SOLOPOS.COM - Eko Sulistyo (Istimewa/Dokumen pribadi).

Kehadiran Pembangkit Listrik Tenaga dari Sampah (PLTSa) Putri Cempo di Solo yang akan uji operasi pada April 2022 dan mulai beroperasi penuh (COD) pada Desember 2022, patut disambut gembira. Keberadaaannya menjadi terobosan inovatif untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan tumpukan sampah kota. Dampak perubahan iklim adalah poin lingkungan penting lainnya, yang menjadikan tempat pembuangan akhir (TPA), sebagai pengolahan sampah untuk energi listrik atau Waste to Energy (WTE).

Dalam perspektif ekonomi sirkular, peranan teknologi dan WTE adalah komponen penting. Seperti dalam PLTSa, teknologi WTE dapat menjadi cara yang efektif untuk menghasilkan energi dari sisa limbah (sampah) dan mengurangi material yang masuk dalam TPA. Kegiatan upcycling ini akan mengurangi kapasitas yang dibutuhkan untuk fasilitas akhir masa pakainya.

Promosi Selamat Datang Kesatria Bengawan Solo, Kembalikan Kedigdayaan Bhineka Solo

Proses penguraian di TPA, sampah akan mengeluarkan biogas, yang berisi metana dan karbondioksida. Dengan tersedianya teknologi pengolahan sampah, dampak buruk unsur metana dan karbon dioksida bisa direduksi, untuk selanjutnya dikonversi menjadi energi terbarukan.

Kehadiran PLTSa akan memperkuat ekonomi sirkular, membuka peluang tenaga kerja, energi, dan sumber daya yang besar. Sebelumnya, beberapa iniasi swasta di Indonesia telah menggunakan metode refuse-derived fuel (RDF) untuk mengolah sampah menjadi sumber energi terbarukan. Biomassa dari hasil RDF atau co-firing dijadikan energi pengganti batubara untuk pabrik semen dan PLTU yang sangat intensif energi.

Efisiensi Sumber Daya

Sejak 2017, negara-negara kelompok 20 atau G20 telah menjadikan efisiensi sumber daya dan ekonomi sirkular sebagai bagian dari visi kebijakan umum mereka. Sejak saat itu, berbagai platform untuk bertukar pandangan, pengalaman kebijakan, dan praktik yang baik, terus dilakukan. Visi ini untuk membantu mengkoordinasikan dan menyelaraskan upaya masing-masing negara dan mendorong kerjasama internasional di antara anggota G20.

Sebagai Presidensi G20 tahun ini, Indonesia dapat memanfaatkan momentum pertemuan G-20 di Bali, November 2022 mendatang, dengan pengalaman pengelolaan sampah melalui teknologi WTE untuk memajukan ekonomi sirkular dan transisi energi bersih. Saatnya kita perlu maju lebih kuat menuju ekonomi daur ulang tanpa ada yang terbuang.

Meski perkembangannya masih tertinggal dengan pembangkit listrik energi terbarukan lainnya, seperti dari air (PLTA), matahari (PLTS), angin (PLTB) dan panas bumi (PLTP), kehadiran PLTSa bisa menjadi solusi inovatif pemecahann salah satu problem kota, yaitu sampah. Dengan kemajuan teknologi, PLTsa juga bisa mengubah paradigma publik terhadap sampah.

Dengan konsep zero waste, melalui teknologi thermo-chemical conversion, sampah dapat diubah menjadi energi listrik ramah lingkungan, baik melalui insinerasi maupun gasifikasi. Insinerasi atau pembakaran sampah adalah teknologi pengolahan sampah yang melibatkan pembakaran bahan organik.

Insinerasi mengubah sampah menjadi abu, gas sisa hasil pembakaran, partikulat, dan panas. Gas yang dihasilkan harus dibersihkan dari polutan sebelum dilepas ke atmosfer. Sementara panas yang dihasilkan bisa dimanfaatkan sebagai energi pembangkit listrik.

Sedang gasifikasi adalah proses kimia, bukan pembakaran. Gasifikasi tercapai karena reaktor gasifikasi (gasifier) dapat beroperasi pada temperatur di atas 1.000 derajat Celcius dalam ruangan yang terkontrol dan kedap oksigen. Pada gasifikasi, sampah dipanaskan dengan jumlah udara yang minim sehingga struktur kimianya terdegradasi.

Proses degradasi kimia inilah yang menghasilkan gas sintetis (bio-syngas) yang memiliki suhu dan tekanan rendah. Gas sintetis mengandung hidrogen dan hidrokarbon yang kaya energi, untuk menghasilkan listrik melalui turbin uap (gas engine). Pembangkit listrik dengan teknologi gasifikasi ini selangkah di depan karena efisiensi konversi listrik lebih tinggi, dan emisi lebih rendah dibanding insinerasi.

Biaya Investasi

Tantangan utama PLTSa adalah biaya investasi yang masih lebih mahal dibandingkan dengan pembangkit listrik lainnya. Melalui Peraturan Presiden (Prespres) No. 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, pemerintah sudah berusaha memberi insentif tipping-fee untuk pengelolaan sampahnya. Namun ini belum bisa menenkan harga per kilowatt hour (kWh) listrik yang dihasilkan.

Sebagai contoh pembangunan dua PLTSa yang sudah berkontrak dengan PT PLN, yakni PLTSa Benowo di Surabaya dan PLTSa Putri Cempo di Solo, bisa menjadi gambaran. Khususnya terkait dengan tipping fee dan harga jual listrik PLTSa. Tipping-fee adalah biaya yang dibayarkan pemerintah daerah kepada PLTSa, ditetapkan paling tinggi Rp500.000 per ton sampah. Sementara harga listrik yang dibeli PT PLN sebesar 13,35 sen USD per kWh.

PLTSa Benowo yang sudah beroperasi Maret 2021 lalu, mengolah 1.000 ton sampah per hari, dengan metode gasifkasi bisa menghasilkan energi listrik sebesar 9 MW. Pengembalian investasi didapatkan dari penjualan listrik ke PT PLN, dan biaya layanan pengelolaan sampah (BPLS) sebagai tipping-fee dari Pemerintah Kota Surabaya sebesar Rp 170.000/ton. BPLS tiap kota bisa berbeda-beda tergantung kesepakatan dan anggarannya.

Sementara PLTSa Putri Cempo dibangun menggunakan mesin gas (gas engine) untuk memproses 545 ton sampah per harinya, dengan output sekitar 8 MW. Sebagian tenaga listriknya akan digunakan sendiri untuk mengoperasikan PLTSa, sisanya 5 MW akan dijual ke PT PLN. Tahap berikutnya, PLTSa Putri Cempo akan menambah 5 MW sehingga kapasitasnya akan menjadi 13 MW, dan akan menjadi pembangkit listrik ramah lingkungan berbasis sampah terbesar di Jawa Tengah.

Skema pembiayaan menggunakan Project Financing, kerjasama PT Solo Citra Metro Plasma Power (SCMPP), selaku pemilik proyek PLTSa Putri Cempo, dengan China Construction Bank Indonesia (CCBI). Penjualan listriknya sesuai Perpres No. 35 Tahun 2018, yaitu 13.35 sen USD per kWh. PLTSa Putri Cempo tidak mendapatkan tipping-fee dari proses pengolahan sampah menjadi energi.

Untuk menyiasatinya, PLTSa Putri Cempo menerapkan teknologi yang tidak menimbulkan biaya pengoperasian yang besar. Yaitu dengan teknologi gasifikasi yang memproduksi producer gas, sistem pemurnian producer gas dan penggunaan producer gas langsung oleh special gas engine.

PLTSa Putri Cempo juga akan memanfaatkan program landfill mining, penambangan material yang masih memiliki nilai jual dari tumpukan sampah seperti logam, batu, dan beling (kaca). Residu berupa abu dan char hasil gasifikasi akan dimanfaatkan untuk bahan precast. Saat berkunjungan ke PLTSa Putri Cempo, beberapa waktu lalu, Menteri ESDM, Arifin Tasrif, akan menjadikan PLTSa Putri Cempo sebagai benchmarking untuk PLTSa di 10 kota lainnya.

Opini ini ditulis oleh Eko Sulistyo, Komisaris PT PLN (Persero).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya