SOLOPOS.COM - Anggota Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi mengenakan topeng Firli Bahuri (kanan) dan Syahrul Yasin Limpo (kiri) saat aksi bersama di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (23/11/2023). Aksi tersebut sebagai dukungan kepada kepolisian untuk terus mengungkap kasus dugaan pemerasan oleh Ketua KPK Firli Bahuri terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. (Antara/Asprilla Dwi Adha)

Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo dalam sebuah acara gelar wicara di sebuah stasiun TV mengatakan Presiden Joko Widodo meminta penghentian penyidikan kasus pengadaan kartu tanda penduduk (KTP) elektronik dengan tersangka Setya Novanto yang saat itu menjabat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Pernyataan Agus kemudian menjadi pemberitaan di banyak media. Itu sesungguhnya pernyataan yang sangat penting, namun dikemukakan pada situasi yang tidak normal. Disebut pernyataan penting—bahkan sangat penting—karena ungkapan Agus Rahardjo harus menjadi pelajaran bagi seluruh kandidat presiden dan kandidat wakil presiden bahwa penegakan hukum, terutama dalam kasus korupsi, memang menjadi persoalan serius di negeri ini.

Promosi Liga 1 2023/2024 Dekati Akhir, Krisis Striker Lokal Sampai Kapan?

Ungkapan Agus Rahardjo itu harus dicermati bersama. Penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi, sangat berpengaruh terhadap pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia. Pesan penting dari pernyataan Agus adalah bahwa ungkapan elite tentang ”tidak mau mengintervensi hukum” ternyata tidak sepenuhnya benar.

Esensi pernyataan Agus Rahardjo itu menjadi verifikasi atas dugaan yang mengemuka selama beberapa tahun terakhir tentang pelemahan KPK yang berlangsung sistematis dan itu berpangkal dari elite penguasa.

Setidaknya setelah kasus Setya Novanto itu pelemahan KPK melalui revisi UU KPK terjadi dengan sangat cepat, dan tampak mengabaikan aspirasi publik yang menghendaki penguatan KPK. Pernyataan Agus Rahardjo tersebut juga menguatkan dugaan kelindan kepentingan politik penguasa dan penegakan hukum.

Ada kasus yang mangkrak bertahun-tahun tanpa kejelasan aktor utamanya. Ada pula kasus yang cepat masuk tahap penyidikan dan aktor utamanya menjadi tersangka. Ada juga kasus yang lama tak terdengar tiba-tiba kembali disebut menjelang tahun politik 2024. Kasus menjadi alat politik.

Semakin kotor rekam jejak politikus atau pejabat publik, semakin mudah pula mereka dikendalikan agar tunduk—atau setidaknya tak mengganggu—kepentingan penguasa. Jika spekulasi ini benar, semakin mudah kekuatan politik dikonsolidasikan demi mendukung kekuasaan otoritarian.

Sayangnya, pernyataan Agus Rahardjo itu muncul pada situasi tidak normal, yaitu situasi ketika lembaga demokrasi pengawas eksekutif, yaitu DPR, kini sedang kembali ke urusan personal anggotanya, yaitu Pemilu 2024.

Yang berkewajiban merespons pernyataan Agus Rahardjo itu tentu saja DPR yang memiliki hak interpelasi, yaitu hak DPR meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Mau dan mampukah DPR menggunakan hak interpelasi untuk merespons pernyataan Agus Rahardjo? Di tengah situasi tidak normal karena tahapan Pemilu 2024 yang telah memasuki kampanye bisa jadi pernyataan sangat penting itu hanya akan menjadi komoditas politik sesaat, lalu terlupakan, dan tidak ada koreksi atas langkah pemerintah yang ternyata berdampak buruk sangat luas luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya