SOLOPOS.COM - Abu Nadzib (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Negeri ini pernah dihebohkan dengan konflik cicak versus buaya hingga tiga jilid yang menggambarkan perseteruan dua institusi penegak hukum yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versus Kepolisan Negara Republik Indonesia (Polri).

Cicak adalah simbol untuk KPK sedangkan buaya sebutan untuk Polri. Istilah cicak versus buaya muncul kali pertama dari mulut Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri—saat itu—Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji pada Juli 2009.

Promosi Primata, Permata Indonesia yang Terancam Hilang

Perseteruan berawal dari penyadapan KPK terhadap Susno Duadji terkait pencairan dana nasabah Bank Century, Boedi Sampoerna. Puncak konflik adalah aparat Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri menahan dua Wakil Ketua KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Martha Hamzah.

Mereka ditahan dua pekan lalu dua pimpinan KPK dibebaskan setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan. Langkah deponering (mengesampingkan perkara) ditempuh demi ketertiban umum. Kasus dihentikan.

Tiga tahun kemudian kasus cicak versus buaya kembali terjadi, yaitu pada awal Oktober 2012. Kasus dipicu langkah KPK mengusut korupsi pengadaan simulator ujian pembuatan surat izin mengemudi (SIM) yang menjerat Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo.

Situasi panas. Pada 5 Oktober 2012, puluhan anggota Brigade Mobil (Brimob) Polri mengepung Gedung KPK untuk  menangkap penyidik KPK Novel Baswedan. Novel dituduh menganiaya tersangka saat bertugas di Polda Riau pada 2004.

Aktivis antikorupsi membela KPK dengan membuat pagar betis di Gedung KPK. Tiga hari kemudian Presiden SBY turun tangan lagi. Sama seperti sebelumnya, kasus itu akhirnya distop demi ketertiban umum.

Cicak versus buaya muncul lagi pada era Presiden Joko Widodo, yaitu pada 2015. Sebelas hari setelah KPK menetapkan calon Kepala Polri Komisaris Jenderal Polisi Budi Waseso sebagai tersangka kasus suap, kepolisian menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjajanto atas tuduhan pemalsuan identitas.

Presiden Jokowi turun tangan dan kasus itu berakhir. Saat ini konflik KPK versus Polri kembali terjadi. Ketua KPK Firli Bahuri berseteru dengan Polri, khususnya Polda Metro Jaya, dalam kasus dugaan pemerasan terhadap Syahrul Yasin Limpo saat menjabat Menteri Pertanian.

Publik sekarang seolah-olah tak mau tahu. Tak ada lagi yang menyebut ini cicak versus buaya. Dulu semua komunitas gerakan antikorupsi ramai-ramai memberikan dukungan kepada KPK untuk melawan Polri karena dianggap Korps Bhayangkara itu yang bermasalah.

Sekarang suasananya berbeda. Publik tak lagi respek kepada KPK. Keputusasaan publik dimulai dari revisi Undang-undang tentang KPK yang melemahkan lembaga pemberantas korupsi itu dan berlanjut dengan terpilihnya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK.

Firli Bahuri adalah jenderal bintang tiga Polri yang pernah menjadi Deputi Penindakan KPK pada 2018-2019. Sosoknya penuh kontroversi. Lelaki yang kini telah pensiun dari Polri itu identik dengan pola hidup mewah.

Salah satu deputi KPK saat berkunjung ke Griya Solopos beberapa tahun silam pernah mengeluhkan perilaku Firli Bahuri yang ketika itu masih menjabat Deputi Penindakan.

Firli membawa gaya hidup mewah saat masih di Polri ke KPK. Contohnya adalah suka merayakan hari ulang tahun dengan pesta. Kebiasaan ini jelas bertolak belakang dengan kebiasaan para karyawan KPK yang identik dengan gaya hidup sederhana.

Keluhan itu akhirnya terbukti beberapa tahun kemudian. Tak lama setelah terpilih sebagai Ketua KPK, Firli Bahuri memicu kontroversi karena menyewa helikopter dalam salah satu kunjungan ke daerah. Firli dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK

Ia hanya mendapat sanksi teguran tertulis. KPK era Firli Bahuri memang lebih banyak kontroversinya. Ia pernah menjemput seorang saksi kasus korupsi, beberapa kali menemui pihak yang sedang beperkara di KPK, hingga menyewa sebuah safe house dengan harga miliaran rupiah per tahun.

Dalam perspektif saya, kasus Firli menarik karena Polda Metro Jaya begitu getol mengusut, bahkan lebih aktif dibandingkan lembaga di atasnya, yakni Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri.

Firli sempat mengelak beberapa kali dari panggilan Polda Metro Jaya. Ujungnya bisa ditebak, ia ditetapkan tersangka kasus pemerasan terhadap Yasin Limpo. Hingga esai ini saya tulis ia belum ditahan kendati ancaman hukuman untuknya lebih dari empat tahun.

Yang menarik dalam perspektif saya (dan mungkin juga perspektif publik) adalah kegencaran Polda Metro Jaya menjerat Firli Bahuri. Firli awalnya hanya mau diperiksa di Markas Besar Polri dan bukan di Markas Polda Metro Jaya. Ada apakah gerangan?

Ini yang memunculkan tanda tanya besar. Belakangan tanda tanya itu mulai menemukan jawaban. Versi KPK, Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Polisi Karyoto adalah Deputi Penindakan KPK pada 2020 saat kasus dugaan korupsi di Kementerian Pertanian dilaporkan kepada KPK.

Laporan korupsi itu tidak pernah berlanjut ke penyidikan. Perkara baru mulai diproses pada awal 2023 ketika Deputi Penindakan dijabat Brigadir Jenderal Polisi Asep Guntur. Ada apa di KPK sehingga laporan dugaan korupsi di Kementerian Pertanian yang dilaporkan sejak 2020 mandek hingga tiga tahun?

Apa peran Karyoto hingga laporan itu tak berlanjut ke penyidikan? Apakah ia bermain-main dalam kasus ini? Pertanyaan-pertanyaan ini masih menunggu jawaban. Waktulah yang akan membuktikan. Saat ini publik disuguhi perang dua jenderal polisi, Firli Bahuri dan Karyoto.

Firli dalam posisi terjepit karena menyandang status tersangka kasus pemerasan. Karyoto di atas angin, memimpin penyidikan atas perkara yang membelit koleganya tersebut.

Kecuali nanti ada bukti yang menjerat Karyoto soal kemandekan laporan dugaan korupsi di Kementerian Pertanian sejak 2020 ketika dirinya menjabat Deputi Penindakan KPK. Kita tunggu saja. Semua yang kotor harus dibersihkan.



(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 30 November 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya