SOLOPOS.COM - Lukmono Suryo Nagoro (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Dua  pekan terakhir di fasilitas perpesanan Whatsapp di telepon seluler saya berseliweran dokumen berbentuk PDF dengan judul Machiavelli Jawa karangan Sukidi. Dilihat dari tata letaknya, dokumen tersebut merupakan opini di Majalah Mingguan Tempo.

Saya yang tidak berlangganan Tempo merasa senang mendapat artikel gratisan tersebut. Saya sangat tertarik dengan judulnya. Machiavelli yang berkebangsaan Italia bisa ditarik sedemikian jauh etnografisnya ke wilayah Jawa.

Promosi Mali, Sang Juara Tanpa Mahkota

Apa gerangan yang membuatnya sampai ditarik ke Jawa? Apakah akan diangkat menjadi penasihat politik keluarga yang akan bertarung di pemilihan presiden mendatang? Penasihat politik keluarga adalah salah satu profesi Machiavelli di Italia, Florence tepatnya. Menjadi penasihat politik keluarga Medici.

Paragraf awal tulisan itu langsung menggebrak dengan menyatakan bahwa Machiavelli Jawa itu aktor politik realis, tanpa etika moral, penuh kemunafikan, kebohongan, dan kelicikan. Sukidi juga mengutip beberapa kalimat dari buku The Prince karangan Niccolo Machiavelli.

Buku ini sering disebut sebagai kitab para tiran, despot, dan diktator. Kutipannya, antara lain, menjadi seorang munafik dan pembohong yang hebat, mencapai hal-hal besar harus dengan menipu, dan tidak pernah kekurangan alasan yang sah untuk mengingkari janji.

Buku The Prince ini ditulis pada 1513 atau lebih dari luma abad yang lampau. Tentu tidak akan bertahan lama apabila hanya mengandalkan nasihat-nasihat tersebut, yang bisa diringkas dengan tujuan menghalalkan segala cara.

Sampai sekarang buku tersebut masih sering disitasi oleh pemikir politik modern, bahkan menjadi ilham bagi Sukidi untuk menulis opini Machiavelli Jawa. Sebagaimana yang ditulis Sukidi, bahwa Machiavelli Jawa adalah membahas tentang mempraktikkan kekuasaan dalam arti sebenarnya.

Buku The Prince juga demikian. Buku tersebut menjadi antitesis buku Politics karya Aristoteles yang berisi bahwa berpolitik itu memiliki tujuan untuk orang banyak, bukan hanya mementingkan diri atau kelompoknya sendir.

Menurut Aristoteles, seorang pemimpin, bisa presiden, gubernur, atau wali kota, memiliki watak utama teologi-romantik bahwa pemimpin adalah wakil Tuhan. Pemimpin haruslah bijaksana, tidak boleh berbohong, tidak boleh ingkar janji, apalagi mementingkan diri dan keluarganya sendiri.

Di Tanah Jawa, gelar raja sebagai wakil Tuhan disebut Senapati ing Alaga Abdur Rahman Sayidin Panatagama Kalifatullah. Buku The Prince ini membongkar seluruh asumsi Aristoteles.

Menurut Machiavelli, pemimpin itu manusia biasa seperti orang kebanyakan yang sering berbuat salah. Seorang pemimpin, bahkan, juga memiliki kecenderungan untuk berkuasa selama mungkin jika bisa diwariskan kepada keturunannya.

Buku The Prince ini membuka watak kekuasaan yang sebenar-benarnya seperti ilmuwan fisika yang ingin membuka segala rahasia bumi sejelas-jelasnya. Watak kekuasaan yang das sein, das sollen.

Berdasarkan hal tersebut, buku The Prince dan Machiavelli Italia ini memiliki dua warisan penting. Pertama, buku ini memang nasihat politik, bukan berisi nasihat yang substansinya panduan seorang raja untuk berkuasa.

Oleh karena berisi nasihat politik, Machiavelli tentu tidak akan menyarankan seorang pemimpin yang baru saja memenangi pemilihan presiden harus merangkul lawannya (das sollen), tetapi setelah Anda memenangi pemilihan presiden, Anda harus memikirkan bagaimana bisa menang lagi pada pemilihan mendatang (das sein).

Sangatlah wajar apabila dalam memerintah pemimpin tersebut tidak mengayomi rakyat yang tidak memilihnya atau tidak menjadikannya sebagai prioritas dalam kebijakan-kebijakannya. Kedua, buku ini mengajarkan kepada kita untuk membedakan moralitas pribadi dan moralitas politik seorang pemimpin.

Moralitas pribadi seorang pemimpin yaitu sebagai wakil Tuhan. Tidaklah elok dia berbohong, menipu, dan menghalalkan segala cara. Moralitas politik tidaklah demikian. Untuk memikat rakyat, kebohongan atau dusta yang berlebih-lebihan sering dipakai oleh para politikus.

Penggambaran kebohongan atau dusta yang demikian adalah seorang politikus tetap akan mengampanyekan membangun jembatan meskipun di daerah tersebut tidak ada sungai. Kondisi inilah yang sedang menjangkiti negara Indonesia saat ini.

Moralitas pribadi Presiden Joko Widodo yang sederhana, merakyat, dan tidak korupsi, kolusi, dan nepotisme berhadapan dengan moralitas politik Presiden Joko Widodo yang tiba-tiba mendorong putranya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden pendamping calon presiden Prabowo Subianto dengan rekayasa hukum.

Putusan Mahkamah Konstitusi tentang syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden minimal 40 tahun atau pernah terpilih dalam pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah, adalah putusan hasil rekayasa hukum.

Joko Widodo yang sebelumnya dianggap sebagai pemimpin yang membawa banyak harapan, ternyata  berperilaku transaksional dengan tujuan berkuasa selama-lamanya. Banyak orang akan mengaossiasikan Macchiavelli Jawa ini dengan Presiden Joko Widodo.

Apakah itu benar demikian? Saya rasa salah. Jika asosiasinya demikian, berarti Presiden Joko Widodo hanyalah penasihat politik dari pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Apabila benar, demokrasi kita berada di ujung tanduk.

Seperti yang dinyatakan menteri sekaligus orang kepercayaan Presiden Joko Widodo, Luhut Binsar Binsar Pandjaitan, bahwa jika Presiden Jokowi berpihak (dalam pemilihan presiden) game is over. Artinya, peluang kemenangan Prabowo-Gibran lebih besar dibandingkan para pesaingnya.

Apakah kita pantas menimpakan perilaku lancung para politikus kita kepada Machiavelli? Tidak. Perlu diketahui, Machiavelli telah mengingatkan kemungkinan perilaku politik yang karena tuntutan kekuasaan sehingga bertindak menjauh dari nilai-nilai keadilan dan kejujuran.

Cara menangkal kemungkinan itu telah dilakukan Machiavelli sendiri, yaitu meletakkan dasar-dasar desakraliasi politik sehingga pemaknaan manusia (baca: pemimpin) adalah wakil Tuhan ternyata mengandung sejumlah banyak kelemahan sebagaimana manusia biasa karena memiliki ambisi dan nafsu terus berkuasa sehingga kepentingannya tidak sejalan lagi dengan rakyat banyak.



Jika demikian, mengapa anggapan Machiavelli sebagai ”kata kotor” masih terjadi? Hal ini karena cara menangkal peringatan atas perilaku lancung para politikus yang dirumuskan Machiavelli belum kita lakukan karena kita masih mengultuskan seorang pemimpin. Itu menandakan bahwa pemimpin masih wakil Tuhan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 20 November 2023. Penulis adalah editor buku yang tinggal di Kota Solo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya