SOLOPOS.COM - Rumah Toleransi di Desa Sembulung, Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. (Istimewa)

Solopos.com, BANYUWANGI—Di tepi jalan desa yang mulai berlubang berdirilah bangunan tinggi bertembok batu bata merah. Sebilah kayu tergantung di bangunan itu yang bertuliskan “Rumah Toleransi”.

Yayasan Sad Jaya Abadi yang mendirikan Rumah Toleransi itu di Desa Sembulung, Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, 2018 lalu. Rumah Toleransi dibangun untuk tempat singgah umat Hindu dari Bali yang akan beribadah di beberapa pura yang ada di Banyuwangi.

Promosi Primata, Permata Indonesia yang Terancam Hilang

“Umat Hindu Bali bisa tinggal di Rumah Toleransi secara gratis karena banyak saudara dari Bali yang melakukan perjalanan ke tanah leluhurnya di Jawa, salah satunya Banyuwangi. Jadi, mereka bisa beristirahat dan menginap di sini secara gratis,” kata Ketua Pengurus Rumah Toleransi Sodi, belum lama ini.

Saat Rumah Toleransi diresmikan ada upacara keagamaan Hindu. Selanjutnya, pada malam hari digelar pengajian untuk umat muslim di sekitar lokasi yang menghadirkan penceramah Gus Nuril.

Rumah Toleransi memiliki atap yang menjulang tinggi dengan ditopang tiang-tiang besar. Ada kamar-kamar yang bisa dimanfaatkan untuk beristirahat.
Tempat ini biasa digunakan untuk lokasi berkumpul dan berdiskusi. Tempat ini juga dapat digunakan sebagai balai pertemuan dan kegiatan warga tanpa memandang latar belakang agama mereka.

Di samping pintu masuk kompleks Rumah Toleransi terlihat lantai kasar yang beratapkan asbes. Tumpukan karung besar berisikan botol-botol plastik yang sudah dipilah ada di sana.

Botol plastik yang terkumpul di tempat ini merupakan sampah rumah tangga yang diambil dan dikumpulkan pengurus Rumah Toleransi. Pengumpulan botol dan gelas plastik dilakukan setiap pekan. Hasil pengumpulan dicatat sebagai tabungan warga yang bisa diuangkan. Petugas bank sampah bertugas di tempat itu.

Petugas bank sampah ini bukan sepenuhnya pengurus Rumah Toleransi melainkan sukarelawan yang peduli lingkungan. Praktik ini terbuka untuk umum, tidak hanya untuk umat Hindu.

Di Rumah Toleransi juga terdapat gantungan tangkai bunga kelapa yang sudah kering. Gantungan itu tertata rapi seperti tirai di depan lorong gelap yang terbuat dari anyaman bambu. Nampan dari anyaman bambu dicat berwana-warni dengan ditambahi berbagai tulisan yang mengajak manusia selalu mencintai alam serta menjaga kelestariannya menghiasi tempat itu.

Dari ujung lorong terlihat panggung sederhana dengan hiasan kayu bertuliskan “Rumeksa Bumi”. Itu adalah tema sebuah acara yang berlangsung selama tiga hari di tempat tersebut.

Dalam acara Rumeksa Bumi hadir berbagai komunitas pencinta lingkungan dan seni dari berbagai wilayah di Indonesia, seperti Bali, Sunda (Jawa Barat), Jawa tengah. Pengelola dan warga sekitar Rumah Toleransi bergotong-royong menyiapkan acara sejak satu pekan sebelum puncak acara.

Canda tawa bersambut dengan suara gergaji yang bergesek memotong bambu. Hitungan satu, dua, dan tiga sesekali terdengar, senada dengan teriakan kebahagiaan yang menandakan satu per satu pendirian gubuk-gubuk kecil yang beratapkan ilalang kering yang tertata rapi. Gubuk kecil mulai dikerubungi ibu-ibu yang mulai menata kain untuk memperindah tampilan.

Lingkaran berwarna-warni menyorot cerah bertuliskan “Selamatkan Bumi kita” dan “Jangan membuang sampah sembarangan”. Tulisan itu menggantung di beberapa sudut gubuk.

Riuh suara ibu-ibu, warga sekitar, dalam acara Rumeksa Bumi, yang sedang menata barang yang akan dijual di pasar tradisional terdengar. Saat transaksi di pasar tradisional, wadah yang digunakan tidak boleh kantong plastik, melainkan daun serta anyaman bambu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya