SOLOPOS.COM - Muhammad Iqbal (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Media  sosial selalu berkaitan dengan permainan algoritma. Facebook, X (Twitter), Instagram, Youtube memiliki algoritma masing-masing. Algoritma media sosial adalah sebuah sistem yang mengatur tampilan konten sesuai dengan yang menjadi ketertarikan pengguna.

Singkatnya apa yang sering kita buka dan cari, maka sistem akan menilai konten tersebut adalah yang kita suka, sehingga sistem akan mengarahkan kita pada hal-hal yang sesuai dengan itu.

Promosi Skuad Sinyo Aliandoe Terbaik, Nyaris Berjumpa Maradona di Piala Dunia 1986

Pers mahasiswa dewasa ini tak boleh menutup mata terhadap fakta bahwa media sosial menjadi platform baru dalam menyebarkan produk jurnalistik. Menurut riset yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Katadata Insight Center pada 2022, media sosial adalah sumber memperoleh berita yang dipercaya 30,8% masayarakat setelah televisi nasional.

Berdasarkan fakta tersebut sudah seharusnya pers mahasiswa melakukan penyesuaian. Bagaimanapun media sosial adalah wadah paling dekat dan mudah dijangkau di kalangan mahasiswa. Pemanfaatan ini perlu dilakukan demi menunjang eksistensi pers mahasiswa ke depan.

Masalah yang terjadi adalah potensi penyelewangan terhadap nilai-nilai dan semangat pers mahasiswa. Pers mahasiswa sebagai media yang masih murni dari segala kepentingan akhirnya mau tidak mau berpotensi terseret arus algoritma sehingga pengikisan idelisme akan terjadi.

Algoritma dan sebatas memberitakan apa yang diinginkan pembaca, bukan memberitakan hal-hal yang harus diberitakan, akan mengikis idealisme pers mahasiswa. Kini kita lihat media mainstream sering kali memberitakan hal-hal yang tidak esensial, terjadi banyak pengulangan dalam pemberitaan.

Isi berita terkesan tidak informatif dan hanya memperhatikan kata kunci pada naskah yang bertujuan meningkatkan viewers dan pendapatan. Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu dalam sebuah kesempatan memaparkan bahwa perhatian pers terhadap isu-isu strategis nasional belum masif.

Perusahaan pers lebih memilih impresi dan traffic sebagai sesuatu yang dapat menghasilkan pendapatan. Pada akhirnya perhatian terhadap isu stategis kurang terakomodasi, ditambah lagi tidak sebandingnya pencarian masyarakat terhadap isu-isu tersebut yang berpengaruh pada besar kecilnya pendapatan.

Celah itulah yang semestinya dilihat oleh pers mahasiswa sebagai peluang dalam melakukan kerja-kerja jurnalisme. Jika mau beradu cepat dengan pemberitaan perusahaan pers mainstream, dapat dipastikan pers mahasiswa kalah bersaing.

Untuk memperbaiki muruah pers secara umum, aktivis pers mahasiswa sebagai bibit jurnalis masa mendatang harus mengetahui fakta ini agar ketika bekerja menjadi jurnalis profesional selalu berada pada koridor yang benar.

Sangat disayangkan bila pers mahasiswa ikut terserat dalam pusaran tersebut. Dalam konteks ini pers mahasiswa sebagai media alternatif seharusnya menjalankan peran sebagai kontrol sosial dan agent of change yang sejalan dengan semangat mahasiswa.

Pers mahasiswa tak bisa disamakan dengan perusahaan pers mainstream yang memang berorientasi pada profit. Pers mahasiswa dengan ciri khas pelan namun menghantam harus menjadi salah satu  media yang intensif mengkritik penguasa.

Tetaplah menjadi pers yang independen dan menyuarakan suara-suara masyarakat yang terdiskrimanasi. Memang sah-sah saja pers mahasiswa berupaya melakukan penyesuaian dengan algoritma media sosial, namun perlu diperhatikan seberapa besar intensitas penerbitan yang berorientasi untuk memenuhi algoritma atau menyuarakan hak-hak kelompok yang terdiskriminasi dan termarginalkan.

Berapa banyak pula berita mendalam yang berupaya membongkar suatu hal yang merugikan kalangan tersebut. Menempatkan diri secara proporsional merupakan salah satu tantangan dalam pemberitaan pada era media sosial kini.

Persaingan pers kini berkaitan dengan kemampuan suatu perusahaan dalam mencari kata kunci yang paling banyak dicari di media sosial. Oleh sebab itulah, mereka tidak peduli dengan yang lainnya. Kuncinya adalah halaman mereka jadi page nomer satu dalam mesin pencarian.

Menjaga idealisme dalam melakukan kerja jurnalistik saya kira sangat perlu, Kode etik serta elemen dan nilai berita sangat perlu untuk dipertahankan demi menjaga kualitas pers di Indonesia.

Tirto Adhi Soerjo, sang pemula, kala itu mampu menghantam pemerintahan Hindia Belanda dengan pemberitaan. Ia adalah bapak pers nasional sekaligus orang pertama di Indonesia yang menegaskan bahwa perang itu tak selamanya menggunakan senjata.

Tirto mengajarkan kepada pers mahasiswa bahwa pemberitaan tak harus cepat, perubahan itu dimulai dari hal-hal kecil. Karakteristik pelan namun menghantam inilah yang perlu dipegang oleh pers di lingkungan kampus. Tetaplah menjadi pers yang idealis dan menyuarakan suara masyarakat yang terpinggirkan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 15 Agustus 2023. Penulis adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya