SOLOPOS.COM - Indah Noviariesta (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Saya  baru mengenal namanya ketika tercantum sebagai salah seorang pengagum pemikiran Soekarno dalam buku 100 Tahun Bung Karno (Liber Amicorum Bung Karno) yang diterbitkan oleh Hasta Mitra, Jakarta (2001).

Dalam buku fenomenal itu, Fransisca Fanggidaej disandingkan dengan Noam Chomsky, Peter Dale Scott, Ben Anderson, Pramoedya Ananta Toer, Hersri Setiawan, hingga Hafis Azhari. Pada usianya yang masih muda (22 tahun), Fransisca Fanggidaej pernah mengikuti kongres International Union of Students (1947).

Promosi Uniknya Piala Asia 1964: Israel Juara lalu Didepak Keluar dari AFC

Dari Yogyakarta, ia terbang menuju Praha, kemudian melanjutkan perjalanan menuju London (Inggris) untuk bergabung dengan para demonstran yang menentang bantuan tentara Inggris (sekutu) dalam agresi militer Belanda di Indonesia.

Sepulang dari London, Fransisca diminta oleh Presiden India, Jawaharlal Nehru, agar bergabung bersama panitia Konferensi Pemuda Pelajar se-Asia Tenggara atau Southeast Asian Youths and Students Conference).

Di forum-forum internasional, Fransisca banyak memperkenalkan pemikiran Soekarno tentang kedaulatan Indonesia, antikolonialisme dan anti-imperialisme. Ia tak segan-segan menjadi sukarelawan untuk mendidik masyarakat tentang pentingnya kemerdekaan Republik Indonesia.

Ia berkeliling menuju Sumatra, Sulawasi, hingga Kalimantan untuk mengedukasi dan memberikan pemahaman tentang pentingnya hidup di alam merdeka. Kalau rakyat berdiam diri dan begitu lama dijajah dan dibodohi, mereka akan percaya bahwa kita ini bodoh dan tak sanggup mengurus diri sendiri. Dmikian orasi Fransisca di hadapan publik.

Sejarawan Ita Fatia Nadia pernah mengutip kata-kata Fransisca perihal pentingnya mengadakan ”sanering” atas karya-karya eksistensialisme Barat semisal Jean-Paul Sartre, Albert Camus, atau Simone de Beauvoir.

”Kalian boleh membaca buku yang mereka tulis, tapi kalian tidak boleh ikuti seluruh perkataan mereka. Kalian perlu merumuskan pemikiran sendiri berdasarkan konteks di mana kalian tumbuh!” kata Fransisca.

Pada tahun 1950-an, Fransisca juga aktif di dunia jurnalistik Indonesia. Ia turut serta menyemarakkan semangat sosialisme Indonesia yang waktu itu istilah ”sosialisme” begitu rawan dan riskan untuk diucapkan.

Masyarakat masih menggunakan istilah ”sosialisme ala Indonesia”, namun kemudian terjadi kesepakatan di kalangan wartawan untuk langsung menuliskan ”sosialisme Indonesia” berdasarkan pidato Prseiden Soekarno yang menyejajarkan dengan istilah ”humanisme Indonesia”.

Istilah itu jelas berbeda dengan maraknya frase ”sosialita” akhir-akhir ini yang mengidentikkan kaum perempuan dan laki-laki yang membanggakan hidup mewah dan konsumtif belaka. Fransisca yang berjiwa Kartini justru memanfaatkan setelah proklamasi kemerdekaan untuk mendirikan kelompok jurnalis perempuan Asia-Afrika.

Ia kemudian terlibat merumuskan konferensi trikontinental, antara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Itulah yang kemudian membuat Presiden Soekarno mengangkat dia menjadi anggota DPR-GR/MPRS di Komisi Luar Negeri.

Dalam buku Memoar Perempuan Revolusioner (Hersri Setiawan), Fransisca juga dikenal sebagai juru bicara yang andal. Ia disebut-sebut sebagai kawan seperjuangan Nelson Mandela, Che Guevara, hingga Fidel Castro.

Diceritakan mengenai peristiwa menarik pada 2001, ketika usia Fransisca sudah di atas 80-an tahun dan tinggal di negeri Belanda. Ia menyempatkan diri terbang ke Afrika Selatan untuk menghadiri konferensi internasional anti-apartheid.

Saat itu ia hadir sebagai pengunjung biasa. Hanya ingin menyaksikan antusiasme masyarakat Afrika pada acara tersebut. Di panggung ada Nelson Mandela, Fidel Castro, dan para aktivis yang sudah lanjut usia seperti dirinya.

Tiba-tiba ada anggota panitia yang mengetahui kehadiran Fransisca yang menonton acara tersebut. Ia pun diminta segera tampil di panggung, menyampaikan orasi bersama para aktivis lainnya.

Terkait dengan ini, penulis muda Felix K. Nessi (Orang-orang Oetimu) berencana mengajak para aktivis dan pemuda di Nusa Tenggara Timur (NTT) agar mencatatnya dalam kenangan abadi. Bagaimanapun, Fransisca Fanggidaej adalah perempuan revolusioner kelahiran NTT.

Ayahnya dari Rote, ibunya dari Noelmina. Ia adalah saksi sejarah pergerakan sosialisme Indonesia, aktivis kemanusiaan, dan pengagum pemikiran Soekarno yang nama besarnya diabadikan dalam buku Liber Amicorum Bung Karno (Hasta Mitra).

“Indonesia adalah negara saya, Timor adalah negeri saya!” kata-kata ini yang selalu keluar ketika Fransisca mendapat kesempatan berorasi di panggung internasional. Ia memiliki kakak perempuan bernama Delly Fanggidaej yang juga kelahiran NTT.

Delly dikenal sebagai perempuan diplomat Indonesia untuk Belgia dan juga pernah mewakili kelompok pemuda Timor dalam Kongres Pemuda Indonesia pertama di Yogyakarta (1945). Selama tiga dekade kekuasaan militerisme Orde Baru, Delly maupun Fransisca sama-sama ditenggelamkan dalam catatan sejarah Indonesia.

Sebagaimana yang tertuang dalam cerita pendek Rosi dan Orang-orang Sinting (www.radarntt.co), selaku generasi muda Indonesia yang hidup pada era milenial, seakan-akan saya hanya diperkenalkan Orde Baru perihal sejarah yang ditulis oleh Dr. Majid Tohir, Ustaz Mahmud Sukmara, dan Profesor Sodik Sitompul.

Saya mulai melacak nama-nama mereka dalam berbagai literatur. Siapa mereka itu? Kalaupun ketiga pakar dan tokoh itu memang ada, sepertinya generasi muda tak peduli lagi pada karya-karya mereka. Biarpun karya mereka digerogoti oleh rayap-rayap pemakan kertas.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 28 April 2023. Penulis adalah aktivis Gerakan Membangun Nurani Bangsa atau Gema Nusa)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya