SOLOPOS.COM - Ravik Karsidi, Guru Besar Sosiologi, Rektor Universitas Sebelas Maret. (JIBI/SOLOPOS/Dok)

Ravik Karsidi, Guru Besar Sosiologi, Rektor Universitas Sebelas Maret. (JIBI/SOLOPOS/Dok)

Kejadian di masyarakat kita akhir-akhir ini membuat kita harus menengok peran keluarga khususnya menyangkut fungsi pendidikan dalam keluarga. Menjamurnya lembaga pendidikan formal sejak usia dini membuat orangtua  pasrah kepada sekolah menyangkut pendidikan anak-anak mereka. Kontrol orangtua kepada anak menjadi lemah dan orangtua sering tidak  paham anak-anaknya sendiri ketika mereka beranjak remaja. Akibatnya banyak anak yang berperilaku menyimpang.
Meskipun lembaga pendidikan formal saat ini sudah sangat banyak menawarkan berbagai fasilitas, namun pendidikan dalam konteks keluarga tidak boleh terlupakan. Keluarga merupakan lingkungan pendidikan di mana anak pertama kali dan paling utama mendapatkan pendidikan dan bimbingan. Dalam keluarga pula porsi terbesar kehidupan anak berada. Keluarga dan sekolah memiliki peran masing-masing dan tidak bisa saling tergantikan.
Memang tidak mudah menjalankan peran pendidikan dalam keluarga apalagi dalam zaman yang semakin cepat berubah ini. Tantangannya lebih kompleks dibandingkan zaman dahulu. Orangtua sibuk dengan pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan sehingga untuk mendidik, memantau perkembangan atau sekadar mendengarkan perasaan anak pun kadang nyaris tak ada waktu. Anak-anaklebih akrab dengan televisi, internet atau game. Akibatnya terjadi perubahan norma-norma dalam masyarakat.  Tidak semua yang dulu diterapkan orangtua kita cocok digunakan untuk menghadapi anak-anak kita sekarang.
Pergeseran itu terjadi salah satunya karena  masyarakat kita saat ini sudah bergeser dari mode produksi ke mode konsumsi. Pada masyarakat mode produksi, misalnya di pedesaan, anak-anak menghayati dan mengalami proses bercocok tanam hingga menghasilkan produk pertanian. Namun, saat ini yang terjadi, terutama di perkotaan, anak-anak tidak mengenal proses produksi, bahkan untuk makanan yang mereka makan. Orangtua jarang memasak sendiri makanan tetapi dengan membeli makanan yang sudah jadi.
Contoh pola kehidupan seperti ini turut membentuk karakter anak dalam menghargai proses, usaha, kerja keras dan sebagainya. Sekarang, anak-anak lebih menyukai sesuatu yang instan dan serba cepat tanpa melihat prosesnya. Banyak siswa atau mahasiswa hanya ingin mendapatkan nilai baik tanpa mau rajin kuliah dan belajar. Tepat kiranya jika peran pendidikan dalam konteks keluarga saat ini dapat dikatakan mendukung kebijakan pendidikan karakter yang dicanangkan pemerintah. Dalam kebijakan nasional pembangunan karakter bangsa 2010-2025 dinyatakan keluarga merupakan wahana pembelajaran dan pembiasaan karakter yang dilakukan oleh orangtua dan orang dewasa lain dalam keluarga terhadap anak sebagai anggota keluarga sehingga diharapkan dapat terwujud keluarga berkarakter mulia yang tecermin dalam perilaku keseharian.

Promosi Pramudya Kusumawardana Bukti Kejamnya Netizen Indonesia

Empat

Bahkan, karena begitu pentingnya,  disarankan pula pendidikan karakter dalam lingkup keluarga dilakukan kepada komunitas calon orangtua dengan penyertaan pengetahuan dan keterampilan, khususnya dalam pengasuhan dan pembimbingan anak. Lalu karakter seperti apa yang dibentuk oleh keluarga? Karakter yang dituju merupakan hasil keterpaduan empat bagian, yakni olahhati, olahpikir, olahraga, olahrasa dan karsa.
Olahhati berkenaan dengan perasaan, sikap dan keyakinan/keimanan. Olahpikir berkenaan dengan proses nalar guna mencari dan menggunakan pengetahuan secara kritis, kreatif dan inovatif. Olahraga berkenaan dengan proses persepsi, kesiapan, peniruan, manipulasi dan penciptaan aktivitas baru disertai sportivitas. Olahrasa dan karsa berkenaan dengan kemauan dan kreativitas yang tecermin dalam kepedulian, pencitraan dan penciptaan kebaruan.
Pembentukan empat karakter tersebut akan memperoleh endorsement jika dilakukan dalam keluarga, mengingat keluarga sebagai tempat sosialisasi mengajarkan tiga hal kepada anak, yaitu: pertama, penguasaan diri, baik fisik maupun emosional. Orangtua mengajari anak untuk menguasai diri seperti menjaga kebersihan hingga menahan kemarahan. Awalnya hal ini memang berat bagi anak namun dengan pembiasaan hal tersebut dapat dilakukan. Kedua, nilai-nilai. Bersama-sama dengan proses berlatih penguasaan diri kepada anak-anak diajarkan nilai-nilai dasar. Penelitian menunjukkan nilai-nilai dasar terbentuk pada usia enam tahun. Misalnya dengan melatih anak menguasai diri meminjamkan permainan pada temannya maka akan dapat melatih nilai kerja sama.
Ketiga, peran-peran sosial. Melalui interaksi sosial dalam keluarga anak belajar perannya sebagai anak, kakak/adik, laki-laki perempuan dan seterusnya. Orangtua harus dapat menjelaskan dan berlaku adil dalam memperlakukan anak-anak sesuai dengan peran sosial masing-masing. Sekali menjalankan fungsi ideal tersebut tidak mudah dan banyak tantangan. Kita dapat belajar misalnya pada kasus tragedi sambal  (SOLOPOS, 21/11) lalu. Seorang anak kelas IV SD nekat mengakhiri hidupnya hanya karena tidak kebagian sambal untuk makan.
Kita baca keluarga Agung, bocah malang itu, merupakan keluarga miskin dengan tujuh anak. Dapat diduga dengan beban seperti itu bagaimana perhatian orangtuanya terhadap anak-anak. Mungkinkah mereka bisa menempatkan keluarga sebagai wahana sosialisasi seperti tersebut di atas jika anak begitu mendalam kekecewaannya?  Bagaimana  dia menerima peran sebagai kakak lalu bagaimana kemudian harus menguasai diri? Lalu dari mana anak seusianya tahu cara bunuh diri?
Kita juga bisa membaca kekecewaan seorang kakak yang kehilangan perhatian dari orangtua seperti kisah Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Midah Si Manis Bergigi Emas. Penderitaannya yang mendalam terjadi ketika dia sakit namun tidak mendapat perhatian dari orangtuanya. Sampai dia pikir bahwa adik-adiknya telah merampas kasih sayang kedua orangtuanya. Kekecewaan itu kemudian membawanya menjalani pilihan hidup yang malang. Lari dari rumah menjadi penyanyi hingga hamil di luar nikah.  Dari peristiwa ini, kita bisa renungkan kembali pendidikan dalam keluarga kita.

Cara Mendidik
Seiring dengan pergeseran budaya serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat, orangtua mau tidak mau harus memiliki keterampilan pola asuh anak yang efektif, sehingga anak tidak terjebak dalam perilaku yang tidak baik menurut norma agama maupun budaya. Paling tidak sebagai orangtua harus menanamkan 3K (kebiasaan, keteladanan  dan komunikasi ) di rumah agar lebih mudah menerapkan pendidikan dalam keluarga. Membentuk karakter tidak bisa dilakukan dengan teori saja, tetapi dengan membiasakan anak-anak untuk melakukannya secara bertahap sejak dini.
Tentu saja penanaman kebiasan positif tersebut harus dilengkapi dengan keteladanaan orangtua. Anak-anak akan meniru apa yang dilakukan orangtuanya. Jika orangtua melarang anak menonton televisi, orangtua juga jangan menonton televisi.        Selain itu, harus ada pola komunikasi baru sebagai sarana interaksi antara orangtua dan anak. Pola komunikasi kini sangat berbeda dengan zaman dahulu. Dulu, orangtua sangat dominan dan tidak ada ruang bagi anak untuk menyampaikan keinginan dan perasaannya.  Saat ini, justru  dari keluarga pendidikan demokratis dimulai.
Iklim dialogis dan keterbukaan dalam keluarga bisa membuat anak terbiasa berkomunikasi, bisa menerima dan mendengarkan pandangan orang lain.  Orangtua disarankan menerapkan komunikasi suportif, yaitu memperlakukan anak sebagai persona, bukan sebagai objek. Dengan kemajuan teknologi komunikasi, komunikasi orangtua dengan anak dapat dilakukan kapan saja dan pola komunikasi yang dibangun orangtua sangat menentukan perkembangan anak. Sangat menarik  rasanya  jika orangtua juga dapat memanfaatkan social media yang sedang tren seperti Facebook dan Twitter untuk membangun komunikasi dengan anak-anak.
Bahkan, dalam pengalaman pembelajaran di kampus, mahasiswa yang tertutup dalam situasi lisan dapat terbuka dalam menyampaikan pikirannya ketika menggunakan social media tersebut. Sekali lagi, karena perubahan zaman yang demikian cepat, tidak jarang orangtua kehilangan panduan dalam mendidik anak dalam keluarga. Akibatnya, orangtua merasa menyerah mengikuti kemauan anak atau sebaliknya bersikap keras terhadap anak.
Orangtua harus memahami bahwa sekolah dan keluarga selalu beriringan mengisi waktu kehidupan individu anak. Keluarga bertugas menyosialisasikan nilai-nilai dasar kemanusiaan dalam hubungan yang efektif. Sedangkan sekolah lebih menekankan pada proses pembelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikianlah,  jika kita ingin melihat keluarga sebagai pilar ketahanan bangsa mampu beradaptasi dengan perubahan zaman, kita harus mau senantiasa belajar.  Dan menjadi tugas perguruan tinggi untuk menyediakan pengetahuan-pengetahuan baru tersebut dengan pengkajian, penelitian serta pengabdian kepada masyarakat berkaitan dengan keluarga secara multidisipliner dan berkelanjutan untuk mewujudkan keluarga prima yang kita cita-citakan bersama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya