SOLOPOS.COM - Pengendara sepeda motor melintas di simpang Joglo, Banjarsari, Solo, Rabu (6/12/2023). (Solopos/Joseph Howi Widodo).

Pembangunan fisik dan infrastruktur di Kota Solo dalam beberapa tahun belakangan boleh dibilang cukup pesat. Itu mendorong kemajuan signifikan aspek makro perekonomian Kota Solo. Banyak proyek besar yang dibiayai anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) di Kota Solo.

Contohnya revitalisasi Pasar Mebel Gilingan dengan anggaran dari pemerintah pusat sekitar Rp50,8 miliar. Revitalisasi Taman Balekambang dengan anggaran senilai Rp159,4 miliar. Proyek rel layang Simpang Joglo dengan dana Rp920 miliar. Revitalisasi Pasar Legi dengan nilai Rp104,3 miliar.

Promosi Iwan Fals, Cuaca Panas dan Konsistensi Menanam Sejuta Pohon

Beberapa proyek fisik di Kota Solo yang dibiayai APBN, antara lain, pembangunan viaduk Gilingan, rumah susun Putri Cempo, serta pembangunan jembatan Jurug. Saat ini masih berjalan proyek pembangunan underpass Joglo dengan anggaran mencapai Rp300 miliar.

Apakah pembangunan fisik maupun infrastruktur di Kota Solo tersebut berpengaruh terhadap kawasan penyangga, dalam hal ini adalah enam kabupaten, yang menjadi bagian dari aglomerasi Soloraya? Kota Solo tentu tidak bisa berdiri sendiri karena menjadi satu kesatuan dengan enam wilayah penyangga.

Kesatuan itu dulu jamak disebut sebagai Subosukawonosraten akronim dari Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten). Seharusnya pembangunan berbasis aglomerasi dijalankan pemerintah pusat di kawasan Soloraya.

Ketika kekuatan politik kebijakan pemerintah pusat bisa menjangkau dan menjalankan proyek pembangunan fisik dan infrastruktur di Kota Solo, seharusnya bisa pula menjalankan program yang sifatnya mencakup pemberdayaan bersama kawasan Soloraya.

Layak dipertanyakan juga sejauh mana komitmen para kepala daerah di kawasan aglomerasi Soloraya untuk maju bersama. Tentu saja ini butuh kerja sama dan kesepahaman. Tampak yang mengemuka sejauh ini adalah masih kuatnya egoisme sektoral.

Masing-masing wilayah seperti bejalan sendiri-sendiri dan pergantian kepala daerah dalam beberapa kurun waktu belakangan ternyata belum mampu menghentikan ego sektoral tersebut. Memperbarui semangat pengambangan kawasan aglomerasi Soloraya menjadi sangat penting.

Butuh komunikasi efeketif antarkepala daerah di Soloraya dan antarpemangku kepentingan teknis di masing-masing daerah. Kekuatan dan daya ”supra-Soloraya” tentu saja memegang peran penting sebagai jembatan komunikasi dan pengakselerasi kebijakan-lebijakan pengembangan berbasis kepentingan aglomerasi Soloraya.

Beberapa tahun lalu pernah dibentuk badan atau lembaga yang dimaksudkan menjadi pengakselerasi kerja sama pengembangan aglomerasi Soloraya, misalnya badan kerja sama antar-daerah (BKAD).

Badan ini dibentuk untuk mengoordinasikan kerja sama antardaerah guna menghindari persaingan ego daerah sekaligus meningkatkan keunggulan kompetitif dalam skala wilayah yang lebih luas. Ini perlu direvitalisasi.

Jangan sampai proyek berjibun yang dibiayai APBN di Kota Solo memicu kecemburuan wilayah dan menciptakan kesan daerah ini diistimewakan. Banyak kepala daerah yang kinerjanya cukup bagus, namun pembangunan infrastruktur minim lantaran keterbatasan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Kondisi inilah yang perlu menjadi perhatian pemerintah pusat sehingga ke depan perkembangan di wilayah aglomerasi Soloraya bisa berjalan beriringan dan tidak menjadi terlalu timpang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya