SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Rumongso, Guru SD Djama’atul Ichwan Solo (FOTO/Dok)

Rumongso, Guru SD Djama’atul Ichwan Solo. (FOTO/Dok)

Tulisan ini adalah telaah kritis atas tulisan Ki Sugeng Subagya di SOLOPOS (1/3/2012) yang berjudul Uang untuk Pendidikan. Ini budaya sehat yang harus dikembangkan terutama oleh kalangan dunia pendidikan bahwa tidak diharamkan kita berdebat, berpolemik di media massa, sebagai bagian dari kebebasan berpendapat yang dijamin UUD 1945. Saya hendak memberikan contoh dan teladan bahwa tulisan harus dilawan dengan tulisan, pendapat harus dilawan dengan pendapat. Bukan lewat kekuasaan, ancaman dan intimidasi yang mengandalkan logika rendah dan kedangkalan berpikir.
Sebelum saya membahas lebih lanjut dalam ini, akan saya sampaikan persepsi publik terhadap pemerintahan negeri ini. Saya mengikuti dengan saksama berita di media massa baik cetak maupun elektronika dan internet dan saya sampai kepada kesimpulan bahwa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berada di titik nadir. Rakyat kehilangan kepercayaan kepada pemerintah, politisi, partai politik dan aparatur penegak hukum. Hal ini dapat dilihat dari hasil jejak pendapat yang dilakukan oleh media massa terhadap isu–isu krusial dewasa ini. Rata–rata tingkat kepercayaan rakyat menurun drastis hingga berada di bawah level psikologis yakni angka 50%.
Penyebabnya adalah banyaknya tokoh dan elite partai politik dan pemerintahan yang terlibat atau terkait perkara pidana korupsi yang membuat rakyat muak kepada pemimpinnya. Pemerintahan Presiden SBY dibangun mengandalkan citra. Semuanya berjalan serba seolah–olah, bukan berdasarkan keadaan yang sebenarnya. Pencitraan melahirkan realitas berlebih. Yang menyembul di permukaan adalah kontradiksi dan dusta.
Pemerintah berbohong, namun dicitrakan jujur dan memerintah dengan keluhuran budi. Pemerintahan tidak berjalan, namun dikatakan pemerintahan berjalan 24 jam. Ia seolah dekat dan membela rakyat kecil, namun rakyat kecil justru dipinggirkan. Salah satu korban dari politik pencitraan tersebut adalah dunia pendidikan. Hal inilah yang hendak saya kritik, sebab dunia pendidikan yang paling saya akrabi dan semua dalam bingkai latar belakang saya sebagai seorang guru, pendidik, yang harus selalu mengajarkan kebajikan meskipun terasa pahit.
Politik pencitraan dalam dunia pendidikan dapat kita lihat dengan terbitnya Permendikbud No 60/2011 yang melarang pungutan di sekolah–sekolah terutama sekolah negeri. Sekolah swasta dan rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) diperbolehkan menarik biaya investasi. Kalangan sekolah swasta dibuat gamang, sebab masyarakat hanya tahu bahwa ada aturan yang melarang segala bentuk pungutan tanpa melihat pengecualian. Permendikbud tersebut seolah–olah mendekatkan rakyat kepada dunia pendidikan karena aneka pungutan telah disingkirkan.
Rakyat akan mudah memperoleh akses yang luas ke dunia pendidikan sebab pemerintah akan menyukupi semua kebutuhan sekolah baik sarana gedung, mebel, laboratorium IPA, bahasa dan komputer di semua sekolah tanpa satu rupiah pun keluar dari kantong rakyat. Dengan memakai logika bahwa semua sekolah adalah sekolah negeri, semua guru adalah guru negeri yang sudah selangit kesejahteraannya, Permendikbud tersebut secara subtansi benar, namun menyesatkan. Di Indonesia, sekolah tidak hanya didirikan oleh pemerintah, tidak semua guru berstatus PNS.
Ada ribuan sekolah yang didirikan oleh swasta karena negara memiliki keterbatasan dalam melaksanakan tugas dan kewajiban menyediakan pendidikan bagi warga negara sebagaimana amanat UUD 1945. Dan dalam UU tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dengan sangat jelas diamanatkan tentang peran serta lembaga–lembaga swasta dalam dunia pendidikan. Ada ratusan ribu guru yang dihidupi yayasan dan lembaga pendidikan swasta yang memiliki kontribusi yang tidak kecil terhadap kemajuan pendidikan.
Ketika realitas menunjukkan sebagian besar sekolah swasta hidup dari uang yang dihimpun dari partisipasi rakyat, Permendikbud kehilangan dasar pijakan dan bertentangan dengan peraturan di atasnya yakni UUD 1945 dan UU Sisdiknas. Kalangan sekolah swasta harus berani bertanya kepada Mendikbud, apakah ada satu buah batu bata, segenggam semen, sepotong besi yang diberikan oleh pemerintah dalam hal ini Mendikbud kepada sekolah–sekolah swasta pada saat membangun sekolah yang bagus, memadai dan sangat layak untuk ditempati anak–anak menuntut ilmu?
Saat sekolah swasta membangun laboratorium komputer, apakah ada uluran tangan pemerintah berwujud seutas kabel. Sekolah swasta membangun gedung dengan uang dari kekayaan sendiri, bukan meminta, apalagi mengemis kepada pemerintah. Memang ada dana bantuan operasional sekolah (BOS), namun penggunaannya sudah ditentukan dengan sangat detail dan semua kembali untuk menunjang kegiatan anak. Sementara sekolah harus mencukupi aneka kebutuhan untuk memberikan pendidikan yang bermutu bagi anak didik.

Promosi Tragedi Simon dan Asa Shin Tae-yong di Piala Asia 2023

Menghidupi Guru
Apakah pemerintah sudah cukup menghidupi guru–guru swasta sehingga melarang memungut meskipun dengan embel–embel “kecuali tanpa paksaan”?. Saya yang selama ini bekerja di sekolah swasta melihat bahwa orangtua siswa sudah memiliki kesadaran bahwa konsekuensi menyekolahkan anak di sekolah swasta pastilah harus mengeluarkan uang. Jer basuki mawa bea.  Jika ingin gratis, masuklah ke sekolah negeri sebagaimana iklan di televisi dan spanduk–spanduk yang dipasang di tembok sekolah negeri. Rakyat yang cerdas tidak tergiur dengan iklan itu.
Buktinya, ratusan sekolah negeri tutup karena kekurangan murid. Orangtua tidak akan menggadaikan masa depan anak dengan sesuatu yang tidak jelas. Sementara sekolah swasta yang bermutu diburu oleh masyarakat dan sampai pada taraf menolak murid karena keterbatasan sarana dan prasarana. Orang tua tahu lewat pendidikan yang baik masa depan anak-anak mereka juga baik. Melarang sekolah, apalagi sekolah swasta, untuk menarik pungutan menandakan Mendikbud lupa bahwa   kalangan sekolah swasta menghidupi diri dan makan dari beras yang padinya ditanam sendiri bukan diberi oleh pemerintah.
Kalangan sekolah swasta minum dari air yang sumber airnya digali sendiri bukan dikirimi pemerintah. Lalu atas dasar apakah sekolah swasta ikut terkena imbas peraturan tersebut? Inilah yang saya sebut mengelola pendidikan dengan pencitraan. Semuanya jauh dari kenyataan. Politik pencitraan dalam dunia pendidikan membuat masyarakat tersesat.
Permendikbud yang melarang segala bentuk pungutan diterbitkan sebagai salah satu jalan alternatif untuk memperbaiki citra pemerintahan Presiden SBY yang sangat buruk di mata rakyat. Pemerintahan ini, dalam bahasa anak muda, sedang galau karena harus menempuh langkah tidak populer dengan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada saat jutaan rakyat masih hidup miskin. Pemerintahan ini galau, apakah akan mengambil kebijakan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) kepada rakyat miskin yang pasti akan disebut sebagai bagian dari kampanye Pemilu 2014 atau harus menempuh cara lain?
Permendikbud diterbitkan untuk membentuk citra bahwa pemerintahan ini masih berpihak kepada rakyat kecil, karena kebijakan ini yang paling sedikit risiko politiknya. Namun, rakyat yang semakin cerdas cenderung tak peduli dengan kebijakan Mendikbud tersebut.
Menutup tulisan ini saya hendak mengedukasi dan menyatakan kepada pemerintahan ini: jangan membuat kebijakan apa pun yang menyebabkan syak wasangka jika belum bisa memberikan jaminan menuju keadaan yang lebih baik. Jangan persulit dan matikan sekolah swasta yang sudah lahir jauh sebelum Republik ini lahir.
Kunjungilah sekolah swasta. Dengarkanlah degup jantung para guru di sekolah swasta. Apakah masih ada rasa khawatir bisa membeli beras untuk keluarganya? Jangan mengambil keputusan apa pun terkait pendidikan yang merugikan mereka jika pemerintahan ini belum berbuat baik kepada kehidupan mereka.  Kompetisi antara sekolah  yang sehat bukan lewat cara politik belah bambu di mana ada satu pihak berada di atas dan  diangkat sementara satu pihak berada di bawah dan diinjak. Belajarlah dari rakyat yang sudah pintar!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya