden agamanya apa karena semua keyakinan tentang ketuhanan sudah terwadahi dalam dasar negara Pancasila.

Fokuslah pada masalah besar bangsa ini. Tentang kemiskinan dan kesenjangan sosial yang terus melebar. Tentang pendidikan yang makin kalah dari negara-negara tetangga. Tentang pengelolaan sumber daya alam yang ramah lingkungan dan berdaya guna dahsyat untuk kemajuan negeri. Tentang intensitas korupsi yang makin hari semakin mengerikan

Pemilihan umum hanya berlangsung lima tahun sekali. Kekuasaan bisa berubah dari koalisi satu ke koalisi berikutnya. Siapa pun yang memimpin negara, dari koalisi mana pun dia berasal, semua harus berorientasi pada perbaikan negeri yang bukan basa basi.

Mari menggunakan media sosial dengan positif. Untuk menebar energi cinta bangsa dan negara. Perang opini yang terjadi di media sosial arahkan untuk mencari solusi. Sudahi menebar hoaks dan kebencian.

Keunggulan jangkauan media sosial dan kemudahan aksesnya harus dimanfaatkan untuk penyebaran informasi berorientasi solusi.

Saya yakin satu-satunya yang membuat negara kita maju adalah kekompakan dalam kebaikan. Saatnya kita bergandengan tangan menuju cita-cita besar bangsa yang belum tercapai. China, Korea Selatan, dan Jepang bisa menjadi negara maju karena semua komponen bangsanya bersatu.

Perbedaan pasti ada, tapi bukan pada hal-hal yang bersifat pribadi, yang menjadi komoditas seksi penghias ruang-ruang media sosial. Kita? Alih-alih bersatu, malah selalu berseteru.

Sebaik-baik orang adalah yang bisa belajar dari kesalahan. Pembelahan sosial akibat pemilihan presiden pada 2019 adalah catatan sejarah kesalahan besar bangsa ini. Ujung pertentangan politik dua calon presiden yang bertarung adalah berkumpul dalam pemerintahan yang sama. Narasinya sama: bersama membangun bangsa.

Tidak ada alasan mengulangi kesalahan pada pemilihan presiden 2019. Jadikan itu momentum belajar bahwa pemilihan umum adalah wahana mencari kader terbaik bangsa yang diamanahi memimpin negeri. Mari berbicara tentang ide-ide besar yang berguna bagi pembangunan bangsa ini, setidaknya untuk lima tahun mendatang.

Tidak Santun

Tak ada salahnya kita belajar dari negara-negara yang demokrasinya lebih maju. Harus ada kesadaran bahwa kontestasi politik bukan berarti permusuhan dan jangan sampai menimbulkan perpecahan. Mari menjadi warga yang santun di media sosial dan dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Keriuhan di media sosial akibat cara bermedia sosial yang tidak santun sedikit banyak berpengaruh pada kondusivitas masyarakat di dunia nyata. Para calon presiden dan partai politik pendukung berperan besar mengurangi kesemerawutan di media sosial.

Kesadaran elite membina para pendukung di tingkat akar rumput berbanding lurus dengan elegan tidaknya pemilihan umum mendatang. Tim kampanye calon presiden dan para pendukungnya pasti gencar menggunakan media sosial dengan mengunggah beragam video, foto, atau status seputar pemilihan presiden pada 2024.

Penggunaan media sosial yang masif ini akan sangat indah jika yang tertampilkan adalah tema-tema besar kebangsaan yang menjadi pekerjaan bersama dari waktu ke waktu. Bukan lagi kampanye-kampanye hitam yang berisi hoaks dan fitnah.

Sayangnya, hoaks dan fitnah saat ini sudah mulai ramai di media sosial. Beragam grup bermunculan, baik yang bernarasi mendukung maupun mencela calon presiden tertentu. Bagi grup yang sengaja dipakai untuk mencela calon presiden tertentu, tentu tidak sehat bagi publik, terutama ketika masa pemilihan umum makin dekat.

Berdasarkan laporan We Are Social, pada Januari 2022 jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia 191 juta orang. Jumlah itu meningkat 12,35% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebanyak 170 juta orang. Whatsapp menjadi media sosial yang paling banyak digunakan masyarakat Indonesia, yaitu 88,7%.

Setelah itu Instagram dan Facebook, yautu 84,8% dan 81,3%. Proporsi pengguna Tiktok dan Telegram berturut-turut 63,1% dan 62,8%. Literasi digital harus digencarkan agar krisis kesantunan warganet tidak makin parah.



Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan daftar pemilih sementara Pemilu 2024 yang mencakup 205.853.518 pemilih. Jumlah ini meningkat lebih dari 15 juta dibandingkan jumlah pemilih pada Pemilu 2014, yakni 190.307.134 orang.

Pada Pemilu 2019, jumlah pemilih 192.770.611 orang atau hanya bertambah sekitar dua juta dibandingkan Pemilu 2014. Jumlah 205.853.518 pemilih pada Pemilu 2024 ini memang masih berstatus sementara, artinya masih bisa berubah.

Kalaupun berubah, jumlahnya tidak akan berselisih banyak. Menilik begitu banyaknya jumlah pemilih pada Pemilu 2024, wajar kita berharap pesta demokrasi lima tahunan kali ini lebih berkualitas.

Kita mampu jika kita mau. Kita mampu jika bersama-sama punya kesadaran untuk menjadikan pemilu lebih berkualitas. Sudahi penyebaran hoaks, hentikan fitnah. Mari berbicara kualitas ide dan gagasan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 17 Mei 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya