SOLOPOS.COM - Suharsih (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Hiruk pikuk Pemilu 2024 belum berlalu sepenuhnya. Rakyat di berbagai wilayah Indonesia yang memiliki hak pilih telah menyalurkan suara mereka untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), anggota DPRD Provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota untuk periode 2024-2029.

Harapan melambung tinggi untuk para calon pemimpin dan calon wakil rakyat. Mereka diharapkan  membawa rakyat Indonesia menuju kehidupan yang lebih baik, lebih sejahtera, dan makmur. Lapangan kerja bertambah, kemiskinan berkurang, harga-harga kebutuhan pokok terjangkau dan stabil.

Promosi Kisah Pangeran Samudra di Balik Tipu-Tipu Ritual Seks Gunung Kemukus

Salah satu sektor yang perlu mendapatkan perhatian lebih dari para pemimpin dan wakil rakyat hasil Pemilu 2024 adalah pertanian dan nasib para petani. Perhatian serius pada sektor pertanian penting mengingat kondisi saat ini dan keberlanjutan pada masa mendatang.

Hasil Sensus Pertanian (ST) 2023 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Desember 2023 menunjukkan salah satu masalah di bidang pertanian adalah bertambahnya jumlah petani gurem.

Jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTUP) kategori gurem atau petani gurem meningkat 2,64 juta rumah tangga dalam 10 tahun terakhir. Pada Sensus Pertanian 2013, jumlah petani gurem sebanyak 14,25 juta RTUP.

Pada 2023, jumlah petani gurem 16,89 juta RTUP, meningkat 18,54%. RTUP gurem adalah  rumah tangga petani yang menggunakan atau menguasai lahan pertanian/tempat tinggal kurang dari 0,50 hektare.

Di Kabupaten Wonogiri, berdasarkan data ST 2023 Tahap I, dari jumlah petani 197.508 orang, sebanyak 151.265 orang atau 77% adalah petani gurem. Artinya pada setiap 100 petani di Kabupaten Wonogiri, sebanyak 77 orang adalah petani gurem.

Berdasarkan hasil ST 2013, jumlah petani gurem di Kabupaten Wonogiri 136.129 orang. Peningkatan jumlah petani gurem yang mengelola tidak lebih dari 0,5 hektare lahan ini rata-rata karena para petani itu mendapatkan lahan warisan dari orang tua mereka.

Orang tua (rumah tangga petani) memiliki satu hektare lahan dibagi kepada dua orang hingga empat orang anak sehingga masing-masing mendapatkan kurang dari 0,5 hektare lahan. Ini menunjukkan luas lahan pertanian tidak bertambah, bahkan berkurang.

BPS menyebut ini persoalan serius yang jika tidak segera diatasi akan membuat para petani yang miskin semakin sulit keluar dari jurang kemiskinan. Apa gunanya panen padi/beras surplus setiap tahun kalau para petani tetap miskin?

Harga gabah dan beras tinggi di pasaran, tapi para petani tak mendapatkan untung. Masalah lain yang perlu mendapat perhatian pemerintah dan wakil rakyat hasil Pemilu 2024 adalah tata niaga hasil panen.

Urusan ekonomi perberasan pascapanen tak lepas dari campur tangan pemerintah melalui lembaga di bidang pangan, yaitu Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog). Bulog juga memiliki keterbatasan tempat penyimpanan di sentra-sentra produksi beras.

Bulog juga punya kelemahan di sektor sumber daya manusia. Hasil panen petani tak bisa terserap seluruhnya. Belum lagi soal harga beli beras Bulog yang ditetapkan pemerintah justru sering lebih murah dibandingkan harga yang ditawarkan tengkulak.

Ini membuat para petani lebih suka menjual gabah mereka kepada tengkulak. Akibatnya hasil panen entah lari ke mana. Ketika produksi beras terganggu karena faktor musim dan lainnya, harga melambung tinggi.

Petani tak mendapat untung dari kenaikan harga itu karena tidak punya simpanan beras/gabah dan padi di sawah belum bisa dipanen. Bupati Wonogiri Joko Sutopo menyebut pemerintah daerah harus diberi kewenangan mengatur perniagaan hasil pertanian, terutama beras.

Ia menilai selama ini perniagaan dan rantai distribusi beras hasil panen petani yang diatur secara terpusat tidak efisien. Beras ditarik dulu ke pusat melalui Perum Bulog, baru kemudian dikembalikan ke daerah.

Akan lebih baik apabila pemerintah daerah diberi kewenangan mengelola produksi beras. Hasil panen petani di daerah tidak ditarik keluar dulu oleh Bulog, melainkan dikelola di daerah dengan pengawasan aparat penegak hukum.

Dengan begitu pemerintah daerah bisa mengontrol harga dan distribusi di tingkat lokal sekaligus cadangannya. Ketika ada kelebihan baru didistribusikan ke luar daerah. Ini akan membuat stok, distribusi, dan harga beras di pasaran lokal terkendali.

Masalah klasik yang selalu muncul dari tahun ke tahun adalah pasokan pupuk. Jatah, distribusi, hingga persyaratan mendapatkan pupuk bersubsidi dari tahun ke tahun selalu dikeluhkan para petani. Pupuk bersubsidi membantu para petani menekan biaya produksi dibanding ketika membeli pupuk nonsubsidi.

Masalah-masalah itu penting mendapat perhatian lebih dari pemerintah maupun wakil rakyat yang terpilih pada Pemilu 2024. Jangan sampai muncul anggapan pemerintah berganti, namun nasib para petani begitu-begitu saja, miskin, serbasusah, tak bisa menikmati hasil jerih payah sebagaimana mestinya.

Pemerintah harus menentukan kebijakan yang jelas untuk sektor pertanian. Kebijakan yang berpihak dan menguntungkan petani. Kebijakan yang membuat sektor pertanian menjadi lebih seksi dan menarik sebagai lahan usaha bagi anak muda. Sektor yang menjanjikan kemakmuran bagi rakyat Indonesia.

Ketika tidak ada kejelasan arah kebijakan sektor pertanian, sangat mungkin sektor ini akan semakin ditinggalkan dan bisa jadi prediksi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada 2021 yang menyebut tidak ada lagi petani di Indonesia pada 2063 menjadi kenyataan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 26 Februari 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya