SOLOPOS.COM - Suasana bazar buku murah mulai Rp2.000 di halaman Perpusda Boyolali, Sabtu (30/9/2023). (Solopos.com/Ni'matul Faizah)

Pada 1 Maret 1942, pengasingan Moh. Hatta dan Sutan Sjahrir di Banda Neira berakhir. Keduanya kembali ke Jakarta menumpang pesawat terbang Catalina. Hatta bersiap dengan berpeti-peti berisi buku. Dari pengasingan ke pengasingan, Hatta selalu membawa sedikitnya 16 peti buku.

Daya tampung pesawat itu terbatas. Pilihannya adalah anak-anak atau buku yang dibawa ke Jakarta. Setelah debat antara keduanya, Hatta merelakan buku-buku kesayangannya ditinggal. Orang lebih penting daripada buku.

Promosi Iwan Fals, Cuaca Panas dan Konsistensi Menanam Sejuta Pohon

Setelah dia jadi wakil presiden,  buku-buku itu dikirim ke Jakarta. Itu cerita tentang pentingnya buku bagi Hatta. Saat diasingkan, Hatta mengatakan hanya dengan buku dia merasa bebas. Buku itu membebaskan.

Apresiasi tinggi untuk Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi yang akan mengirimkan lebih dari 21 juta eksemplar buku bacaan ke sekolah-sekolah tahun ini.

Ini bagian upaya meningkatkan minat membaca di kalangan generasi muda. Anak-anak akan “terbebaskan” melalui buku, sebagaimana Hatta. Program ini merupakan peningkatan minat membaca di kalangan siswa. Tahun 2022, buku yang dibagikan ke berbagai sekolah mencapai 15,4 juta eksemplar.

Buku bacaan itu dikirim ke sejumlah sekolah dasar di seluruh Indonesia yang memiliki tingkat literasi rendah berdasarkan hasil asesmen nasional dan daerah terluar, terpinggir, dan termiskin.

Program itu sesuai dengan program kementerian ini dan diperkuat dengan peluncuran program  Merdeka Belajar Episode Ke-23 dengan tema Buku Bacaan Bermutu untuk Literasi Indonesia. Praktik baik pemberian buku bacaan tersebut harus dilanjutkan dan ditingkatkan dengan program pencetakan dan pengiriman buku bacaan bermutu.

Program penyediaan bacaan harus menjadi arus besar kebijakan pemerintah. Dalam perumusan kebijakan sektor pendidikan harus menjadi urusan prioritas. Sesungguhnya penyediaan buku-buku bacaan bermutu adalah bagian penting dari meningkatkan kualitas dan pemerataan pendidikan di Indonesia.

Program distribusi buku-buku itu jelas baik dan layak diapresiasi, tetapi ada kebutuhan lebih mendasar yang seharusnya lekas mendapat perhatian pemerintah. Kebutuhan lebih mendasar itu adalah membangun ekosistem perbukuan yang meniscayakan buku-buku bermutu berharga murah dan bisa dibeli siapa saja dan di mana saja.

Saat ini berlaku Peraturan Menteri Keuangan Nomor 5 Tahun 2020. Aturan ini menyatakan buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama impor dan/atau penyerahannya dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN).

Buku umum yang mengandung unsur pendidikan dapat diberikan fasilitas pembebasan PPN apabila memenuhi sejumlah kriteria. Perlu kebijakan yang mendorong penyebaran buku secara merata.

Program sebar buku untuk meningkatkan literasi butuh intervensi pemerintah. Termasuk pengurangan pajak atau bahkan penghapusan pajak di sektor produksi buku-buku bacaan.

Dibutuhkan insentif untuk para penulis buku-buku bermutu agar tetap produktif dan selalu menghasilkan buku-buku berkualitas tinggi. Ini juga butuh intervensi kebijakan pemerintah. Jangan cuma ribut membahas makan siang gratis, ributkan pula kebutuhan mendesak menyediakan buku-buku bermutu yang murah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya