SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Fathorrazi, Penulis tinggal di Jogja

Sampai saat ini, saya masih menyayangkan jika seluruh alur perbedaan pemikiran dianggap sebuah rahmat, sesuai term hadis ikhtilafu ummati rahmatun yang tidak diakui kesahihannya (mursal) sebagai dalih agar ruang pemikiran yang satu tidak dilibas habis dengan pemikiran lainnya. Diakui atau tidak, perbedaan pendapat memang telah lama berseliweran di zaman Rasul. Kala itu Rasul sebagai penengah setiap persoalan yang membelit para sahabatnya.
Bagaimana setelah wafatnya Rasul? Apakah ruang perbedaan itu masih alot hingga sekarang? Jawabannya adalah persinggungan, silang pendapat masih kerap terjadi hingga sekarang, khususnya ketika mengkaji seputar kajian Hukum Islam, seperti alquran, hadis, fikih atau disiplin ilmu pengetahuan lainnya.
Saya sendiri tidak menyalahkan ketika ada perbedaan pendapat karena secara natural manusia telah diberikan kelebihan yang ditentukan-Nya. Begitu pula terdapat kekurangan yang sejatinya bersentuhan dengan pemikir lainnya. Dari situlah nuansa warna silang pendapat menjadi pelengkap dan bebas menegaskan argumentasinya (selama tidak mengumbar kebohongan).
Meretaskan pendapat di tengah nuansa perbedaan pandangan dengan tidak bermaksud memasung apalagi memarginalkan berarti toleran dan patut diacungi jempol. Ini tidak lain bentuk semarak produktivitas serta kreativitas para pemikir di bidangnya yang dapat memberikan ruang tawaran dengan gaya atau intensitasnya masing-masing.
Di sisi lain, saya juga tidak suka jika terlalu dibisingkan dengan term hadis ikhtilafu ummati rahmatun tersebut. Mengapa? Karena term ikhtilaful fikr kemungkinan dibuat seolah-olah sebagai benteng penyelamat dari serangan kritik agar tidak mudah disanggah atau takut dijadikan sampah intelektualitas (apa benar yang dikatakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam menyelesaikan masalah realita pernak-pernik kehidupan yang ada?).
Saya akui bahwa manusia memiliki perbedaan. Antara satu dan lainnya tidak sama (alur nalarnya maupun sikapnya). Karakternya juga berbeda. Tak salah jika setiap individu memiliki akal untuk berpikir. Tentu saya amat setuju. Menurut saya, akal adalah ikon kedua setelah muka. Segala macam yang akan kita kerjakan, akal yang digunakan agar hal yang diinginkan, dibutuhkan, dapat terealisasi dengan wujud  nyata.
Dalam pada itu, persoalan bedah-membedah, teliti-meneliti, tafsir-menafsiri menjadi selimut bagi tiap individu yang ingin menggeluti kajian dunia studi Islam maupun ilmu pengetahuan lainnya. Ini untuk membedah setiap hal yang perlu diamati, diteliti, maupun untuk ditafsir guna memberikan reaksi positif menyangkut hal yang sifatnya normatif maupun secara rasional dan lain-lain.
Oleh karena itu, Allah SWT menciptakan manusia sebagai makhluk sempurna di antara makhluk lainnya di muka bumi. Dengan akal, manusia memiliki daya tangkap yang berbeda dan bisa membedakan mana yang terbaik dan mana yang terburuk dalam memilih atau memilah sesuatu hal. Manusia bisa menentukan mana yang memberikan dampak positif demi menangkal dampak negatif yang dapat memasung manusia dalam kubangan kerugian.
Timbulnya persoalan salah satunya karena ingin menemukan suatu yang mengganjal untuk ditelusuri lebih mendalam. Maka dari itu, masing-masing individu manusia dapat saling bersentuhan dengan sejumlah pemikiran dan argumentasi dari individu lainnnya. Tidak adanya kesepahaman, muncul pertentangan atau bahkan perbedaan haluan berpikir memunculkan persinggungan dan perselisihan pendapat dalam meretaskan gagasannya.
Tidak heran kiranya ketika kita manusia dapat menilai dan mulai berpendapat bahwa apa yang dipikirkan berlainan dengan apa yang dirasakan. Sebagai manusia dapat membuncahkan suatu hal (ijtihadnya dalam mengurai permasalahan) dengan pendapat masing-masing yang berbeda. Baik itu masalah atau keinginan, kehendak yang mengitari waktu, keadaan, maupun tempat, di mana pun manusia dapat memberikan pendapat atau pun nilai yang berharga; demi memberikan saran, kritik maupun masukan.

Promosi Ijazah Tak Laku, Sarjana Setengah Mati Mencari Kerja

Bebas Berekspresi
Pendapat manusia yang dituangkan lewat ucapan (lisan) ataupun tulisan (kutub) tak selamanya dijadikan kebenaran multak (nisbi) bagi pendapat yang lain, apalagi ketika ia memublikasikan atas kebenarannya sendiri. Akal manusia tidaklah sempurna karena atas batas kekurangan dan kelebihan yang telah menjadi kodrat baginya.
Rasulullah menerima wahyu Alquran untuk kepentingan umat manusia di dunia. Rasulullah juga meninggalkan sunah, tapi tetap saja silang pendapat itu berkembang hingga saat ini. Baik itu berupa kajian dari para ulama, umara, maupun tokoh yang masyhur di era kontemporer maupun modern, yang tetap memiliki pandangan yang berbeda. Namun, perbedaan itu bisa berujung persamaan dalam mengaitkan dirinya dengan pendapat yang lain jika ada hal yang sealur dengan pengetahuan telah diketahuinya.
Intinya, manusia itu sama dari segi spiritual (meyakini akan keyakinannya sendiri), walapun dari segi EQ dan IQ-nya berbeda. Berlainan pendapat bukan untuk mengklaim, untuk menyesatkan seseorang atau gampang mengafirkan pemikiran seseorang. Apalagi seseorang tersebut berkeyakinan terhadap pemikirannya sendiri selama seseorang tersebut memendamnya dalam dirinya dan tidak untuk disebarkan.
Jika pada akhirnya ada perbedaan yang menimbulkan hal yang menyesatkan maupun bisa saja mengafirkan seluruh manusia, kenapa tidak dilalui dengan ruang diskusi atau debat yang menyehatkan, sehingga tidak membenarkan diri sendiri (legitimasi) dan dengan gampangnya menyalahkan atau mendiskreditkan pendapat orang lain yang justru sengaja ingin menjerumuskan ke dalam ruang adu domba.
Akhirnya, setiap pemikir tentu bebas berekspresi dengan uslub yang sudah mendarah daging sehingga hidup penuh warna. Akan tetapi, itu ada batasan-batasannya. Semoga jargon yang bertermkan  perbedaan itu rahmat,  sejatinya tidak berdasar alasan untuk mendistorsikan kebenaran yang ada dan tidak boleh menjebloskan orang lain ke kubangan adu domba apalagi sengaja membuang ketidakmengetian orang lain (awam) ke dalam lahan yang sesat-menyesatkan. Ini hanya analisis kecil saya. Selebihnya, wallahu a’lam bish-shawabin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya