SOLOPOS.COM - Arif Budisusilo (Istimewa/Dokumen pribadi)

Papua kembali menjadi komoditas politik. Isu tentang wilayah Indonesia di ujung timur itu menjadi salah satu bahasan debat perdana para calon presiden beberapa waktu lalu.

Para capres melihat Papua dalam perspektif yang berbeda-beda. Capres nomor urut 1 Anies Baswedan melihat aspek keadilan dan kemakmuran sebagai biang keladi dari persoalan yang mendera Papua. Bagi Anies, selama pemerintah belum mampu mendatangkan keadilan, menegakkan hukum dan menciptakan kemakmuran yang merata, letupan-letupan di Papua akan tetap ada.

Promosi Kisah Pangeran Samudra di Balik Tipu-Tipu Ritual Seks Gunung Kemukus

Capres nomor urut 2, Prabowo Subianto, melihat Papua dalam perspektif lebih rumit. Prabowo memuji Presiden Jokowi yang telah memperhatikan Papua dengan banyak program termasuk infrastruktur. Namun, terdapat kompleksitas masalah karena adanya faktor lain seperti pihak-pihak di luar negeri yang melakukan intervensi karena menginginkan Papua lepas dari NKRI. Juga isu lainnya.

Lalu Capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo melihat dalam perspektif lain lagi. Ganjar menyebut tindakan yang sudah dilakukan pemerintah saat ini belum mencukupi. Karenanya, dia menekankan pentingnya dialog antarpihak yang terlibat di Papua.

Namun, pandangan para Capres tersebut masih menyisakan pertanyaan berikutnya. Kita, tentu saja, butuh langkah konkret dalam membangun Papua. Meminjam komentar Tantowi Yahya, mantan Duta Besar Indonesia di Selandia Baru, persoalan Papua memang tidak mudah. Tantowi, yang aktif melakukan advokasi internasional mengenai Papua saat menjadi Dubes di Wellington, juga mengakui pemerintahan Jokowi telah berbuat maksimal, tapi belum cukup.

Untuk menyelesaikan persoalan Papua, menurut Tantowi, ketiga usulan dari para capres yang mengemuka dalam debat tersebut bisa digabung, dan digunakan sebagai kebijakan pemerintah yang baru di bawah presiden terpilih. Mengurus Papua tidak bisa lagi dengan pendekatan parsial karena persoalan di wilayah ini sudah bersifat multidimensional. Hukum harus ditegakkan, korupsi dan isolasi harus dibasmi, pendidikan harus terus didorong, dialog harus terus diusahakan sampai ditemukan beberapa kelompok yang dianggap mewakili.

Dan tak kalah penting adalah mengelola persepsi internasional. Bagi Tantowi,  penjelasan tentang pembangunan di segala sektor di Papua harus terus diintensifkan melalui panggung diplomasi internasional.

Tentu saya sependapat dengan Tantowi Yahya. Namun, saya ingin menambahkan perspektif lain. Buat saya, membangun Papua tetaplah perlu penajaman pada pembangunan ekonominya. Untuk mengejar kesejahteraan Papua. Kebetulan, saat menulis kolom ini, saya sedang berada di Timika, Ibu Kota Kabupaten Mimika, yang kini berada dalam wilayah Provinsi Papua Tengah. Sejak tahun lalu, Papua yang telah mekar menjadi Provinsi Papua dan Papua Barat tambah mekar lagi menjadi enam provinsi.

Isu strategis dalam penguatan ekonomi Papua tampaknya terkait dengan penguatan kelembagaan guna mengoptimalkan potensi wilayah yang begitu besar. Coba saja tengok data yang ada. Dalam perjalanan provinsi ini, ternyata perkembangan ekonominya selalu berfluktuasi dengan sangat ekstrim. Perekonomian Papua, Anda tentu tahu, sangat tergantung dari sumbangan sektor pertambangan.

Kontribusi “ekonomi pertambangan” terhadap pergerakan perekonomian Papua sangat signifikan. Lihat saja gerakan fluktuatif pertumbuhan ekonomi Papua yang berubah-ubah dengan drastis. Misalnya pada kuartal III/2021, pertumbuhan ekonomi Papua mencapai 14,54%, jauh di atas tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada periode yang sama yaitu 3,51%.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kontributor pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu adalah sektor pertambangan dan penggalian. Sektor itu tumbuh 37,56%. Tanpa kontribusi sektor pertambangan dan penggalian, pertumbuhan ekonomi Papua hanya 2,42%. Tahun ini contoh lainnya lagi. Menurut BPS, pertumbuhan ekonomi Papua hingga kuartal III-2023 “hanya” 8,28%. Penyumbang pertumbuhan tertinggi ternyata bukan sektor pertambangan, melainkan sektor jasa keuangan dan asuransi sebesar 15,90%. Sumbangan sektor pertambangan ‘hanya’ 15,08%, jauh di bawah kondisi tahun 2021 yang nyaris tiga kali lipatnya.

Ilustrasi lebih ekstrem lagi adalah pada kuartal I-2023, di mana pertumbuhan ekonomi Papua minus 2,39%. Ini terjadi akibat penurunan produksi emas dan tembaga menyusul curah hujan dan tanah longsor yang terjadi di area pertambangan PT Feeport Indonesia di Tembagapura. Ini bukti bahwa pertumbuhan ekonomi Papua masih didominasi oleh sektor pertambangan dan penggalian.

Gambaran tersebut menjadi masuk akal. Saat saya kembali datang ke Timika, setelah terahir 2019 silam, perkembangan di kawasan pusatnya pertambangan ini tampak nyata. Kontribusi tidak langsung dalam bentuk multiplier effect ekonomi barangkali jauh lebih besar ketimbang kontribusi langsung seperti setoran dana kepada pemerintahan  daerah setempat yang dipakai untuk membiayai pembangunan yang mendorong pertumbuhan ekonomi.

Kendati demikian, kontribusi langsung pun juga relatif besar. Mengutip penjelasan Dirut PT Freeport Indonesia, Tony Wenas, perusahaan yang kini sahamnya dimiliki pemerintah Indonesia, menyumbang penerimaan negara sekitar US$2,5 miliar dolar tahun ini, di mana sekitar Rp8 triliun dialokasikan untuk Provinsi Papua Tengah dan kabupaten-kabupaten di wilayah Papua Tengah.

Setiap tahun, PT Freeport rata-rata menyetor sekitar Rp6 triliun-Rp7 triliun ke Papua.
Setoran rutin tersebut dalam bentuk dividen kepada Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Mimika sebagai pemegang saham perusahaan, serta setoran dana bagi hasil (DBH) sebesar 6% dari keuntungan bersih untuk daerah. Khusus untuk Kabupaten Mimika, realisasi penerimaan dari PT Feeport pada tahun 2020 mencapai Rp891 miliar, pada 2021 sebesar Rp2,32 triliun, dan 2022 juga sekitar Rp2 triliun lebih. Penerimaan itu berasal dari komponen pajak daerah, dana bagi hasil minerba dan land rent, bagi hasil pertambangan, PPh dan dividen 2,5% yang baru dibayar mulai 2021.

Ketergantungan terhadap multiplier effect sektor pertambangan tersebut seyogianya bisa terus berkurang apabila pembangunan Papua bisa didekati dalam perspektif kelembagaan yang lebih kuat terutama pemerintahan daerah dan sumberdaya manusianya.

Padahal di sisi lain, Papua merupakan wilayah provinsi penerima Dana Otonomi Khusus yang cukup besar. Kita tahu, Dana Otsus Papua dialokasikan  setiap tahun sejak 2002 berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Tujuan Otsus sebenarnya sangat baik. Menurut UU tersebut, Otsus merupakan salah satu varian konsep desentralisasi yang diberlakukan khusus bagi beberapa daerah tertentu, sebagai respons solutif.  Tujuannya antara lain untuk mengatasi kesenjangan hasil pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

UU Otsus Papua mengatur sumber-sumber penerimaan khusus yang terdiri dari Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus), Tambahan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH-SDA) Minyak Bumi dan Gas Bumi, serta Dana Tambahan Infrastruktur (DTI). Menurut catatan Kementerian Keuangan, sejak kurun 2002-2021, Dana otsus & DTI mencapai Rp138,65 triliun, TKDD sebesar Rp702,30 triliun, dan belanja kementerian dan lembaga sebesar Rp251,29 triliun.

Dengan demikian, total dukungan keuangan dari pemerintah pusat untuk Papua dalam kurun waktu tersebut telah mencapai Rp1.092 triliun, merujuk keterangan Stafsus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo.

Alokasi untuk dana Otsus sendiri sudah lebih dari Rp12 triliun per tahun. Namun, kabar kurang baiknya, alokasi dana tersebut belum memberikan dampak optimal. Pemerintah pusat merasa kemajuan Papua belum sebanding dengan jumlah anggaran yang dialokasikan untuk membiayai Otsus.  Sebaliknya, dari sisi pemerintah daerah merasa pelaksanaan Otsus belum optimal karena ketidakjelasan kewenangan Otsus. Poin inilah yang barangkali perlu disentuh lebih fokus untuk perbaikan ke depan.

Barangkali, ke depan, akan lebih ideal apabila pemanfaatan dana Otsus untuk Papua ke depan bisa dipertajam untuk penguatan kelembagaan, khususnya melalui sektor pendidikan dan sumber daya manusia. Inilah yang tampaknya akan menjadi pekerjaan rumah pemerintahan baru hasil Pilpres 2024 mendatang. Mungkin di sinilah pemerintah pusat perlu cawe-cawe lebih kuat. Jangan sampai para capres yang kini bersaing untuk merebut hati rakyat Papua hanya sekadar beretorika.

Nah, bagaimana menurut Anda?

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya