SOLOPOS.COM - Syifaul Arifin (Solopos/Istimewa)

Dalam pelatihan jurnalis di Jogja, Palu, dan Jambi mengenai misinformasi dan disinformasi pemilu, saya menanyakan kepada mereka apakah polarisasi pada Pemilu 2024 akan berlangsung seperti pada 2019 dan 2019? Jawabnya beragam.

Mereka rata-rata menjawab akan terjadi polarisasi separah 2014 dan 2019. Dua pemilu presiden itu memberi kita pelajaran bahwa masyarakat mudah tersulut dalam polarisasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), polarisasi adalah pembagian atas dua bagian (kelompok orang yang berkepentingan dan sebagainya) yang berlawanan. Dalam Pemilu 2014 dan 2019, terjadi polarisasi antara kelompok pendukung calon presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. Jadi, Pemilu 2024 nanti akan terjadi kontestasi keras yang sama. Polarisasi ini menjadi-jadi dengan adanya hoaks, fitnah, serta kampanye hitam.

Promosi Gonta Ganti Pelatih Timnas Bukan Solusi, PSSI!

Kedua, jurnalis menganggap polarisasi takkan separah dulu. Karena sudah banyak lembaga negara, ormas, hingga individu yang melakukan edukasi bahasa hoaks. Platform seperti  Meta, Twitter, Google, hingga Tiktok melakukan moderasi konten. Tujuannya mengurangi konten hoaks yang dibagikan di platform itu.

Ketiga, ada jurnalis yang berpendapat pada Pemilu 2024, polarisasi bisa makin parah atau sebaliknya berkurang. Tergantung siapa yang maju sebagai calon presiden (capres).

Pendapat ketiga ini menarik. Saat ini, ada tiga nama kuat yang akan maju sebagai capres, yaitu Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dan mantan Gubernur DKI Anies Baswedan. Ketiganya belum resmi terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai calon presiden.

Jika kontestasi melibatkan tiga pasangan capres dan calon wakil presiden (cawapres), polarisasi tak separah 2014 dan 2019. Biasanya polarisasi parah terjadi saat ada dua calon. Perseteruan dua kubu betul-betul terasa.

Mereka juga saling mengolok, menyebut lawan dengan label-label negatif yang saya yakin Anda sudah paham (karena saya menghindari menulis label-label itu). Tak hanya terjadi di dunia maya (media sosial) dan aplikasi percakapan. Di dunia nyata juga sama. Di poskamling, tempat ibadah, tempat kerja, bahkan di rumah tangga, polarisasi itu terjadi.

Situasi di atas kemungkinan takkan terjadi pada 2024 jika pemilu diikuti tiga capres. Masalahnya adalah jika ada tiga pasangan calon yang relatif kuat dan imbang, tada ada pemenang yang mendapatkan suara di atas 50%. Padahal aturannya, pemenang adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 jumlah provinsi di Indonesia. Kalau tidak tercapai pemenang dengan suara lebih dari 50%, akan digelar pemilihan putaran kedua.

Jadi, kalau yang bertarung adalah Ganjar, Prabowo, dan Anies, maka pada putaran kedua akan bertarung Ganjar vs Prabowo atau Ganjar vs Anies atau Prabowo vs Anies. Jika yang bertarung pada pilpres putaran kedua adalah Ganjar melawan Prabowo, takkan terjadi polarisasi parah. Kedua capres itu sama-sama “orangnya Jokowi” alias “All Jokowi’s Men”. Coba lihat, baliho Prabowo bersama Jokowi ada di mana-mana. Foto Ganjar bersama Jokowi juga mulai dipasang di berbagai tempat strategis.

Jika Ganjar dan Prabowo yang bersaing menjadi suksesor Jokowi, maka tingkat partisipasi pemilih takkan tinggi. Pendukung  garis keras Anies mungkin  takkan berminat masuk bilik suara. Jika pada putaran kedua yang bertarung Ganjar vs Anies atau Prabowo vs Anies, polarisasi seperti pada 2014 dan 2019 berpeluang terjadi lagi. Jika Ganjar dan Prabowo dianggap “orangnya”Jokowi, Anies sering disebut sebagai antitesis Jokowi. Jika ini terjadi, pemilu akan riuh rendah oleh persaingan dua kubu. Polarisasi dua kubu seperti pada 2014 dan 2019 akan terulang.

Dampak negatif dari polarisasi adalah merebak hoaks, masyarakat terbelah, konflik mengemuka, bahkan tidak jarang terjadi kekerasan. Di tingkat keluarga, saya yakin Anda pernah mengalami—paling tidak mendapati—hubungan kekeluargaan terputus gara-gara beda pilihan capres. Hoaks merajalela, fitnah jadi kebiasaan, lalu troll, bot, dan buzzer akan berpesta dengan menebar informasi bohong, fitnah, hasut, dan negatif.

Namun, polarisasi memiliki dampak positif juga hlo. Saat terjadi persaingan sengit dua capres, biasanya partisipasi politik meningkat. Orang berduyun-duyun datang ke tempat pemungutan suara karena menganggap satu suaranya berharga untuk memenangkan capres  yang didukung. Pada Pilpres 2014, tingkat partisipasi politik mencapai 69,6%, lalu pada 2019 naik menjadi 81,9%. Di DKI Jakarta, polarisasi terjadi pada Pilkada 2015 antara kubu Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Pada Pilkada 2015, tingkat partisipasi politik mencapai 78% padahal pada 2012 hanya 66,7% (Monggilo dkk, 2023).

Hal lain yang positif dari kontestasi keras dua capres adalah pemilih bisa membedakan perbedaan program keduanya. Jika yang bertarung adalah Ganjar dan Prabowo, pemilih tak bisa membedakan secara tegas perbedaan program keduanya. Walaupun beda partai, Ganjar dan Prabowo sama-sama penerus program Jokowi walau dari partai berbeda. Jika yang bersaing adalah Ganjar dan Anies atau Prabowo dan Anies. Pemilih akan mudah membedakan program yang berbeda dari keduanya. Siapa yang suka program Anies, pilihlah dia. Siapa yang suka program Ganjar atau Prabowo, coblos namanya.

Siapa pun yang akan maju menjadi capres, kita harus bersiap-siap menghadapi hoaks. Tak hanya polarisasi, hoaks juga beredar pada Pemilu 2014 dan 2019. Lalu bagaimana mencegah hoaks agar tak separah pada 2014 dan 2019?

Ada berbagai cara menanganinya. Dengan cek fakta hingga edukasi kepada publik soal literasi media. Dengan memberi “senjata” kepada warga agar bisa menghadapi orang yang membagikan hoaks. “Senjata” itu adalah sikap kritis dan skeptis jika menerima informasi dari siapa pun. Sikap kritis dan skeptis ini ditanamkan kepada masyarakat terutama warganet sebagaimana petugas kesehatan menyuntikkan vaksin ke tubuh orang. Vaksin adalah bakteri, racun, atau virus penyebab penyakit yang telah dilemahkan. Zat itu berfungsi senstimulasi sistem kekebalan tubuh agar menghasilkan antibodi. Jadi, apa vaksin hoaks?  Ya hoaks sendiri. Orang dikasih tahu tentang seluk-beluk hoaks, betapa gampangnya membikin hoaks, dan bagaimana hoaks memecah belah masyarakat. Dengan memahami hoaks, orang tidak akan mudah percaya ketika menerima informasi yang diduga hoaks.

Hal lain yang bisa dilakukan untuk melawan hoaks adalah merecehkannya. Maksudnya apa? Coba ingat-ingat, biasanya di media sosial beredar hoaks rutin muncul berdasarkan momentum. Setiap September biasanya beredar hoaks PKI. Setiap Februari akan muncul hoaks Valentine. Yang dilakukan warganet menghadapi hoaks berbasis momentum adalah dengan merecehkannya. Caranya dengan membikin meme menjelang September. Warganet sudah mengingatkan akan muncul hoaks PKI pada medio September. Lalu menjelang 14 Februari akan muncul hoaks Valentine.

Meme itu dibikin lucu dan receh. Walaupun receh, ternyata dampaknya luar biasa. Pada September dan Februari, hoaks PKI dan Valentine tak muncul secara massif. Orang yang mau bikin hoaks PKI dan Valentine sudah jiper (takut) duluan, khawatir dirujak oleh warganet.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya