SOLOPOS.COM - Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsda TNI Agung Handoko (kanan) bersama Wakil Ketua KPK Johanis Tanak (kedua dari kiri) memberikan keterangan kepada wartawan seusai pertemuan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (28/7/2023). Pertemuan tersebut membahas koordinasi Puspom TNI dengan KPK dalam penanganan kasus dugaan korupsi yang menjerat Kepala Badan SAR Nasional periode 2021-2023 Marsdya TNI Henri Alfiandi. (Antara/Reno Esnir).

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Kepala Badan SAR Nasional Marsekal Madya Henri Alfiandi dan seorang perwira menengah menjadi tersangka kasus korupsi pengadaan barang di lembaga pencarian dan penyelamatan ini. Henri disebut menerima suap sebesar Rp 88,3 miliar.

Setelah penetapan tersangka itu muncul kontroversi. Markas Besar TNI menyatakan keberatan dengan langkah KPK menangkap seorang perwira menengah TNI dan menjadikan seorang perwira tinggi TNI sebagai tersangka kasus dugaan korupsi.

Promosi Pemimpin Negarawan yang Bikin Rakyat Tertawan

Keberatan Markas Besar TNI itu direspons pimpinan KPK dengan menyampaikan permintaan maaf. KPK menyadari ada ”kekeliruan prosedur” karena kasus yang diselidiki menyangkut anggota aktif TNI. Dalam perspektif Markas Besar TNI, seharusnya KPK berkoordinasi dengan Pusat Polisi Militer.

Kontroversi yang berakar pada ketidakrapian prosedur dan koordinasi oleh pimpinan KPK ini menjadi bumerang bagi KPK. Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Moh. Mahfud Md. menekankan yang terpenting adalah menyelesikan pengusutan kasus dugaan korupsi itu.

KPK telah menemukan setidaknya dua alat bukti yang kuat. Kesalahan prosedur dan koordinasi seharusnya tidak menyurutkan penyelidikan yang dilakukan KPK, apalagi sampai membatalkan penyelidikan kasus ini.

Modus korupsi yang diungkap KPK di Badan SAR Nasional adalah memanipulasi sistem pengadaan barang dan jasa yang dilakukan dengan sistem digital. Kepala Badan SAR Nasional itu diduga menerima suap dari vendor pemenang proyek pengadaan barang dan jasa pada 2021 hingga 2023. Nilai total suap yang diterima Rp88,3 miliar.

Pengungkapan kasus dugaan korupsi di Badan SAR Nasional ini menjadi semacam konfirmasi atas banyak dugaan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa di banyak instansi pemerintahan, pusat maupun daerah, walau telah diselenggarakan lelang secara digital.

Penerapan lelang pengadaan barang dan jasa secara digital dimaksudkan untuk mencegah korupsi. Fakta menunjukkan selalu muncul ketidakbererasan dan dugaan tindakan lancung dalam lelang tersebut, di instansi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Kasus di Badan SAR Nasional ini memverifikasi aneka dugaan itu. Ternyata lelang pengadaan barang dan jasa secara digital memang bisa dimanipulasi. Perbaikan sistem tentu saja tidak cukup. Kasus korupsi susul-menyusul terjadi walau sistem yang dimaksudkan untuk mencegah—konon—selalu diperbaiki.

Pencegahan dan pemberantasan korupsi di negeri ini butuh kepemimpinan politik antikorupsi yang kuat, kukuh, dan tanpa kompromi. Kepemimpinan politik antikorupsi yang kuat akan menyelesaikan kontroversi kesalahan prosedur dan koordinasi tanpa berpengaruh sedikit pun pada penyelidikan dan penyidikan kasus.

Kredo koruptor adalah ”selalu ada jalan memanipulasi sistem apa pun”. Untuk melawan kredo para koruptor itu hanya kepemimpinan politik antikorupsi yang kuat dan berkelanjutan yang mampu. Inilah yang sekian lama absen di negeri ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya