SOLOPOS.COM - Mohamad Adib Rifai (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Perahu  tambangan tidak asing bagi saya yang lahir dan besar di Desa Purworejo, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi perahu tambangan berada di depan rumah orang tua saya.

Saya bisa sewaktu-waktu melihat perahu tambangan. Perahu tambangan adalah salah satu sarana transportasi bagi warga desa saya untuk menyeberang antardesa. Setidaknya ada dua desa di Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, yang dilintasi Sungai Tuntang Lama.

Promosi Kanker Bukan (Selalu) Lonceng Kematian

Perahu tambangan menjadi sarana transportasi andalan untuk mempersingkat waktu tempuh dan jarak antardesa. Contoh perahu tambangan adalah yang menghubungkan Desa Purworejo dan Desa Morodemak. Begitu pula antara Desa Purworejo dan Desa Margolinduk.

Apabila warga Desa Purworejo memilih jalur jalan utama untuk bepergian menuju Desa Margolinduk atau Desa Morodemak, mereka harus menempuh jarak kurang lebih dua kilometer.

Ketika mereka memakai jasa penyeberangan dengan perahu tambangan, hanya butuh waktu lima menit untuk menempuh jarak selebar sungai. Istilah perahu tambangan di desa saya sebenarnya merujuk pada perahu atau sampan panjang yang didayung oleh seseorang menggunakan galah.

Sang pendayung perahu tambangan ini kemudian menarik upah Rp1.000 setiap orang dan Rp2.000 bagi yang membawa sepeda motor untuk sekali menyeberang. Seingat saya, dulu ada tujuh perahu tambangan di Desa Purworejo, Kecamatan Bonang.

Perahu tambangan diberi nama atau nomor urut oleh warga setempat. Urutan nomor 1-3 adalah perahu tambangan menghubungkan Desa Purworejo dan Desa Margolinduk. Sedangkan urutan nomor 4-7 adalah perahu tambangan menghubungkan Desa Purworejo dan Desa Morodemak.

Sekarang jumlah perahu tambangan ada delapan unit. Adapun jam operasional perahu tambangan bukan seperti jam operasional kantor, tapi tergantung pekerjanya atau orang yang mendayung.

Ada dua perahu tambangan yang melayani warga hingga 24 jam, yakni perahu tambangan nomor 3 (Tentrem) dan perahu tambangan nomor 7 (CLBK). Yang menarik dari ”peradaban perahu tambangan” adalah dulu perahu tambangan ini hanya digunakan warga Desa Purworejo yang ingin menyeberang ke Desa Margolinduk atau ke Desa Morodemak.

Ketika banjir rob melanda Desa Purworejo dan sekitarnya, perahu tambangan menjadi primadona sarana transportasi. Saat banjir rob melanda desa tempat tinggal saya, air menggenang hingga setinggi lutut orang dewasa setiap hari.

Kondisi ini mengakibatkan sepeda motor milik warga mogok dan macet karena terkena air rob. Banjir rob sering muncul pada pukul 04.00 WIB—22.00 WIB atau pukul 13.00 WIB—08.00 WIB. Pasang surut air laut ini tidak pasti kapan munculnya, tapi yang pasti banjir rob selalu muncul.

Jalan raya yang kerap kali terlanda rob menjadi semakin licin dan rusak. Seingat saya, banjir rob ini melanda desa saya sejak 2019 hingga sekarang. Alhasil, sarana transportasi darat seperti angkutan umum lumpuh.

Beberapa unit mobil angkutan umum yang menerobos banjir rob banyak yang berakhir mogok dan rusak. Banjir rob ini juga membawa konsekuensi naiknya tarif angkutan umum. Tarif normal angkutan dari desa ke ibu Kota Kabupaten Demak adalah Rp5.000 per orang.

Ketika banjir rob melanda, tarifnya melejit menjadi Rp20.000 per orang. Akibatnya banyak  warga memilih naik sepeda motor daripada naik angkutan umum.

Di sisi lain, warga kemudian memanfaatkan perahu tambangan untuk mengantarkan mereka sembari membawa sepeda motor menerjang banjir rob lewat rute Desa Morodemak dan Desa Margolinduk.

Mereka lebih rela kehilangan uang ribuan rupiah daripada sepeda motor rusak atau mogok terkena air rob. Ini jamak dilakukan warga Desa Purworejo yang hendak menyeberang ke Desa Morodemak atau ke Desa Margolinduk.

Berbeda dengan di desa saya, jalanan di Desa Morodemak dan Desa Margolinduk lebih tinggi sehingga banjir rob yang melanda di sana tidak terlalu dalam.

Bagaimanapun, keberadaan perahu tambangan sangat membantu warga terutama saat banjir rob melanda desa tempat tinggal saya atau wilayah sekitarnya.

Selain itu, para pendayung perahu tambangan juga bisa mendapatkan keuntungan tiga sampai lima kali lipat dibanding hari-hari biasa. Meskipun begitu, para pendayung perahu tambangan tidak menginginkan banjir rob memasuki desa mereka.

Kami berharap para pemangku otoritas wilayah segera menemukan solusi untuk mengatasi banjir rob ini. Peradaban perahu tambangan adalah ”sisa-sisa” transportasi tradisional berbasis sungai di desa saya. Banjir rob adalah dampak alam yang tidak dikehendaki warga, tetapi tak bisa dihindari.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 5 September 2023. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya