SOLOPOS.COM - Nur Hadiyanta, guru MAN Prambanan, Klaten, alumnus Lembaga Pendidikan Jurnalistik SOLOPOS (LPJS). (JIBI/SOLOPOS/ist)

Nur Hadiyanta, guru MAN Prambanan, Klaten, alumnus Lembaga Pendidikan Jurnalistik SOLOPOS (LPJS). (JIBI/SOLOPOS/ist)

Seorang pedagog Jerman bernama FW Foersters (1869–1966) mencetuskan pendidikan karakter dalam empat ciri dasar. Empat ciri itu adalah keteraturan, keberanian, otonomi dan keteguhan atau kesetiaan. Di tengah kebangkrutan moral bangsa dan maraknya kebohongan, kepalsuan, korupsi, manipulasi, serta janji-janji politik yang cenderung palsu, pendidikan karakter sangat penting untuk diajarkan di Indonesia.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional (Balitbang Kemendiknas) mulai 2010 mengadopsi pemikiran FW Foersters dan menerjemahkannya menjadi 18 nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa (PBKB), yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab.

PBKB dalam wujud 18 karakter itu masih ditambah 16 nilai pendidikan kewirausahaan (PKWU), yaitu jujur, disiplin, kerja keras, kreatif, inovatif, mandiri, tanggung jawab, kerja keras, kepemimpinan, ulet, berani menanggung risiko, komitmen, realistis, rasa ingin tahu, komunikatif dan menghargai prestasi. Sangat berat memang nasib kurikulum pendidikan di Indonesia. Muatan sebanyak itu kapan tercapainya?

Namun, apabila berhasil direalisasikan, akan tumbuh generasi sempurna. Waktu yang dibutuhkan sudah pasti lama, minimal 40 tahun, seperti tertulis dalam Alquran surat Al Maidah: 26 tentang kisah Bani Israil yang dilarang masuk Palestina (mungkin dianggap belum berkarakter baik). Tidak ada orang atau indikator tertentu yang bisa menjamin ketercapaian pendidikan karakter di Indonesia.

Membangun pendidikan karakter tentu saja memerlukan pengelolaaan yang memadai mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian yang matang. Salah mengelola justru akan merusaknya. Ini memerlukan waktu paling lama 40 hari. Amatilah dalam beberapa kejadian saling tuduh dan fitnah karena terlibat suatu perkara pidana atau perdata. Masing-masing pihak akan menyebut sebagai pembunuhan karakter. Dngan entengnya mereka mamakai karakter sebagai tameng perkara.

Menurut T Ramli (2003) pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya membentuk pribadi supaya menjadi manusia yang baik atau warga negara yang baik. Sebenarnya 18 nilai PBKB dan 16 PKWU bukan barang baru sebagai muatan kurikulum di Indonesia. Pada era 1970-an materi itu sudah ada dengan nama pendidikan budi pekerti. Gerusan zaman menyebabkan proses dan pelaksanaan serta hasilnya mengalami degradasi yang sangat signifikan. Sebelum parah, isi materi tersebut dimunculkan lagi dengan berganti baju, lalu disebutlah pendidikan karakter.

Dua tahun sudah pendidikan karakter digulirkan. Yang menjadi sorotan utama dari 18 nilai PBKB itu ada tiga hal yang dianggap belum selaras atau bias yaitu nilai kejujuran, berani dan multikultural. Masalah kejujuran perlu diulas secara khusus karena menjadi hal yang sangat krusial saat ini, entah sampai kapan.

Peristiwa demi peristiwa yang sempat menciederai pendidikan karakter nilai kejujuran bisa dicontohkan yaitu kasus kecurangan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) di SDN Gadel II Surabaya beberapa bulan yang lalu. Mendiknas menyangkal terjadi kecurangan meskipun guru dan kepala sekolah serta siswa pelaku mengakui perbuatan mereka. Dunia pendidikan dinodai oleh tindakan menyontek berjemaah dengan skenario yang dibuat oleh tim sukses UN. Kasus manipulasi nilai UN terjadi di Jawa Barat. Begitu terbukti, guru dan kepala sekolah diberikan sanksi disiplin.

Kadang-kadang tim sukses UN berbuat keterlaluan, cenderung ngawur, tapi bukan tanpa alasan. Tekanan berbagai pihak, bisa dari orang tua, kepala dinas atau kepala daerah, membuat posisi tim sukses menjadi dilematis. Demi pertaruhan gengsi akhirnya semua cara dilakukan termasuk yang tidak lazim.

Hasil UN jelek bisa merusak kredibilitas para pemangku kepentingan pendidikan. Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) muncul penilaian angka kredit (PAK) palsu untuk kenaikan pangkat guru-guru SD. Di perguruan tinggi juga ada karya ilmiah palsu untuk promosi guru besar. Di daerah Soloraya terbit surat keputusan pengangkatan calon pegawani negeri sipil (SK CPNS) yang dinyatakan palsu.

Masih di kawasan Soloraya, ada ijazah palsu digunakan untuk pencalonan bupati, yang kini masih ramai dibicarakan meskipun sudah terlambat lantaran penggunanya sudah menjadi bupati selama dua periode masa jabatan. Di pemerintah pusat beredar surat palsu Mahkamah Konstitusi (MK), juga paspor palsu untuk Gayus Tambunan, ada kesaksian palsu sampai sumpah palsu. Semua kelihatannya asli tapi sebenarnya palsu maka disebutlah asli tapi palsu atau Aspal.

Sedikit kasus di atas merupakan gambaran bahwa pendidikan karakter, kususnya nilai kejujuran, belum menyentuh hati para pejabat tingkat pusat apalagi daerah. Padahal mereka yang diharapkan menjadi pionir. Kejujuran tampaknya masih merupakan barang mahal di negeri ini. Pakta integritas yang pernah menjadi kontrak para pejabat juga belum maksimal memberikan proteksi dari perilaku korupsi dan manipulasi. Remunerasi pun juga demikian. Katanya dengan naiknya tunjangan bisa mencegah perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme atau KKN, ternyata apa kata dunia?

Warung
Berangkat dari kegundahan dan kecemasan semakin besarnya kasus yang sudah membiaskan kejujuran, KPK menggagas konsep warung kejujuran dan sudah dilaksanakan meskipun merugi. Risiko kerugian adalah biaya yang harus dibayar untuk sebuah gagasan mulia.

Dalan tataran konsep, warung kejujuran adalah wahana pembelajaran diri tentang kejujuran, sikap antikorupsi dan antimanipulasi. Kini warung kejujuran dipraktikkan di sekolah-sekolah sebagai salah satu cara mendidik dan membangun karakter jujur pada semua orang di semua tingkatan. Warung kejujuran bahkan mulai merambah kantor-kantor pelayanan publik yang diharapkan sebagai terapi terhadap merebaknya tindak pidana korupsi dan manipulasi.

Pada awalnya sudah pasti merugi sebab kejujuran belum menjadi roh dalam kehidupan mayoritas warga negeri ini. Apalagi warung kejujuran tidak ada pelayan, kasir dan pengawas. Semua pembeli menghitung dan membayar sendiri secara jujur. Dengan bekal kejujuran, warung ini ibaratnya sebagai penguji kejujuran. Seberapa untung warung itu akan tecermin kejujuran pelanggannya. Itulah karakternya. Juga terhadap uang kembalian apakah sudah jujur ? mereka yang melakukan transaksi sendiri. Instrumen kejujuran yang sangat sederhana sebenarnya ada di warung kejujuran ini.

Konsep warung kejujuran tidak menjual kejujuran, tetapi membeli kejujuran. Aplikasinya tentu sangat sulit dan memerlukan proses yang sangat lama. Bisa setahun, 10 tahun bahkan, 40 tahun dengan risiko rugi lantaran kenakalan yang mungkin tidak disengaja dari anak kecil usia sekolah pada umumnya.

Investasi yang kembalinya sangat lama ini bisa diharapkan menjadi terapi terhadap pembiasan karakter kejujuran. Ketika ternyata masih ada pejabat yang memproduksi hal-hal Aspal, wallahu ‘alam. KPK sudah memelopori sejak 2008. Pelaku korupsi dan manipulasi sudah mendapat vonis hukuman yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Untuk menyadarkan ihwal realitas makin minusnya kejujuran di negeri ini, kiranya para pejabat, politisi, kepala daerah dan pejabat tingkat bawah sampai kementerian yang belum tersandung kasus pidana maupun perdata harus mulai belajar berbelanja karakter di warung kejujuran karena di sana mereka wajib membeli karakter. Warung kejujuran tak menjual karakter Aspal, asli tapi palsu, yang hakikatnya adalah palsu, tak jujur.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya