SOLOPOS.COM - Andina Elok Puri Maharani (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Jenderal  perang dan penyusun buku Seni Perang dan 36 Strategi, Sun Tzu,  menulis lukai diri sendiri untuk mendapatkan kepercayaan musuh (masuk ke dalam jebakan, jadilah umpan). Strategi ini dikenalkan Sun Tzu pada 544—496 SM. Dalam bahasa modern ini disebut playing victim.

Konsep ini  acapkali menjadi konsep menarik dalam politik untuk meraih simpati. Cara ini dinilai masih efektif digunakan untuk menggaet target pemilih. Playing victim hampir selalu menghiasi setiap pemilu.

Promosi Komeng Tak Perlu Koming, 5,3 Juta Suara sudah di Tangan

Pelaku playing victim menarasikan diri sebagai korban atas sistem atau perilaku lawan politik. Pelaku mencoba mengambil hati publik dengan mengetuk sisi rasa iba. Beberapa hal dilakukan dengan mengumbar kisah dizalimi, bahkan ada pula yang menceritakan kisah berasal dari keluarga yang tidak mampu secara ekonomi.

Alasan ditekan, difitnah, dijatuhkan, didiskriminasi, dan kemiskinan akan menyentuh psikologi pemilih untuk memilih mereka yang senasib. Pemilih merasa ada kesamaan pernah ditindas atau pernah merasa pada kondisi lemah hingga terpedaya oleh cerita perjuangan kaum papa yang menjadi sukses dan akhirnya mendorong pemilih memilih karena dasar kesamaan nasib.

Playing victim adalah politik manipulatif yang menstimulasi dan mendorong aksi-aksi untuk meraih tujuan politik. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip demokrasi. Seharusnya para kontestan pemilu “menjual” prestasi, bukan malah “berjualan airmata”.

Kisah menjual air mata terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pernah diangkat menjadi novel karya Eva Sri Rahayu yang berjudul Playing Victim. Novel ini menceritakan tiga orang sahabat kecanduan membuat cerita sedih tentang diri mereka agar mendapat simpati dari warganet.

Kisah ini sangat relevan dengan kehidupan, termasuk dalam bidang politik. Pelaku akan bermain peran untuk mendapatkan simpati masyarakat. Playing victim sering kali menjadi main menu dalam kampanye melalui media sosial atau yang lain.

Playing victim hampir selalu melibatkan dua pihak atau lebih. Pelaku akan berperan sebagai pihak protagonis dan lawan politik akan diposisikan sebagai antagonis. Protagonis akan menceritakan penderitaan sehingga kadang kala memicu fitnah untuk lawannya.

Akhirnya terjadi klarifikasi terhadap tuduhan. Kampanye akan kehilangan esensi yang seharusnya  membahas visi dan misi akhirnya bergeser menjadi ajang saling klarifikasi.

Pendorong

Playing victim menjadi salah satu metode yang menarik yang dilakukan pihak-pihak yang ingin menang dalam pemilu. Ada beberapa hal yang mendorong perilaku playing victim.  Pertama, meningkatnya pengguna media sosial.

Pada era digital kini, media sosial meningkatkan marketing playing. Sekali klik maka dunia akan mengetahui. Saat ini pengguna media sosial mencapai hampir 80% dari total penduduk Indonesia. Framing untuk menggiring opini melalui media menjadi hal yang mudah dilakukan.

Kedua, keberhasilan playing victim yang tercatat dalam sejarah politik sebelumnya membuat pelaku cenderung berbuat untuk melakukan hal sama. Pada akhirnya mendorong orang lain melakukan terus-menerus.

Friedrich Nietzsche dan Sigmund Freud berpendapat manusia adalah makhluk yang dibebani emosi campuran. Manusia mudah terguncang oleh cerita bahagia maupun sedih. Perasaan mudah bersimpati akan mengantarkan pada pilihan untuk memberikan perhatian.

Manusia mudah bersimpati pada kemalangan seseorang. Persepsi tentang tingkat kemalangan akan menentukan tingkat simpati tanpa berpikir apakah kemalangan itu benar atau tidak dan apakah kemalangan itu didapat karena ulahnya sendiri atau tidak.

Ketiga, penguatan diri untuk menunjukkan bahwa pelaku merupakan korban dari orang yang ”berdosa”. Pelaku akan terus-menerus melakukan upaya validasi dari orang lain untuk menguatkan posisinya. Semakin kuat citranya sebagai korban, semakin besar simpati yang didapatkan.

Pelaku playing victim harus berhati-hati dan memperhatikan batasan. Playing victim yang tidak berhati-hati justru bisa menjadi bumerang. Jika yang dilakukan dianggap cukup membosankan, pada titik kulminasi tertentu, orang lain akan jenuh dengan permainannya dan memilih menyerang balik.

Orang yang sebelumnya menaruh iba akan berbalik memberi hujatan. Pelaku playing victim juga rentan stres jika tujuannya tidak tercapai. Tindakan manipulatif yang terus-menerus justru memicu frustrasi pelakunya dan memungkinkan kehilangan kebahagiaan.

Di titik ekstrem, ia akan merasakan no self trust. Keadaan ketika pelaku merasa tidak percaya diri yang memunculkan rasa lelah, jenuh, dan penat. Kelelahan pelaku playing victim juga terjadi karena harus terus-menerus menceritakan skenario untuk memperkuat cerita yang digambarkan sebelumnya.

Manusia mana yang tidak lelah jika antara apa yang diceritakan dan fakta sesungguhnya berbeda? Taktik playing victim sukses di negara-negara yang multikultural, yaitu multiagama, suku, ras, dan budaya karena potensi konfik diskriminasi cenderung lebih besar.

Kecerdasan politik sangat diperlukan agar tidak terpengaruh propaganda pelaku playing victim. Meskipun playing victim adalah salah satu strategi yang usang untuk meraih simpati massa, taktik ini masih menempati level tinggi dalam marketing politik.

Playing victim bukanlah pilihan yang bijaksana. Politikus harus fokus pada peningkatan kapasitas untuk meraih kepercayaan publik. Materi kampanye politik harus beirisi jabaran visi.

Demokrasi harus dibangun dengan proses yang terukur dan terarah karena ukuran demokrasi bukan hanya hasil yang berupa kemenangan namun juga berupa proses berdemokrasi yang edukatif.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 7 Agustus 2023. Penulis adalah dosen di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya