SOLOPOS.COM - Chelin Indra S (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Pasar malam sekaten baru saja berakhir. Ada catatan khusus tentang penyelenggaraan pasar malam sekaten kali ini. Pasar malam sebagai sarna hiburan sekaligus pesta rakyat masih terjaga eksistensinya sejak zaman dulu hingga sekarang. Pasar malam menjadi objek wisata dan kuliner.

Pasar malam juga menjadi salah satu alternatif hiburan untuk berbagai kalangan masyarakat, mulai dari perdesaan hingga perkotaan. Wahana hiburan yang tersedia di pasar malam sangat beragam dan harganya terjangkau. Di pasar malam banyak pedagang yang menjajakan makanan hingga pernik-pernik tradisional dan kekinian dengan harga murah meriah.

Promosi Mudik: Traveling Massal sejak Era Majapahit, Ekonomi & Polusi Meningkat Tajam

Dalam konteks di Kota Solo, pasar malam yang dulu adalah pesta rakyat, kini justru menunjukkan gejala tidak merakyat. Berbagai keluhan mengemuka seiring penyelenggaraan pasar malam sekaten di Kota Solo.

Banyak warga mengeluhkan harga stan yang mahal, tarif parkir tak rasional, tiket panggung hiburan yang terlalu tinggi, hingga kehilangan helm atau benda berharga lainnya akibat banyak pencopet di area sekaten.

Sekaten dan pasar malam sebenarnya dua hal berbeda. Sekaten bermula dari tradisi memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan grebeg Mulud sebagai puncaknya. Tradisi ini warisan Walisanga. Sekaten awalnya adalah sarana dakwah Islam.

Pasar malam menjadi pelengkap tradisi sekaten. Seiring perkembangan zaman, sekaten identik dengan pasar malam. Menurut budawayan dan dosen sejarah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret, Tundjung W. Sutirto, pasar malam hanya untuk meramaikan sekaten yang berpusat di masjid, bukan di pasar atau alun-alun.

Pasar malam erat kaitannya dengan sekaten yang diinisiasi Sunan Kalijaga pada masa kejayaan Kerajaan Demak di Pulau Jawa. Pasar malam kala itu terbentuk karena aktivitas memperkenalkan gamelan di lingkungan masjid agung dan alun-alun. Sembari menikmati alunan gamelan dan mendengarkan ceramah, terbentuklah pusat keramaian yang dimanfaatkan untuk jual beli.

Pasar malam atau pasar kaget itu kemudian berkembang menjadi acara besar yang dilanjutkan ahliw aris Kerajaan Mataram Islam sampai saat ini. Pasar malam pada masa Walisanga dan Kerajaan Demak hanya terbatas aktivitas jual beli.

Pasar malam berkembang pada masa kolonial Belanda. Lapangan Gambir di Jakarta yang kini menjadi Taman Monumen Nasional menjadi saksi sejarah pasar malam modern di Indonesia. Pesta rakyat itu kali pertama diadakan pada 31 Agustus 1898, bersamaan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina sekaligus menyambut penobatannya sebagai Ratu Belanda.

Pasar malam ini menyediakan wahana permainan yang beragam dan menarik perhatian masyarakat.  Pada era 1970-an, pasar malam di Jakarta itu ditiru di berbagai wilayah. Ada semacam paguyuban yang berkeliling dari satu kota ke kota lainnya. Sejak saat itu sampai sekarang pasar malam selalu dinantikan masyarakat. Pasar malam seolah-olah tak tergerus roda zaman yang terus berputar melahirkan industri hiburan modern.

Persepsi Kolektif

Seiring perkembangan teknologi, banyak kota besar yang memiliki tempat hiburan dengan wahana modern seperti di mal. Industri hiburan modern itu tidak menghapus memori masyarakat kolektif tentang pasar malam sebagai pesta rakyat.

Dalam benak banyak orang, pasar malam tetap arena hiburan dengan harga terjangkau. Keluhan tentang tarif mahal di pasar malam sekaten di Kota Solo memang mengganggu persepsi masyarakat tentang pasar malam sebagai arena belanja dan hiburan murah.

Pasar malam pada Agustus 2022 di Lapangan Baturan, Colomadu, Karanganyar, masih lebih merakyat dibandingkan sekaten saat ini. Tarif parkir di pasar malam Baturan yang berlokasi di lahan Kantor Kepala Desa Baturan tersebut hanya Rp3.000 untuk satu unit sepeda motor.

Tarif semua wahana permainan seperti komedi putar, bianglala, kora-kora, ombak banyu, hingga tong setan sama, hanyaRp10.000 per orang. Harga aneka jajanan juga terjangkau, hanya Rp5.000-an. Sejauh itu tidak terdengar ada keluhan dari pasar malam selama dua pekan itu.

Keluhan-keluhan yang mengemuak dari pasar malam sekaten di Kota Solo memang masuk akal. Tarif parkir sepeda motor Rp5.000 per unit. Tarif wahana permainan dipukul rata Rp15.000 per orang. Bagi yang ingin menyaksikan panggung musik dikenakan biaya lagi, mulai dari Rp25.000 per orang.

Tarif itu memang masih lebih murah daripada wahana bermain di mal atau taman hiburan modern yang dijual per paket mulai Rp100.000. Prediket arena pesta rakyat memunculkan persepsi kolektif harga tiket wahana permainan di pasar malam sekaten yang berlokasinya di fasilitas publik jauh lebih mahal.

Bisa jadi uang Rp100.000 tidak akan cukup untuk bermain sampai puas dan jajan sampai kenyang di arena sekaten. Belum lagi ditambah biaya parkir dan stres mencari lokasi kendaraan yang diparkirkan karena psti akan berpindah dari tempat semula.

Kalau sedang apes, bisa saja pengeluran bertambah untuk membeli helm yang hilang dicuri. Semua orang seperti sibuk berlomba memanfaatkan momentum untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Pasar malam sekaten yang menjadi alternatif hiburan masyarakat kalangan menengah ke bawah itu tampaknya tidak lagi merakyat.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 26 September 2022. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya