SOLOPOS.COM - Adib Muttaqin Asfar (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Suatu  malam sepulang dari tempat kerja pertengahan September ini, saya kaget ketika melintasi jalan kampung dekat rumah. Di tengah kegelapan malam, tiga baris karet masing setebal dua sentimeter berjajar melintang di jalan dan memaksa saya menginjak rem dalam-dalam.

Belakangan saya mendengar sejumlah alasan pemasangan polisi tidur itu. Ada anak-anak yang senang bermain di tepi jalan. Pada saat yang sama, kabarnya, ada rombongan anak muda yang melintasi jalan kampung ugal-ugalan.

Promosi Liga 1 2023/2024 Dekati Akhir, Krisis Striker Lokal Sampai Kapan?

Seolah-olah menjadi common sense alias pemahaman umum, polisi tidur dianggap sebagai solusi atas banyak persoalan di jalan. Di mana-mana orang memasang polisi tidur. Disebut polisi tidur karena benda ini memiliki kemampuan memaksa setiap orang memperlambat kecepatan.

Dia ada di dekat sekolah, dekat tempat ibadah, hingga dekat gerbang hunian mewah. Yang ekstrem, barisan polisi tidur berderet di ruas-ruas jalan menuju kawasan pendidikan. Di sebuah jalur yang menjadi satu-satunya akses menuju beberapa SD di Banyuanyar, Banjarsari, Kota Solo, polisi tidur hadir setiap lima meter hingga 10 meter.

Kabarnya, polisi tidur itu sengaja dipasang agar kendaraan orang tua siswa tidak melintas dengan kecepatan tinggi. Contoh lainnya di jalan nasional tak jauh dari Kota Solo. Dulu jalan itu identik dengan jalur cepat.

Dosen saya pernah menganalogikan dengan jaringan Internet 100 megabyte per second (mbps). Sejak lebih dari satu dekade lalu, ada pita kejut berukuran cukup besar yang memaksa kendaraan—terutama kendaraan berat—bergerak lambat.

Fenomena memasang polisi tidur memantik dua pertanyaan mendasar. Pertama, apakah itu merupakan sikap yang benar? Kedua, apakah itu sikap yang baik? Dua pertanyaan ini semestinya terjawab sebelum manusia bertindak di ruang-ruang publik.

Pertanyaan pertama adalah pertanyaan epistemologis yang menguji “kelayakan” tindakan manusia. Dalam dunia akademis kita mengenal penggunaan metode ilmiah yang diekstrak dari ide rasionalisme Rene Descartes berabad-abad lampau.

Ide Descartes bertolak dari geometri analitis, berbasis pada persoalan, kasus, atau masalah. Metode ilmiah berbasis pengalaman atau sesuatu yang bisa dibuktikan secara empiris. Manusia didorong bersikap skeptis, meragukan segala sesuatu, termasuk dirinya sendiri.

Di situlah realitas sejati yang dimaksud Descartes dalam adagium “cogito ergo sum”, saya berpikir maka saya ada. Berpikir ilmiah adalah keharusan saat manusia menyadari realitas. Manusia menghadapi sederet masalah setiap hari dan dituntut menemukan penyebab hingga solusi.

Dalam konteks polisi tidur, keinginan para pembuat bertolak dari keyakinan sumber masalah adalah banyak orang ngebut di jalan, ugal-ugalan, tak menghormati warga di sekitar jalan. Dipasanglah gundukan, pita kejut, atau penghalang lainnya biar semua yang lewat terpaksa menginjak pedal rem.

Apakah pemasangan polisi tidur adalah pilihan yang benar untuk menghadapi pengendara yang senang ngebut di jalan? Yang suka kebut-kebutan hingga yang paling sopan di jalan, semua terdampak tanpa terkecuali.

Di tempat saya tinggal, hingga hari ini, para pengendara yang dianggap mengganggu itu masih kerap lewat dan tak mengubah perilaku. Pemasangan penghalang justru menimbulkan persoalan baru seperti kerusakan roda kendaraan, kerusakan permukaan jalan, bahkan kecelakaan.

Pertanyaan kedua adalah pertanyaan etik. Kata “baik” sulit dicari penjelasannya. George Edward Moore menyebut “baik” adalah sifat primer, tidak bisa didefinisikan. “‘Baik” ya baik. Hanya intuitif, itu saja!

Sesuatu yang benar belum tentu baik. Berdasarkan konsep filsuf yang pernah berpengaruh di Inggris itu, “baik” atau “tidak baik” dikembalikan kepada intuisi orang per orang yang berbeda-beda.

Sulit meyakini polisi tidur sebagai solusi. Biasanya itu hanya gagasan terburu-buru dari sekelompok orang yang merasa terganggu kehadiran manusia lain di lingkungan mereka. Mereka mengambil referensi dari warga lingkungan lain yang melakukan hal serupa, kemudian mengikuti langkah yang sama.

Jika ini yang terjadi, bukan penyelesaian masalah yang dicari, melainkan ekspresi pembalasan. Sayangnya, cara berpikir seperti ini muncul di mana-mana dan dalam banyak hal, termasuk pengambilan keputusan besar.

Belakangan ini mata kita tertuju pada perilaku penyelenggara negara di Pulau Rempang, Kota Batam. Juga di Halmahera, Maluku Utara, atau Desa Wadas di Purworejo, Jawa Tengah.

Atas nama proyek strategis nasional atau PSN, negara bisa mengambil apa saja, lahan hingga material tambang. Ketika warga lokal menolak respons negara selalu sama: mengerahkan aparat bersenjata.

Sulit menemukan rasionalisasi di balik proyek-proyek raksasa itu. Apa masalah yang hendak dipecahkan melalui sebuah proyek? Biasanya jawaban-jawaban atas pertanyaan itu sering berupa klise: demi menjamin kebutuhan air, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan demi menciptakan lapangan kerja.

Benarkah kebijakan itu bisa menyelesaikan masalah dan apa ukurannya? Faktanya, investasi tak selalu berkorelasi dengan berkurangnya pengangguran. Pertumbuhan ekonomi tak selalu berkorelasi dengan berkurangnya kemiskinan.

Belum lagi jika kebijakan-kebijakan itu diuji dengan pertanyaan etis, apakah perampasan lahan itu baik? Apakah tindakan memaksa orang angkat kaki dari tanah leluhurnya juga baik? Intuisi saya mengatakan tidak.

Intuisi saya mengatakan praktik-praktik perampasan lahan adalah cerminan dari perilaku masyarakat yang sudah umum. Saat memasang polisi tidur di tengah jalan, mereka tak peduli jalan itu milik siapa.

Mereka tahu jalan adalah ruang publik yang tak mungkin dimiliki perseorangan, termasuk mereka yang tinggal di kanan-kirinya. Begitu pula praktik-praktik pengadaan lahan atas nama proyek-proyek besar.



Kalau seorang taipan berkehendak, dia tinggal menunjuk lahan mana yang diinginkan, tak peduli milik siapa. Seperti polisi tidur, pembuatnya tak pernah peduli jalan itu milik siapa dan apakah dia punya hak melakukan itu.

(Esai ini terbit di Solopos edisi 26 September 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya