SOLOPOS.COM - Ahmad Baihaqi (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Dalam hitungan hari, Piala Dunia 2022 di Qatar akan resmi dimulai. Tepatnya pada 20 November mendatang. Gaung turnamen sepak bola terakbar antarnegara itu seperti kurang, tidak seperti edisi-edisi sebelumnya.

Saya ingat betul, saat usia saya baru tujuh tahun, penggalan lirik go, go, go! ale, ale, ale! dari lagu The Cup of Life sangat populer di lingkungan saya. Lagu tersebut adalah theme song Piala Dunia 1998 yang dinyanyikan Ricky Martin.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Lewat lagu tersebut euforia Piala Dunia 1998 sangat terasa. Tak cuma orang dewasa, anak-anak seperti saya pun fasih menyanyikan penggalan go, go, go! ale, ale, ale!, meski tak paham betul apa itu Piala Dunia.

Yang paling populer tentu lagu Waka Waka yang menjadi theme song Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Lagu yang dinyanyikan Shakira itu bahkan dinobatkan sebagai salah satu theme song terbaik Piala Dunia oleh Billboard.

Lagu-lagu tersebut membuat Piala Dunia kian semarak sebelum benar-benar resmi dimulai. Ihwal theme song ini, Piala Dunia 2022 sebenarnya sudah merilisnya pada April 2022 lalu, yakni lagu berjudul Hayya Hayya.

Lagu tersebut sepertinya tak mampu menggaet animo masyarakat. Kurang semaraknya Piala Dunia 2022 ini tentu bukan hanya karena theme song yang tidak populer. Ada banyak persoalan yang memang menyertai penyelenggaraan Piala Dunia 2022 di Qatar.

Salah satu masalah adalah isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Saat ditunjuk sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 pada 2010 lalu, Qatar langsung bersiap diri dengan membangun sejumlah stadion baru dan infrastruktur lainnya.

Dalam pembangunan itu, ada banyak pekerja migrant, terutama dari Asia Selatan seperti India, Bangladesh, dan Sri Lanka. Menurut laporan The Guardian pada 2021, sebanyak 6.500 pekerja migran meninggal dunia dalam proses pembangunan infrastruktur di Qatar sejak 2010.

Muncul isu pekerja tak dibayar hingga diusir dari mes karena pelaksanaan turnamen yang sudah dekat. Protes atas pelanggaran HAM itu bermunculan. Mulai dari suporter hingga tim nasional. Salah seorang suporter di Belanda, misalnya, membentangkan tulisan #BoycottQatar22 di stadion saat mendukung timnya.

Pada tahun lalu, sejumlah negara yang bertanding menggaungkan kampanye “hak asasi di dalam dan di luar lapangan” saat bertanding. Selain kontroversi tersebut, ketiadaan euforia Piala Dunia 2022 bisa jadi karena waktu pelaksanaan turnamen.

Untuk kali pertama dalam sejarah, Piala Dunia digelar pada musim dingin, pada saat tim-tim Eropa masih menjalani kompetisi. Musim dingin dipilih lantaran cuaca Qatar pada Juni-Juli sangat panas.

Musim Dingin

Qatar sebenarnya sudah mengusulkan turnamen tetap digelar pada musim panas, namun dilakukan di dalam stadion tertutup yang ber-AC. Ide itu ditolak. Akhirnya pelaksanaan pada musim dingin dicetuskan.

Penyelenggaraan Piala Dunia 2022 pada musim dingin justru membuat euforia tak terlihat. Turnamen ini kalah gaungnya dengan kompetisi-kompetisi Eropa yang masih berlangsung.

Bapak-bapak di lingkungan saya, misalnya, masih membicarakan Barcelona yang turun kasta ke Liga Europa, Arsenal yang mulai melejit, Liverpool melempem, hingga Napoli yang mulai menunjukkan taji.

Mereka sama sekali belum membahas tim jagoan di Piala Dunia 2022. Mereka juga belum membahas pemain yang diprediksi bakal melejit. Ah, tapi, Piala Dunia kali ini juga pemain bintangnya berkurang. Banyak pemain top bertumbangan.

Juara bertahan Prancis tak bisa diperkuat oleh Paul Pogba dan N’Golo Kante. Juara Piala Afrika, Senegal, kehilangan sang superstar Sadio Mane. Inggris dipastikan tanpa dua wing back mereka, yakni Reece James dan Ben Chilwell.

Selain itu, banyak pemain bintang lainnya yang melewatkan Piala Dunia karena cedera seperti Gioginio Wijanldum (Belanda), Diogo Jota (Portugal), Timo Werner (Jerman), hingga Son Heung-Min (Korea Selatan).

Piala Dunia 2022 kali ini memang terlihat sepi-sepi saja. Bagaimana pun, turnamen ini adalah pentas bagi negara-negara untuk unjuk gigi menampilkan permainan terbaik mereka. Turnamen ini juga bisa menjadi panggung yang apik bagi para pemain menunjukkan kualitas diri.

Sering pemain yang moncer di Piala Dunia dilirik oleh tim-tim top dunia.

Bagi para penikmat sepak bola, euforia sebelum turnamen memang bukanlah yang utama, namun hal tersebut bisa saja menjadi magnet bagi kalangan selain pencinta sepak bola untuk menonton.

Sudah sepatutnya turnamen sebesar Piala Dunia tak hanya dinikmati oleh penyuka sepak bola. Mereka yang tidak paham sepak bola pun bisa meramaikannya.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 11 November 2022. Penulis adalahh wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya