SOLOPOS.COM - Abu Nadzib (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Dua  film dokumenter yang dibuat wartawan senior Dandhy Laksono bersama timnya menarik perhatian saya, yaitu Baduy dan Kasepuhan Ciptagelar. Dua film itu menggambarkan kearifan lokal masyarakat yang memegang teguh adat istiadat leluhur.

Membatasi pergaulan dengan dunia luar, menyaring dengan sangat kuat pengaruh luar yang bisa mengancam kehidupan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan perilaku dan budi pekerti.

Promosi Sejarah KA: Dibangun Belanda, Dibongkar Jepang, Nyaman di Era Ignasius Jonan

Masyarakat Suku Baduy dan Kasepuhan Ciptagelar di wilayah Provinsi Banten. Itu kampung adat yang memegang kuat tradisi berumur ratusan tahun.  Masyarakat Ciptagelar mandiri mencukupi kebutuhan pangan, pengairan untuk persawahan, hingga aliran listrik.

Mereka membangun turbin air untuk menciptakan energi listrik, tidak bergantung pada PLN. Mereka membangun sistem irigasi sendiri. Mereka tidak menjual hasil panen ke luar demi swasembada pangan di kampung sendiri. Mereka punya stasiun televisi sendiri yang menayangkan kegiatan kampung yang sarat dengan kearifan lokal.

Film Baduy mengisahkan Suku Baduy di Lebak, Banten. Populasi Suku Baduy saat ini sekitar 26.000 jiwa. Suku Baduy terbagi dua, Suku Baduy Dalam dan Suku Baduy Luar.  Mereka dibedakan dengan mudah melalui pakaian yang digunakan.

Baduy Dalam (Kanekes Dalam) paling ketat dengan adat. Mereka warga Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Orang Kanekes Dalam memakai pakaian berwarna putih dan ikat kepala putih. Kain yang digunakan harus ditenun dan dijahit sendiri, tak boleh hasil penjahitan modern.

Mereka dilarang menggunakan kendaraan. Selalu berjalan tanpa alas kaki. Tak boleh mengoperasikan alat elektronik. Harus membangun rumah ke arah utara/selatan.

Baduy Luar (Kanekes Luar) tinggal di Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan beberapa kampung lain. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas pakaian dan ikat kepala serbahitam atau biru tua.

Warna gelap melambangkan bahwa mereka tak lagi ”suci”, sudah terkontaminasi perkembangan luar.  Warga Baduy Luar juga mengenakan pakaian modern, seperti kaus oblong dan celana jeans.

Warga Kanekes Luar mengenal teknologi, mengoperasikan telepon seluler pintar. Ketika membangun rumah, orang Baduy Luar menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dan lainnya yang terlarang di masyarakat Kanekes Dalam.

Mereka menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring, dan gelas dari kaca atau plastik. Sebagian dari mereka telah berpindah keyakinan dari Sunda Wiwitan menjadi muslim.

Suku Baduy Dalam meminta agar sinyal Internet di wilayah mereka dihapus. Demi menjaga kemurnian budaya Baduy. Orang Kanekes Dalam meminta sinyal dua pemancar di wilayah sekitar mereka diarahkan ke luar wilayah Baduy.

Mereka mengajukan surat penghapusan sinyal Internet kepada Bupati Lebak. Bagi orang modern, protes warga Baduy itu terasa aneh, kampungan, udik, karena ada orang yang tidak mau bersinggungan dengan Internet.

Jika melihat substansi protes mereka, niat mereka mulia. Internet adalah pisau bermata dua. Melalui Internet kita dapat meningkatkan taraf perekonomian. Internet juga memudahkan siapa saja mendapatkan informasi terbaru dan ilmu pengetahuan.

Saya yang eks sekolah teknologi menengah atau STM sangat terbantu oleh tutorial di Youtube tentang berbagai hal. Segala hal yang berkaitan dengan perbaikan alat di rumah bisa dilakukan secara mandiri.

Tidak ada alasan lagi bingung berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam waktu cepat berkat adanya transportasi berbasis aplikasi di Internet. Anda yang malas memasak atau sekadar ing8in makan enak tapi enggan keluar rumah dimanjakan layanan pesan antar yang berbasis internet.

Siswa sekolah mendapatkan kemudahan mengerjakan tugas-tugas belajar karena bantuan Internet. Singkat kata, berjuta manfaat didapatkan dari Internet. Itu positifnya. Sisi negatifnya, Internet bisa menciptakan kehancuran jika digunakan untuk sesuatu yang negatif.

Masih lekat ingatan tentang seorang siswi SMP di Grogol, Sukoharjo, dibunuh setelah bertransaksi seksual dengan seorang lelaki beristri. Mereka yang tidak saling mengenal dipertemukan oleh kecanggihan teknologi bernama internet.

Kisah remaja perempuan berusia 15 tahun yang menjadi korban pencabulan 11 orang dewasa di Parigi Moutong, Sulawesi Selatan, juga diawali komunikasi via Internet. Aneka penipuan trading yang merampas uang ribuan orang dengan kerugian hingga triliunan rupiah juga bermula dan dimudahkan Internet.

Siapkah kita menghadapi dampak buruk Internet? Ini diskusi yang telah terjadi sekitar 10 tahun lalu, namun tetap menjadi diskursus menarik hingga kini. Semua  kembali ke moralitas. Jika seseorang punya moral, secanggih apa pun teknologi tidak akan berdampak buruk.

Pura-pura

Itulah yang sulit. Itu pula yang mungkin dikhawatirkan warga Suku Baduy Dalam. Mereka merasa kemampuan menangkal pengaruh negatif Internet tak setara dengan bahaya yang mengancam. Bagaimana kita? Jangan-jangan kita hanya merasa mampu, padahal aslinya tidak?

Tengoklah ke dalam keluarga. Bagaimana perilaku anak-anak kita dengan gawai berinternet. Normalkah mereka? Jangan-jangan tidak normal, tapi kita anggap seolah-olah semua baik-baik saja.

Lihat perkataan dan tingkah laku mereka? Normalkah? Brutalkah? Kita tidak tahu atau pura-pura tidak tahu dengan ketidaknormalan budi pekerti generasi muda kita. Di media sosial bertebaran “pendidikan mengumpat” yang oleh sebagian generasi muda kita kemudian dianggap lumrah sebagai percakapan sehari-hari.

Kenapa dianggap lumrah? Karena mereka tidak tahu. Karena mereka tidak pernah mendapat pendidikan dari orang tuanya. Salah siapa? Salah kita! Kemampuan kita tidak sebanding dengan pesatnya teknologi yang di sana terdapat muatan-muatan negatif.



Diakui atau tidak sesungguhnya berat mendidik anak pada era teknologi canggih seperti sekarang. Waktu kita habis untuk bekerja, sementara untuk anak-anak kita kehabisan waktu. Tanpa sadar mereka dididik oleh gadget.

Kita akan menyesali saat melihat kebodohan-kebodohan mereka. Lalu bermunculanlah geng-geng motor, kelompok klithih, dan lain sebagainya. Mungkin ada yang berpikir warga Suku Baduy Dalam itu cemen, tak berani menghadapi tantangan zaman, tak berani menghadapi risiko.

Sesungguhnya mereka sedang jujur terhadap diri mereka sendiri bahwa bahaya Internet sungguh dahsyat. Kita berpura-pura kuat, padahal sesungguhnya lebih karena acuh tak acuh saja, bersikap santai, lebih tepatnya masa bodoh.

Ada hikmah dari sikap Suku Baduy. Bahwa bahaya Internet yang kita sama-sama tahu nyata adanya dan tidak bisa disepelekan. Lalu membikin antisipasinya. Perkuat moral dan mental anak-anak kita.

Didiklah mereka dengan budi pekerti, sopan santun, unggah-ungguh. Dekatkan pada agama melalui kajian-kajian yang mengajarkan akhlak mulia. Ajarkan mereka perilaku yang bertanggung jawab baik terhadap diri mereka sendiri dan orang lain.

Saya penggemar berat kajian ulama Nahdlatul Ultama K.H. Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha. Setiap hari saya dengarkan kajian-kajian yang dia kemukakan melalui tayangan di Youtube.

Banyak ilmu yang saya dapatkan dari murid kesayangan almarhum Mbah Maemun Zubair itu. Salah satu ucapan yang menancap di benak saya adalah ”apa-apa kuwi sing penting saleh”. Mau apa pun pekerjaannya asalkan dia saleh, semuanya akan menjadi baik.

Saya setuju dengan fatwa ini. Jika Anda saleh, Anda tidak akan melakukan sesuatu yang melanggar norma susila, norma agama, maupun hukum negara. Jika saleh, Anda tidak akan melakukan kekejian dan kemunafikan. Jika kita saleh, semua akan baik-baik saja. Didiklah anak-anak menjadi pribadi yang saleh.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 21 Juni 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya