SOLOPOS.COM - Yohanes Bambang Srinugroho

Yohanes Bambang Srinugroho (JIBI/SOLOPOS/ist)

Saat ini Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pemakaman di Kota Solo sedang dibahas oleh Pansus DPRD Kota Solo. Isu yang menarik dari pembahasan Raperda ini adalah mengenai makam tumpuk dan pembongkaran cungkup serta kijing untuk mengoptimalkan lahan akibat keterbatasan area permakaman.

Promosi Pramudya Kusumawardana Bukti Kejamnya Netizen Indonesia

Makam yang sudah tidak diurus oleh ahli waris dalam kurun waktu tertentu akan diambil alih Pemkot untuk digunakan sebagai makam jenazah baru dan satu liang kubur dapat diisi satu keluarga atau keluarga yang lain bisa ikut menumpang asalkan mendapatkan izin dari keluarga pihak pertama. Bangunan cungkup serta kijing akan dibongkar. Pemikiran ini dilatarbelakangi kekhawatiran terhadap keterbatasan lahan tempat permakaman umum (TPU) dan terinspirasi Perda Provinsi DKI Jakarta No3/2007 yang mengatur masalah permakaman tumpang dan penataan makam sebagai salah satu solusi untuk mengatur krisis lahan permakaman. Mungkin bagi daerah yang laju pertumbuhan pembangunannya tidak sepesat Jakarta ada yang berpendapat keterbatasan/krisis lahan untuk kuburan dapat diatasi sepanjang tersedia dana; yaitu dengan cara memperluas lahan di sekitar permakaman lama atau membeli lahan baru (ekspansi) ke daerah tetangga.

Sesungguhnya tak sesederhana seperti itu karena sangat tergantung ketersediaan lahan di wilayah tersebut dan peraturan penataan ruang daerah setempat. Lahan produktif atau lahan yang peruntukan ruangnya berfungsi sebagai permukiman kurang layak apabila akan dimanfaatkan sebagai lahan permakaman. Pengaturan makam tumpuk sangat realistis karena luas wilayah Kota Solo sangat terbatas dan tidak mungkin bertambah atau ditambah, sedangkan manusia yang meninggal pasti akan bertambah.

Cungkup serta kijing yang pada kenyataannya banyak memboroskan lahan ikut andil terhadap krisis lahan permakaman di Kota Solo. Hal ini masih ditambah isu bahwa dua TPU yang dikelola Pemkot Solo yang berada di Kabupaten Sukoharjo, yaitu TPU Daksinoloyo dan Pracimaloyo akan diminta/diambil alih oleh Pemkab Sukoharjo. Ini hal yang serius untuk segera diselesaikan sehingga ditemukan solusi krisis tempat permakaman di Kota Solo.

Bila kita hitung secara empiris, Pemkot Solo harus menyediakan lahan permakaman seluas minimal 116 hektare atau 2,63% dari luas wilayah kota (4.404 hektare) untuk penduduk Solo yang jumlahnya 530.000 jiwa. Sekarang ini, menurut data Surakarta Dalam Angka Tahun 2009, lahan tempat permakaman (kuburan) yang tersedia adalah 88,08 hektare (2%), jadi masih kurang 0,63% atau seluas 27,92 hektare. Untuk mencari lahan seluas ini di Kota Solo sangat sulit, bahkan tidak mungkin, karena sebagian besar peruntukan dan tata guna lahan berfungsi sebagai permukiman. Perhitungan tersebut tentu saja merupakan perhitungan sederhana yang belum memperhitungkan pertambahan penduduk. Tentu kebutuhan akan tempat permakaman (baca: kuburan) adalah berbanding lurus dengan jumlah penduduk yang meninggal. Jelas tidak mungkin pengadaan tanah permakaman berkembang sejalan dengan populasi penduduk. Masalah ini sudah barang tentu harus diikuti dengan dukungan program lintas sektoral, seperti program keluarga berencana (KB), kependudukan dan lain sebagainya.

Permakaman swasta
Kota Solo punya kuburan partikelir (swasta) seperti pamijen , bong Cina, dan kuburan Kristen/Katolik yang memanfaatkan ruang kota. Pengelolaan permakaman ini dilakukan oleh swasta yang tentunya harus mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Sedangkan pembinaan oleh Pemkot sampai dengan saat ini belum diketahui sejauh mana. Sekarang ini Pemkot Solo dihadapkan pada persoalan krisis lahan permakaman, sehingga sudah selayaknya keberadaan lahan pemakaman swasta ikut diatur dalam Raperda ini.

Menurut UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, pemerintah daerah punya kewenangan dalam mengatur, membina, melaksanakan dan mengawasi pemanfaatan ruang. Dan menurut Keppres No 34/2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, pemerintah kabupaten/kota diberikan kewenangan sebagian urusan pemerintah di bidang pertanahan di daerah, antara lain pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong, perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota, penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat, pemberian izin lokasi dan sebagainya.

Jadi berdasarkan ketentuan tersebut sudah selayaknya apabila Pemkot mengatur kembali pemanfaatan ruang untuk kuburan swasta di Kota Solo supaya kekhawatiran terhadap krisis lahan permakaman dapat terjawab. Dengan pengaturan masalah TPU yang dikelola Pemkot dan permakaman swasta, diharapkan akan memberikan solusi tidak hanya pada krisis lahan permakaman tetapi juga terhadap ruang terbuka hijau kota yang masih kurang dan tidak maksimal.
Sudah saatnya Pemkot merencanakan penyediaan tanah untuk ruang terbuka hijau 30% dari luas wilayah sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang . Permakaman yang berfungsi sebagai ruang terbuka hijau harus dimaksimalkan menjadi lahan yang hijau, oleh karena itu cungkup dan kijing yang pada hakikatnya hanya menambah kepadatan bangunan dalam pemanfaatan ruang dan tidak selaras lagi dengan kebutuhan lingkungan hidup sudah selayaknya dibongkar agar persentase ruang terbuka hijau dan resapan air dapat maksimal.

Mungkin ada baiknya Pemkot Solo mengadakan semacam penataan makam sambil memaksimalkan lahan yang ada, dan perlu juga dikaji kembali keberadaan lahan-lahan bekas kuburan yang telah ditutup maupun yang telah dipindahkan ke luar kota yang sampai sekarang belum jelas pemanfaatannya. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dalam mengurai permasalahan keterbatasan lahan permakaman di Kota Solo yang sedang dibahas.

Yohanes Bambang Sri Nugroho, mantan Kepala Dinas Tata Ruang Kota Solo

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya