SOLOPOS.COM - Astrid Prihatini W.D. (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Suatu hari saya mengobrol panjang lebar dengan salah satu narasumber saya, sebut saja Bapak X. Ia yang memiliki karier cemerlang di instansi pemerintahan mengenang masa kecilnya.

Kisah klise sebenarnya. Dia terlahir dari keluarga tidak berada. Kedua orang tuanya hanya buruh tani dengan penghasilan tidak menentu.

Promosi Berteman dengan Merapi yang Tak Pernah Berhenti Bergemuruh

Anak-anaknya seperti kebanyakan keluarga dari kalangan menengah ke bawah, diminta membantu orang tua mereka bekerja.

Saat giliran anak tertua hendak kuliah, orang tua meminta si anak tertua tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Ini demi adik-adiknya dapat bersekolah minimal sampai SMA.

Menurut Bapak X, kakaknya sangat cerdas dan bercita-cita masuk ke [kala itu] Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Ketiadaan biaya menggugurkan cita-citanya itu.

“Kakak saya sangat marah, bahkan sampai tiga bulan mendiamkan orang tua sejak peristiwa tersebut,” ujar Bapak X.

Mendengar kisah tersebut, saya hanya tercenung, kehabisan kata-kata. Jujur saya sedih. Di benak saya terlintas: mengapa selalu anak sulung yang disuruh mengalah hanya demi adik-adik bersekolah dan makan?

Mengapa mereka begitu mudah menyerah? Di luar sana bisa jadi ada banyak kisah serupa dialami anak-anak sulung dari keluarga kurang mampu. Disuruh membantu orang tua bekerja dan berhenti sekolah.

Tanpa disadari, orang tua sering kali justru tidak bersikap adil terhadap anak. Orang tua acapkali membedakan perlakuan mereka terhadap anak hanya berdasarkan urutan lahir.

Anak sulung sering disuruh mengalah demi adik-adik mereka, terutama dalam hal pendidikan. Kalau saya di posisi kakak Bapak X itu, tentu saja saya juga bakal marah.

Tentu saja saya bakal bertanya kepada orang tua saya: mengapa membeda-bedakan anak seperti itu? Kenapa saya tidak boleh kuliah mewujudkan impian saya? Tentu bakal banyak pertanyaan yang saya lontarkan kepada orang tua.

Meski sama-sama terlahir dari keluarga kurang mampu seperti Bapak X, orang tua saya bersikap adil terhadap anak-anaknya. Orang tua saya tidak pernah membedakan anak berdasarkan urutan lahir.

Pada dasarnya semua anak, entah terlahir sebagai anak sulung atau bungsu, memiliki hak yang sama. Semua anak berhak mendapatkan kasih sayang, kesehatan, dan pendidikan yang layak.

Tidak ada kata si sulung cukup menempuh pendidikan sampai SMP atau SMA, sementara adik-adiknya bisa mencicipi bangku kuliah. Pemenuhan atas hak anak ini juga telah dijamin oleh undang-undang.

Pasal 1 ayat (12) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 menyatakan hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah.

Pasal 2 menjamin hak anak mendapatkan pendidikan, yaitu setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadi dan tingkat kecerdasan sesuai minat dan bakat.

Saya tahu biaya pendidikan tinggi atau kuliah memang terlihat menakutkan dan acapkali membuat orang tua dari golongan ekonomi menengah ke bawah merasa ngeri duluan. Biaya kuliah pasti semakin melambung tinggi.

Di negara maju, Singapura misalnya, perbankan menyediakan pinjaman untuk pendidikan tinggi. Mereka yang meminjam dana bisa mengembalikan saat mereka sudah bekerja kelak.

Agar hak anak  mendapatkan pendidikan tinggi tetap terjamin, mempersiapkan biaya pendidikan anak sampai jenjang kuliah memang penting.

Bagi keluarga dari kalangan menengah ke bawah dengan penghasilan tidak menentu, tentu bukan hal mudah. Si Bapak X berkisah,”Bisa makan sehari-hari saja sudah bersyukur, Mbak. Jadi, memang tidak ada dana yang bisa disisihkan untuk bekal kuliah.”

Masak iya semudah itu menyerah pada kemiskinan? Tentu saja tidak. Ibarat pepatah: ada seribu jalan ke Roma, begitu pula untuk mendapatkan biaya pendidikan kuliah.

Saya ingat, saya dulu juga hanya diberi sejumlah uang oleh orang tua untuk melanjutkan kuliah diiringi pesan harus cepat lulus. Saya hitung-hitung, dana tersebut memang hanya cukup untuk enam semester.

Itu artinya saya harus lulus dalam waktu tiga tahun. Bagi orang berotak pas-pasan seperti saya, tentu itu bukan hal mudah untuk diwujudkan. Mau nggak mau saya harus mencari uang sendiri agar bisa kuliah sampai selesai.

Alternatif pertama adalah mencari uang dengan bekerja. Ini bukan hal mudah karena harus pintar membagi waktu dan tenaga untuk kuliah dan bekerja. Alternatif lain yang lebih mudah yaitu berburu beasiswa.



Akhirnya saya menjadi pemburu beasiswa dan berhasil menamatkan kuliah berkat beasiswa. Hal serupa juga dilakukan Bapak X kala dia menempuh pendidikan tinggi di salah satu PTN.

Intinya adalah jangan mudah menyerah pada keadaan. Memenuhi hak anak untuk mendapatkan pendidikan tinggi sebenarnya sangat mudah asalkan tahu caranya. Ketiadaan biaya bukanlah penghambat karena di luar sana ada begitu banyak tawaran beasiswa.

Saat ini dari pemerintah ada beasiswa Program Indonesia Pintar (PIP), Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, Beasiswa Pendidikan Indonesia, Beasiswa Unggulan, hingga Beasiswa Indonesia Maju. Itu belum termasuk tawaran beasiswa dari instansi swasta dan perguruan tinggi.

Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim melaporkan sampai 23 November 2023 penyaluran PIP telah mencapai 100% dari target yaitu telah disalurkan kepada 18.109.119 penerima.

Setiap tahun kementerian itu menargetkan penyaluran PIP kepada 17,9 juta pelajar dengan anggaran Rp9,7 triliun. Pada tahun ini, kementerian menambah sasaran untuk jenjang SMA sebanyak 567.531 pelajar dan jenjang SMK sebanyak 99.104 pelajar.

Penambahan jumlah sasaran tersebut bersamaan dengan peningkatan satuan bantuan yang semula Rp1 juta menjadi Rp1,8 juta untuk pelajar SMA dan SMK.

Selain tawaran beasiswa yang melimpah, informasi untuk mendapatkan beasiswa dalam maupun luar negeri saat ini juga sangat mudah diakses.

Berkat Internet, kita bisa mendapatkan informasi tersebut melalui situs resmi atau media sosial seperti Instagram dan Tiktok. Bandingkan dengan era saya dan Bapak X dulu ketika masih kuliah dan belum ada internet.

Semestinya saat ini tak ada lagi cerita anak sulung harus mengalah hanya demi adik-adiknya dapat terus bersekolah.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 13 Februari 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya