SOLOPOS.COM - Sholahuddin (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO – Komunitas  jurnalis warga lintas iman di Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah, membentuk komunitas Grogol Penuh Cinta. Di Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah, sejumlah kaum muda membentuk komunitas Ngargoyoso Damai.

Ada pesan kuat dari anak-anak muda ini: menebarkan nilai-nilai toleransi dan perdamaian di ruang publik. Komunitas ini dibentuk sesuai kaum muda ini bergabung dalam workshop jurnalisme keberagaman untuk pemuda lintas iman di dua daerah itu.

Promosi Pembunuhan Satu Keluarga, Kisah Dante dan Indikasi Psikopat

Workshop ini bagian Program Jurnalisme Toleransi dan Keberagaman untuk Komunitas Pemuda Lintas Iman di Grogol dan Ngargoyoso yang dijalankan Solopos Institute. Dua tempat itu unik.  Program ini punya dua tujuan penting.

Pertama, meningkatkan kesadaran anak muda lintas iman tentang keberagaman. Kedua, meningkatkan keterampilan anak muda membuat karya jurnalisme dan konten media sosial berbasis keberagaman.

Tujuan akhirnya anak-anak muda ini memiliki pemahaman dan kesadaran yang baik tentang nilai keberagaman dan menjadi bagian komunitas jurnalis warga yang menyebarkan pesan-pesan baik tentang toleransi di ruang publik.

Mereka bisa membuat kontra narasi atas konten buruk dan intoleran. Anak-anak muda ini diharapkan memiliki risiliensi atau kapasitas individu menangkal pengaruh ideologi ekstremisme kekerasan. Mereka bisa menjadi pribadi yang kritis dan tangguh di tengah arus informasi yang kompleks kini.

Ada spirit kuat peserta workshop untuk terlibat dalam kampanye perdamaian. Para peserta workshop aktif dan serius mendiskusikan tema-tema tentang toleransi, keberagaman, dan perdamaian. Serius berlatih memproduksi konten keberagaman.

Pada awal terlihat kaku karena belum saling mengenal. Perjumpaan lintas iman akhirnya mencairkan suasana. Mereka membaur dari berbagai agama dan organisasi. Dalam berbagai sesi diskusi, mereka sering berbeda pandangan. Mereka bisa saling mencari titik temu. Kalau tidak menemukan titik temu, mereka sepakat saling memahami perbedaan pandangan itu.

Ini bagian dari toleransi yang autentik. Bukan toleransi kepura-puraan.  Fenonema anak muda aktif dalam penguatan kesadaran di bidang keberagaman layak kita cermati. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan anak muda rentan terpapar paham radikalisme, khususnya melalui kanal media berbasis digital.

Hasil survei Pusad Paramadina belum lama ini ihwal tingkat resiliensi mahasiswa terhadap ideologi ekstremisme kekerasan menunjukkan pertemanan yang beragam dan identitas budaya yang kuat menjadi dua faktor penting yang berkontribusi pada resiliensi yang lebih tinggi terhadap ekstremisme kekerasan.

Mereka cenderung punya daya tahan lebih baik. Tidak banyak mahasiwa yang memiliki nilai skor yang tinggi terhadap kedua faktor ini. Meski temuan riset ini di kalangan mahasiswa, saya yakin hasil riset itu bisa juga untuk memotret fenomena anak muda secara umum. Ruang pertemanan yang dididapatkan melalui perjumpaan lintas iman bisa memperkuat resiliensi pemuda terhadap ektremisme kekerasan.

Mereka bakal tangguh dan bisa memperkuat lingkungan yang lemah resiliensinya. Selain meningkatkan kohesivitas masyarakat, konten-konten positif  karya anak muda juga membangun narasi baik, khususnya pada ranah praktik baik toleransi di lokasi tersebut.

Kegelisahan

Saya menangkap ada kegelisahan masyarakat Grogol terhadap persepsi publik yang sering mengaitkan dengan ekstremisme. Dari berbagai perjumpaan saya dengan pemangku kepentingan di sana, mereka mengakui memang ada sebagian kecil orang yang tinggal di wilayah itu yang berideologi ekstrem.

Sebagian bukan warga asli. Ada realitas lain yang luput dari perhatian publik. Dalam forum diskusi terfokus yang digelar Solopos Institute bersama tokoh lintas iman di Grogol, terungkap banyak praktik baik toleransi di lokasi itu. Relasi antarumat beragama terjalin dengan baik.

Seorang peserta diskusi dari kelompok minoritas bercerita awalnya dia merasa takut tinggal di Grogol sebagai pendatang. Akhirnya dia merasa nyaman hidup sebagai kelompok minoritas. Tidak pernah ada gangguan saat dia menjalankan keyakinan agamanya. Tokoh kebudayaan setempat mengatakan selalu ikut serta dalam komunitas lintas budaya dan lintas iman.

Berbagai kegiatan tersebut tidakpernah bermasalah. Tidak ada penolakan dari masyarakat. Sayangnya, praktik baik toleransi ini kalah dengan isu terorisme. Ini menjadi tugas masyarakat Grogol, khususnya kaum muda, agar praktik baik toleransi disebarluaskan kepada publik.

Orang Grogol sendiri yang mesti membangun kontra narasi terhadap narasi negatif ini agar membangun ketangguhan sosial secara bersama-sama. Demikian pula kaum muda di Ngargoyoso. Mereka bisa menularkan praktik baik toleransi di lokasi itu kepada dunia luar. Relasi yang baik antarumat beragama di Ngargoyoso bisa dipraktikkan di daerah lain.

Kaum muda bisa menjadi motor penggerak agar toleransi menemukan format ideal. Bukan hanya toleransi antarumat beragama, tapi juga mendorong relasi yang lebih indah antarkelompok di internal agama agar mereka hidup damai meski berbeda pemahaman keagamaan.

Yang pasti, stigmatisasi terhadap daerah tertentu identik dengan kelompok ekstrem jelas bagian dari sikap intoleran.  Rasanya kita harus banyak belajar menemukan toleransi yang benar. Kaum muda lintas iman sangat pas untuk menjalankan peran-peran strategis kesejarahan ini. Semoga….

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 10 Maret 2023. Penulis adalah Project Leader Program Literasi Keberagaman Melalui Jurnalisme yang diselenggarakan Solopos Institute)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya