SOLOPOS.COM - Rudi Agus Hartanto (Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Skena  kolektif adakah gerakan anak muda di daerah untuk mengekspresikan diri. Ketiadaan ruang yang bebas dan industri yang belum mendukung menjadi alasan mereka tetap berkreasi meski penuh keterbatasan.

Kata ”skena” diketahui berasal dari bahasa Inggris ”scene” yang menjelaskan tentang suatu tempat kejadian. Kata” skena” sering digunakan dalam dunia musik. Skena menjelaskan tentang kultur atau tempat terjadinya interaksi antara audiens dan musikus sebagai suatu komunitas.

Promosi Berteman dengan Merapi yang Tak Pernah Berhenti Bergemuruh

Kesulitan berekspresi tersebut kerap disiasati atas dasar kesenangan. Artinya, batasan apa pun yang mengadang sebisa mungkin akan mereka terabas. Meski terasa musykil, skena kolektif nyatanya semakin tumbuh subur di banyak daerah di Indonesia.

Faktor utama munculnya ruang kreatif tersebut disebabkan adanya pembatasan yang diberikan kepada mereka. Eksplorasi kegiatan-kesenian di luar pemahaman umum terkadang dianggap sebagai pelanggaran (norma) atau kemunduran budaya.

Di komunitas musik misalnya, genre metal, hardcore, punk, hip hop, yang cenderung bernas dan banal dalam hal lirik serta musikalitas selalu dijadikan anak tiri, bahkan terkadang tidak dianggap keberadaannya. Di kota-kota besar mungkin hal itu jarang terjadi, namun sebaliknya dengan yang terjadi di daerah.

Pembatasan di ruang pendidikan, represi aparat, kurangnya apresiasi, dan penutupan ruang oleh pemangku kebijakan mungkin adalah cerita paling umum yang muncul ke permukaan. Meski begitu, andaikan seseorang berkenan memasuki tempat tersembunyi di daerah, barangkali akan mendengar mimpi, keresahan, dan gagasan liar yang berkelindan di kepala anak-anak muda.

Keyakinan di dalam diri mereka bukan tanpa alasan. Keberhasilan skena di Bandung dan Jakarta hari ini—yang berawal pada dekade 1990-an—menjadi tolok ukur gerakan demikian. Selain itu, kuatnya jaringan perkawanan antardaerah juga merupakan pemantik lain.

Mereka saling berbagi pandang melalui pertukaran fotokopian zine atau blog. Berkisah mengenai skena di daerah masing-masing, promosi karya, pengarsipan gerakan, dan sebagainya. Hal itu berjalan melalui dua hal: organik atau pengorganisasian.

Organik berarti seseorang memang menyukai dan memelajari kultur skena—pemikiran, karya, dan gerakan. Pengorganisasian yang dilakukan oleh suatu komunitas terhadap orang di luar lingkarannya memperluas jaringan dan ruang geraknya. Pola gerak mereka berjalan berdasar pemahaman kolektivisme.

Pengertian mengenai kesetaraan, saling mendukung, tanpa hierarki, dan tujuan bersama merupakan dasar gerakan mereka (Hofstede, 1991). Meski memiliki kelemahan dalam hal kebertahanan (waktu) dan tidak sedikit yang bubar, semangat itu nyatanya tetap menyala. Seolah-olah hal itu terwakilkan adagium nenek moyang: mati satu, tumbuh seribu.

Bagaimanapun, skena kolektif mungkin menjadi salah satu jalan (baca: kenekatan) yang ditempuh anak muda agar eksistensi mereka dapat bertahan. Sementara itu, yang mungkin jarang tersorot adalah di tempat tersebut banyak menyimpan kemungkinan yang berhubungan dengan waktu dan pemikiran.

Literasi menjadi pemantik utama mengapa skena kolektif tidak hanya menjadi ruang berekspresi. Kesadaran bahwa ”jalan” yang dipilih berbeda dengan kebudayaan dominan membuat skena kolektif memiliki rung lingkup yang kecil secara kuantitas. Meski begitu, ikatan yang terjadi antarkomunitas menjadikan keberadaan mereka kuat.

Ruang Pengindraan

Antonio Gramsci dalam Selections from The Prison Notebooks (2008) berpandangan bahwa semangat kolektivisme merupakan suatu bentuk mobilisasi dalam melawan kekuatan dominan—counter hegemony. Dalam tataran tertentu, skena kolektif memiliki kesadaran bahwa mereka tidak mendapatkan ruang yang utuh di tengah masyarakat.

Kesadaran literasi membuat mereka dapat menangkal narasi dominan. Hal itu terlihat ketika mereka mengadakan diskusi, workshop, maupun saat di panggung. Bahwa yang terangkat dalam karya merupakan representasi ideologis mereka.

Pergulatan pemikiran menjadi landasan mengapa mereka sangat berprinsip. Budaya kritik dan autokritik adalah hal yang sering terlihat dalam kultur internal skena. Dengan begitu, terjadi proses dialektis yang berkecenderungan untuk memahami sesuatu.

Hal itu terlihat pada catatan yang rata-rata tertulis dalam zine. Zine menjadi sarana utama orang-orang yang terlibat dalam skena menuangkan pemikiran mereka. Entah pemikiran liar maupun yang bersifat konstruktif. Biasanya hanya berbentuk kertas fotokopi atau di media sosial, tapi di situlah perkembangan gagasan atau pergerakan skena terarsipkan dengan baik.

Dengan kata lain, skena kolektif menjadi jalan alternatif yang tidak mengikuti arus umum atau mainstream. Proses penciptaan dan kreativitas begerak secara mandiri, tanpa ada campur tangan dari pihak tertentu, bahkan dalam perkembangannya literasi yang hidup di lingkaran skena menjadi sangat variatif.

Isu gender yang belakangan menyeruak ke permukaan juga tak luput dari perhatian. Dalam zine Another Catastrophe Vol.1 (2022) ada pembahasan bahwa skena musik—gigs maupun festival—belum menyediakan ruang aman bagi semua gender. Tanpa tameng apa pun dalam zine tersebut ditegaskan bila masih banyak peristiwa sexual harrasment yang terjadi.

Apa yang dituliskan dalam zine itu menjadi salah satu penanda konsentrasi orang-orang di skena kolektif. Sementara itu, Keliling Kabupaten—salah satu gigs ”multiseni” di Kabupaten Sukoharjo—yang diinsiasi Darsa Kolektif, sering membicarkan persoalan minimnya ketersediaan ruang berekspresi.

Jalur terjal yang dijalani mereka, yang bergerak di daerah, kemudian menciptakan ekosistem yang berjalan secara natural namun masif. Ruang alternatif yang tercipta dapat berjalan sirkuler. Dengan begitu, tidak ada kelompok dominan. Atas dasar mutual, mereka melahirkan satu model ruang kreatif dengan berbagai ragam warna.

Memang banyak skena kolektif di daerah bergerak secara mandiri. Maksud saya daerah itu seperti Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sukoharjo, atau Kabupaten Klaten. Ruang demikian yang dulu identik dengan dunia musik underground, kini telah berevolusi. Bahwa di daerah, skena adalah milik setiap pelaku kreatif yang tidak dianggap keberadaannya.

Di kabupaten penyangga Kota Solo—tiga di antaranya saya sebutkan di atas, mereka mencoba membangun sebuah model. Kolaborasi antarkomunitas bisa jadi ihwal konotasi positif di tengah semakin menyempitnya ruang apresiasi.

Bahwa kolaborasi terjadi setelah generasi sebelumnya banyak yang tumbang atau dikalahkan keadaan. Siasat yang dirasa tepat bahwa pelibatan orang/komunitas di luar circle adalah keniscayaan sebab kalau tidak begitu bergerak lebih jauh akan sulit.

Sering kali saya membayangkan skena kolektif bukanlah sebuah ancaman. Aktivitas mereka justru positif karena berkaitan dengan proses kekaryaan atau pembelajaran. Bila kegiatan semacam itu tidak diberikan ruang, jangan heran jika anak muda mengalihkan adrenalin mereka pada perbuatan yang membuat kita ngelus dhadha—pamer suara knalpot brong, bahkan hingga tawuran atau kegiatan meresahkan lainnya.



Agaknya di daerah, keberdaan skena kolektif merupakan siasat anak muda untuk menyatakan bahwa keberadaan mereka tidak selamanya layak disalahkan. Menurut (skena kolektif) Keliling Kabupaten, bertahanlah selagi mampu.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 4 Maret 2023. Penulis aktif di komunitas Kamar Kata dan Sanggar Bima Suci di Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya