SOLOPOS.COM - Ahmad Kurnia Sidik (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Kemajuan zaman rupanya tak membawa serta kampanye di dalamnya. Kampanye bergeming dengan pola sama dari tahun ke tahun. Entah karena tak mau atau tak tahu caranya berubah, padahal pola lain dari kehidupan hampir seluruhnya berubah.

Kita ingat beberapa tahun belakangan, mulut kita diajari untuk fasih mengucap beragam kata yang menunjukan kecanggihan zaman. Mata dan telinga kerap melihat dan mendengar ajakan untuk menggunakan sesuatu yang asing dengan dalih demi mangkus dan sangkilnya pola hidup kita.

Promosi Mimpi Prestasi Piala Asia, Lebih dari Gol Salto Widodo C Putra

Wajar kita berharap Pemilu 2024 ini didahului dengan pola kampanye yang berbeda pula, termasuk memanfaatkan hasil kecanggihan zaman itu demi mangkus dan sangkilnya kampanye Pemilu 2024.

Rupanya kita masih harus melihat alat peraga kampanye tercecer di jalanan yang menampilkan potret wajah-wajah tersenyum dengan warna latar belakang yang khas lima tahunan.

Tak ketinggalan nama, nomor partai, dan lambang partai. Beberapa disertai ilustrasi hasil adopsi surat suara sekadar untuk menunjukkan posisi nama si pemilik wajah. Alat peraga kampanye tercecer bukan hanya di sepanjang jalan utama kota, namun juga jalan sempit dalam gang menuju pelosok permukiman.

Agaknya, hanya jalan buntu yang mampu menahan laju persebaran alat peraga kampanye itu. Bentuk dan ukurannya beragam. Bukan menarik perhatian, alat peraga kampanye justru mengganggu pemandangan. Kita tak mendapatkan apa pun selain yang sudah saya sebutkan.

Tak ada gagasan. Akhirnya, alat peraga kampanye tak memiliki fungsi selain penanda bahwa hari pemilu semakin dekat. Kampanye menggunakan alat peraga yang mengedapankan lambang semata, entah dalam bentuk bendera, baliho, spanduk, dan sebagainya, bukan hal baru.

Kita bisa melihat cara bermain dan manfaatnya untuk kemudian membandingkan. Dalam buku Pemilihan Umum di Indonesia Tahun 1955, Herbert Feith mencatatat bahwa pameran lambang dalam kampanye pemilu ada sejak 1954.

Yang menjadi tengara awal adalah pengesahan lambang partai politik oleh Panilita Pemilihan Indonesia pada 31 Mei 1954. Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah yang pertama memahami betapa penting memanfaatkan lambang secara masif guna menghimpun suara.

Partai ini sempat mengajukan palu-arit selain sebagai lambang PKI juga sebagai lambang orang-orang tak berpartai yang kemudian menimbulkan perdebatan dan menambah repot menteri dalam negeri masa itu.

Beragam cara yang digunakan PKI dalam memaradekan lambang boleh dikatakan sangat kreatif sekaligus agresif. Mereka mampu memanfaatkan hal-hal sederhana, seperti layang-layang, sampan, ornamen pertunjukan, dan lainnya yang mungkin tak terpikirkan oleh kompetitor.

Sesekali mengadakan pesta rakyat berhari-hari yang semarak akan lambang. Hal ini membuat mereka unggul sejak awal dan tanpa tanding hingga akhir sekaligus memberi kesan seolah-olah partai yang terkaya dan memiliki pengikut sangat besar.

Keagresifan bisa kita baca pada catatan pengamat masa itu, Boyd Compton, di buku Kemelut Demokrasi Liberal. PKI menempelkan ribuan poster lambang partai ini di wilayah orang-orang antikomunis.

“Kalau poster-poster itu dirobek, esok harinya muncul lagi,” kata Compton. Hal ini kemudian membuat Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang sebelumnya hanya agresif dalam rapat akbar merasa tertantang dan memulai perang lambang dengan PKI.

Partai politik lain yang urun kekacauan dalam perang lambang adalah Partai Sosialis Indonesia (PSI). Partai yang konon jadi rumah intelektual ini memaradekan lambang secara oportunis dengan menempelkan lambang-lambang kepercayaan masyarakat di berbagai daerah ke lambang bintangnya.

Kendati demikian, tetap tak semasif PKI dan Masyumi karena PSI lebih fokus memanfaatkan pers. Partai Nasional Indonesia (PNI) lain lagi. Mereka tak terlalu bersemangat untuk terlibat, apalagi Nahdlatul Ulama (NU), yang menurut Feith, selain karena kemiskinan partai, lambangnya juga terlalu rumit untuk dicetak dalam bentuk dan jumlah yang besar.

Sebagai gantinya, kedua partai itu membagikan lambang partai dalam bentuk kartu. Dampak dari perang lambang yang menghabiskan dana sangat besar bagi PKI dan Masyumi itu dalam catatan Feith mengakibatkan di mana-mana terdapat peragaan lambang partai.

Lambang-lambang ini sebagian disertai semboyan partai di bagian atasnya, sebagian hanya mencantumkan nama partai, sebagian lagi tanpa keduanya, dipasang di jalan-jalan kota dan desa, pada rumah-rumah pribadi, dan bangunan umum, pada bus-bus dan pohon-pohon, iklan di bioskop, di kalender, dan lampu-lampu desa.

Sampai di sini kita tahu suasana kampanye pemilu tahun 1955 rupanya sama dengan tahun 2024. Alat peraga kampanye, baik bentuk maupun isinya, kalau kita paksakan untuk mencari apa yang berubah hanya akan didapatkan bahwa yang sekarang terdapat potret wajah dan dicetak dengan cara modern. Tak lebih.

Penting pula diketahui faktor-faktor lain yang mendorong terciptanya perang lambang itu. Pengalaman pemilu sebelum tahun 1955 hanya dirasakan oleh masyarakat Minahasa (14 Juni 1951) dan Yogyakarta (16 Juli dan 15 Oktober 1951), sementara mayoritas masyarakat Indonesia lainnya tak punya pengalaman dan menganggap pemilu tahun 1955 adalah yang pertama dalam sejarah mereka.

Hal ini mengakibatkan ketidaktahuan mereka tentang apa itu pemilu, bagaimana cara memilih, dan siapa yang harus dipilih. Dibutuhkan pendidikan politik bagi mayoritas masyarakat demi kesuksesan pemilu.

Pada saat yang bersamaan keterbatasan media komunikasi masa itu menjadi aral tak kecil yang menghambat proses pendidikan politik. Mayoritas masyarakat yang tak berpengalaman itu juga buta huruf.

Edward Smith mengabarkan hanya 15% hingga 20% masyarakat Indonesia yang melek huruf pada 1950-an. Saking besarnya angka buta huruf, pemilu tahun 1955 akhirnya dilaksanakan oleh penyelenggara dan pengawas yang juga buta huruf pada tingkatan terbawah.

Tak mengherankan, alat peraga kampanye yang mengedepankan lambang masa itu menemukan fungsi dan memang diperlukan untuk pendidikan politik. Setidaknya mayoritas masyarakat yang buta huruf itu tahu siapa yang harus mereka pilih.



Dalam hal ini pula, totalitas PKI tak sia-sia. Kita boleh mengatakan partai yang beberapa tahun sebelumnya terlibat pemberontokan itu bisa nangkring di posisi empat besar pada pemilu tahun 1955, salah satu sebabnya karena keberhasilan mereka memanfaatkan lambang secara luas dan merata.

Berkebalikan dengan PSI yang fokus memanfaat pers di kota. Demiliam pula partai lainnya, dalam catatan Feith, yang besar kekuasaannya sebelum pemilu, tetapi kehilangan kekuasaan setelah pemilu karena memaradekan lambang hanya melalui poster tempel terbatas di kota dan tak menyentuh desa.

Akhirnya, pada 2024, kita masih melihat alat peraga kampanye tercecer dan hanya mengedepankan lambang semata, sama dengan tahun 1955. Apakah artinya kita masih dianggap buta huruf, tak berpengalaman, atau tak butuh gagasan oleh para calon wakil rapyat dan calon pemimpin negara? Saya tak tahu.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 5 Februari 2024. Penulis aktif di komunitas Lingkar Baca Sawang Gantung di Kota Solo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya